baru

Kamis, 30 April 2015

wangja 19-21

19
                Kim San berada di apartemen pribadi miliknya. Bukan, apartemennya bersama Min Ho. Melainkan, apartemen yang benar-benar miliknya. Kim San duduk di sebuah sofa berwarna putih. Dia mengenakan sweter hangat berwarna abu-abu dan celana hitam panjang. Ada sebotol anggur yang tidak terlalu keras di atas meja di hadapannya. Seperti, yang kukatakan, Kim San sama sekali tidak suka minum-minuman keras yang membuatnya mabuk.
                Dia meletakan gelas  di atas meja, meski anggurnya masih tersisa banyak. San berjalan ke sebuah lemari kaca dan mengambil sebuah kotak kayu yang kecil. Kemudian, dia duduk kembali di sofa. San membuka kotak itu, di dalamnya ada cincin berbentuk cakar yang dulu digunakan pria bertato itu. San mengambil benda itu dan memakainnya di jari tengahnya.
                Kim San tersenyum.
                “Dulu, aku tak bisa menggunakannya karena terlalu besar. Sekarang, benda ini sepertinya sangat cocok untukku.” kata San pada dirinya sendiri.
                Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
                “Apa kau akan pulang? Aku sudah menyiapkan makanan enak untumu.” kata Min Ho di ujung telepon. Kim San berkata dengan terkejut, “Benarkah? Ah... kau harusnya bilang lebih awal. Jadi, aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat. Tapi, sekarang, pekerjaanku di kantor masih sangat banyak. Aku tak yakin bisa pulang malam ini...”
                Terdengar suara kecewa Min Ho.
                “Maaf. Kukira kau tak ada pekerjaan. Tadinya, aku ingin memberimu kejutan.” kata Min Ho. Kim San tidak memperdulikannya, dia mengetuk-ngetukkan cakar yang ada jari tengahnya ke meja.
                “Apa aku harus datang?” tanya San.
                “Tidak. Tidak usah, nanti saja kita makan malamnya. Selesaikanlah dulu pekerjaanmu.” kata Min Ho. “Tapi, suara apa itu?”
                “Ah, bukan apa-apa.” kata Kim San dengan santai. Setelah itu, dia menutup teleponnya.
                Kim San mengangkat kakinya dan meletakannya di atas meja. Dia menyandarkan kepalanya di sofa dan memejamkan matanya. Senyum tak berhenti tersungging dari mulutnya. Sebentar lagi, aku akan menguasai Grup DK. Hanya tinggal sebentar lagi......
20
                London, musim dingin masih di bulan Januari........
                Harga dari sebuah kehidupan adalah perjuangan.
                Aku sudah lama meyakininya. Aku sekarang sedang berjuang sekuat tenaga agar bisa menyelesaikan sesuatu yang telah aku mulai. Sebentar lagi, aku mungkin akan bisa menyelesaikan akhirnya, meski aku sendiri tak tahu apa aku akan mendapatkan hasil yang maksimal atau tidak dari kerja kerasku ini.
Kim San menatap salju yang turun semakin lama semakin banyak. Setelah, pembicaraan mereka waktu itu, sekarang Jung Woo sudah benar-benar kembali seperti biasa....
                Orang-orang berlalu-lalang di jalanan. Para wanita-wanita berambut pirang berjalan dengan cepat. Di tangan mereka, Kim San bisa melihat banyaknya belanjaan yang mungkin akan mereka persiapkan untuk keluarga mereka. Sementara, para pria berjalan dengan lebih cepat lagi. Pasti, mereka ingin cepat pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing. Asap muncul saat mereka bernafas, menandakan suhu musim dingin di London pasti sangat rendah.
                Kim San akan menemui salah seorang pemegang saham yang cukup besar di Grup DK. Kim San sendiri agak terkejut karena, dialah yang menghubunginya lebih dulu. Padahal, bahkan saat ada rapat pemegang saham, biasanya dia hanya akan diwakilkan. Pasti, ada sesuatu yang sedang terjadi padanya.
 Nama pria itu, Christian Severe IV.
Dia adalah pewaris tunggal Severe Enterprise. Salah satu, perusahaan paling terkemuka di dunia. Wajahnya sangat tampan, lajang dan menjadi pria paling diincar di seluruh dunia. Banyak yang bilang, jika ada seribu malaikat yang memahat wajahnya. Matanya berwarna biru dan tubuh sempurna. Dia kaya, tampan dan mengagumkan.  Kim San pun mengakui untuk ukuran manusia –seperti juga yang selalu dikatakan banyak orang- dia sangat sempurna.
Jung Woo menghentikan mobilnya dan seorang pria dengan sigap membukakan pintu untuknya. Kim San keluar dari dalam mobil. Kemudian, berjalan masuk ke dalam hotel.
#####
                Seperti yang diduga, San. Tempat menginap Christian Severe IV bukanlah tempat sembarangan. Kamarnya sangat megah dan semuanya berwarna putih. Kamarnya terdiri dari tiga ruangan besar dengan barang-barang kualitas nomor satu. Satu tempat tidur, ruang santai dan juga ruang makan yang tak kalah luasnya. Mungkin, tempat ini lebih pantas disebut rumah daripada kamar.
                Christian Severe IV duduk dengan santai di salah kursi. Seperti yang kuduga, dia lebih tampan jika dilihat aslinya. Matanya yang berwarna biru cemerlang memperlihatkan kecerdasan alaminya yang tak terbantahkan. Dia mengenakan baju hangat dan celana panjang yang cukup tebal. Tangannya yang satu lagi memegang segelas wine yang hampir habis. Kim San tak tahu kenapa dia minum di saat seperti ini.
                “Silahkan duduk.” katanya dengan bahasa Inggris dengan aksen amerika. Kim San duduk di sebuah kursi di hadapannya. Ada dua hal yang tak bisa San abaikan saat melihat Christian Severe IV secara langsung. Pertama, anting salibnya yang legendaris. Anting yang menjadi simbol penguasaan Severe Enterprise secara mutlak, sama seperti mahkota bagi raja. Anting itu ternyata lebih besar dari dugaan Kim San, meski ukiran pada anting itu memang sangat indah.
                Banyak yang bilang anting itu terbuat dari emas murni dua puluh empat karat –entah benar atau tidak-  yang tak akan hancur meski di simpan selama ratusan tahun atau meski tenggelam di dasar lautan sekalipun. Jika, diuangkan, mungkin, cukup untuk membeli sebuah negara.
                Hal kedua, yang menjadi bahan perhatiannya adalah sebuah luka kecil di keningnya. Tidak hanya itu, tangannya pun sedikit terluka.
                Di sampingnya, ada seorang pria yang berkulit sawo matang. Menurut, perkiraan San, pria itu pasti berasal dari Asia Tenggara. Mungkin, Indonesia. Tapi, bisa juga Malaysia. Karena, jelas sekali jika dia adalah  seorang melayu. Wajahnya lumayan manis, matanya hitam dan tubuh yang kurus. Sama seperti, Christian Severe, pada dirinya juga terdapat beberapa luka.
                “Anda terlihat lebih santai dari yang aku duga.” kata San. Tentu, memang ini bukan pertemuan resmi. Tapi, San tak menyangka jika dia benar-benar akan kelihatan begitu santai. Bahkan, sempat minum wine pula. Dia menatap San, dan berkata dengan halus, “Apa Anda mau minum?”
                Kim San menggelengkan kepalanya,  “Saya tidak minum.”
                Christian Severe IV adalah pria yang sudah terkenal plaboy. Tapi, saat melihatnya sekarang, Kim San sedikit meragukan hal itu. Jika, melihatnya yang sering membuang-buang uang demi berhura-hura dan gosipnya dengan banyak wanita. Pasti, akan timbul sedikit penilaian jika dia adalah pria yang bodoh atau malah mungkin menjadi meremehkannya. Hanya saja, di mata Kim San yang dilihatnya sekarang adalah pria yang santai namun jelas sangat serius dan tak bisa dipandang sebelah mata.
                “Anda terluka?” tanya San memulai pembicaraan.
                “Ah.. ini? Hanya sedikit luka kecil.” katanya. Dia menatap balik San, “Apa Anda sudah menyiapkannya?”
                “Ya.” kata Kim San. Jung Woo mengerti dan segera menyerahkan surat perjanjiannya  pembelian saham pada Christian. Dia mengambilnya dan menatapnya sebentar. Kemudian, dia menandatanginya tanpa ragu. Setelah itu, seorang pria yang dari tadi sudah berdiri di sampingnya juga menyerahkan surat perjanjian miliknya. Kim San juga dengan segera menandatanganinya.
                Setelah itu, semua selesai dan Kim San berpamitan untuk pulang.
                Aku tahu ada yang aneh pada mereka.
                Tapi, baik aku atau pun San memilih untuk tidak memikirkannya.
21
                Dua hari kemudian di sebuah rumah kecil di pulau Jeju[1]...
                Nama wanita itu adalah Ma Ae Ri. Seorang wanita tua berusia enam puluh tujuh tahun. Rambutnya pendek dan hanya sedikit yang beruban. Badannya kecil, tapi sehat. Juga, masih begitu semangat untuk bekerja di perusahaan. Dia hanya tinggal seorang diri, karena suaminya sudah meninggal dan kedua anaknya sudah menikah, lalu memutuskan untuk tinggal di luar negeri.
                Meski, tergolong kaya, tapi Ae Ri hanya tinggal di sebuah rumah sederhana di dekat tebing di pulau Jeju. Saat, Kim San datang, Ae Ri sedang kesulitan mengangkat beberapa buah kayu bakar untuk mengisi pemanas di rumahnya. Meski, sebenarnya dia mampu untuk membeli pemanas sentral. Kim San segera mengambil kayu-kayu yang dipikul Ae Ri dan wanita tua itu pun membiarkan San melakukannya.
                “Ah...untung kau datang anak muda...” katanya.
                “Lagipula, aku tidak mengerti. Kenapa kau selalu mengerjakan semua ini sendiri. Kau kan mampu membeli pemanas sentral.” kata Kim San.
                Bukk!
                Ae Ri memukul lengan Kim San. Kim San meringis, Ae Ri mengomel seperti layaknya nenek-nenek, “Kau berani tidak sopan padaku! Anak muda zaman sekarang sangat memalukan!”
                “Maaf...maaf...” kata San mengalah. Kim San memang pergi sendirian. Jung Woo hanya mengantarnya sampai ke sini. Tapi, setelah sampai San memintanya agar pergi dan menjemputnya lagi besok. Kim San membawa kayu-kayu ke dalam rumah.
                “Masukkan saja kayu itu ke dalam! Aku kedinginan.” katanya sambil membuka sarung tangannya. Kim San melakukan seperti yang diminta oleh Ae Ri dan api yang muncul di perapian semakin besar. Kehangatan mulai menyebar ke seluruh ruangan. Ae Ri masuk ke dapurnya, membuka oven dan mengeluarkan makanan.
                “Sini makanlah!”
                 Ae Ri dengan sigap meletakkan pai apel di piring besar dan memotongnya. Lalu, memberikan potongan yang besar untuk San. Kim San sudah akan memprotes, tapi wanita itu malah melotot dan berkata dengan tajam, “Sudah makan saja! Apa kau tidak tahu orang-orang di negara miskin sana dengan senang hati akan memakan makananmu itu!”
                Kim San tidak jadi berbicara dan lebih memilih menutup mulut rapat-rapat.
                Ae Ri mengambil sebuah gelas besar dan memasukkan jus jeruk hangat ke dalamnya. Kim San meminumnya dengan perlahan-lahan dan juga menikmati kehangatan yang muncul dalam tenggorokannya. Ae Ri hanya mengambil sedikit potongan pai dan memakannya. Setelah itu, dia menuangkan jus jeruk hangat ke dalam gelas dan meminumnya sambil memandangi Kim San.
                Sesaat, keduanya makan dalam diam.
                Sampai, akhirnya Ae Ri berbicara lebih dulu.
                “Sudah lama sekali sejak kau kabur dari rumahmu, ya?”
                “Begitulah...” kata San.
                Dia menghela nafas panjang, “Gara-gara kau Sung Ran yang menjauhkan dirinya dari keluargaku. Akhirnya, meneleponku lagi dan memohon agar melindungimu.” katanya. Kalian ingat kakek-nenek yang membantu Kim San dan So Hyun kabur? Nama nenek itu adalah Joo Sung Ran, sedangkan nama sang kakek adalah Do Suk Chul. Sung Ran adalah satu-satunya kakak  yang dimiliki Ae Ri.
                Sung Ran yang berasal dari keluarga kaya tadinya akan diwarisi kekayaan yang berlimpah dengan syarat agar mau menikah dengan  pria pilihan keluarganya. Tapi, Sung Ran tidak mau dan lebih memilih menikah dengan seorang pria miskin bernama Do Suk Chul.  Karena itu, dia diusir dan hidup miskin.
 Sekarang, kedua kakek dan nenek itu sudah meninggal tanpa meninggalkan seorang anak pun.
                “Aku sering iri padanya yang berani menerima berbagai cobaan hidup demi cinta. Seandainya, aku bisa seperti dia.” katanya dengan perlahan, “Karena itu, saat dia meneleponku untuk pertama kalinya sejak sekian lama. Aku langsung membantumu seperti yang dia minta. Aku menjagamu dan keluargamu agar jangan sampai diketahui oleh ibu tirimu. Tapi, semuanya menjadi sia-sia saat mereka akhirnya meninggal.”
                “Tak ada yang sia-sia.” kataku sambil memakan pai milikku.  “Aku akan membalas perbuatan mereka pada keluargaku.”
                Ae  Ri menghela nafas panjang, “Kau  tahu aku tidak suka caramu, Nak. Kau mau membalas dendam lewat orang tak bersalah. Tapi, sekarang sudah tidak mungkin lagi menghentikanmu.” Ae Ri berjalan ke salah satu sudut dapur dan mengeluarkan sebuah map. Lalu, menjatuhkannya di dekatku. “Ini saham yang kau minta. Meski, selama beberapa tahun ini terakhir ini aku berusaha menghentikanmu untuk balas dendam. Kau tetap tidak mau menurut.” katanya. “Saat aku akan membayar semua tagihan rumah sakit. Kau menolaknya dengan keras dan tetap membayarnya dengan hasil pekerjaanmu. Kau hanya mau jika aku membantumu menyembunyikan keberadaan ayahmu.”
                Kim San berkata dengan nada datar, “Itu karena aku tidak percaya padamu. Aku tidak percaya pada wanita manapun.”
                Ae Ri tahu Kim San gay.
                “Lalu, siapa yang kau percaya?”
                Kim San menghabiskan semua pai dan jusnya dengan cepat. Lalu, menatapnya sambil berkata, “Uang.”
Kim San kembali berkata, “Hanya uang yang kupercaya. Uang tidak pernah menghinatiku. Bukan polisi atau hakim yang menghakimi. Tapi, uanglah yang menjadi hakim di dunia ini. Uanglah yang menjadikan manusia itu baik atau buruk. Hanya uang. Uanglah yang menentukan derajat manusia menjadi baik atau buruk. Uanglah yang bisa menentukan nasib seseorang.”
Ae Ri mendekatiku dan memeluknya.
                “Setelah, sekian lama, kau masih tetap tak percaya padaku. Meski, aku menyerahkan semua yang aku miliki. Kau masih tetap tak percaya padaku. Kau berubah menjadi pria yang jahat dan kejam demi balas dendam.” katanya dengan nada perlahan.
Air mata mengalir dari matanya.  Tapi, hati San tetap saja dingin dan tidak memberikan respon apapun. Hatinya sudah mati. Kim San tak percaya pada siapapun, atas dasar apapun. “Berat sekali semua cobaan yang kau terima. Sampai, membuatmu menjadi manusia yang seperti ini. Manusia yang berdarah dingin dan tak segan melakukan apapun demi mendapatkan apa yang kau inginkan. .....”
                Kim San tidak memegang balik lengannya.
                Dia hanya berkata, “Ya. Kehidupan telah merenggut segalanya milikku. Menyebabkan, aku menjadi manusia berdarah dingin. Dendamku pada ibu tiriku, berubah menjadi nafsu yang merubahku menjadi iblis. Nafsu itulah yang mendorongku untuk melakukan semua kejahatan, membuatku tak segan melakukan apapun demi mendapatkan yang kuinginkan. Termasuk membunuhmu jika kau berani menghalangiku...”



[1] Pulau Jeju adalah pulau wisata paling terkenal di Korea, bahkan orang Korea menyebut dengan istilah “Pulau Bali“-nya Korea. Di Pulau tersebut terdapat Gunung Halla, yaitu gunung tertinggi di Korea Selatan. Pulau Jeju merupakan wilayah yang paling hangat dan pada musim dingin sangat jarang turun salju, sehingga tanaman-tanaman yang biasanya tumbuh di daerah subtropis bisa bertahan hidup.

Sabtu, 25 April 2015

wangja 15-18

15
                Begitulah, Min Ho dulunya bukan gay. Dia pria normal seperti kebanyakan orang. Hanya saja, dia bukanlah pria yang dicintai. Dia dibuang oleh kedua orang tuanya, mereka hanya menganggapnya sebagai alat atau boneka yang kelak akan mereka kendalikan. Selain itu, dia juga dibuang oleh lingkungannya.
Sejak kecil, Min Ho sudah dibully oleh teman-temannya. Dia diejek dan tak ada satu pun yang mau membelanya. Setiap kali berjalan di sekolah, Min Ho akan menundukkan kepalanya. Takut. Malu. Karena, orang-orang mengolok-ngoloknya. Karena, mereka menjadikannya bahan tertawaan. Ketika, akhirnya dia masuk universitas, Min Ho sudah kehilangan rasa percaya dirinya. Meski, kaya, akhirnya Min Ho menjadi suruhan, menjadi alat yang bisa dimanfaatkan, menjadi sesuatu yang akan disayangi hanya ketika dibutuhkan. Setelah itu, kembali menjadi korban bully.
Tak ada satupun yang mau mencintainya.
                Karena itu, Min Ho menjadi pria yang haus akan kasih sayang.
                Kemudian, Kim San datang ke dalam hidupnya. Memberikan apa yang selama ini begitu dia idamkan. Sebuah cinta. Tentu awalnya, Min Ho menolak. Tapi, pada akhirnya dia mau menerima cinta itu, meski dalam bentuk yang berbeda. Meski, jika menerima cinta yang diberikan San akan membuatnya berbeda dari orang lain. Karena, Min Ho ingin menerima cinta. Dia ingin dicintai seperti kebanyakan orang. Dia ingin mencintai dan berbagi cinta dengan seseorang.
                Meski, dengan sesama pria[1].
                Sejak bertemu San, Min Ho mulai berubah. Tubuhnya yang kurus mulai berisi dan berotot. Min Ho berubah menjadi pria yang tampan dan menjadi idaman wanita. Bahkan, oleh wanta-wanita yang dulu sering mengejeknya. Hanya saja, Min Ho sudah tidak perduli lagi dengan wanita-wanita itu. Karena, kini dia sudah memiliki Kim San. Pria yang dia cintai. Demi dialah Min Ho berani berubah.
                Padahal, mungkin saja Kim San sama sekali tidak mencintainya. Kim San berani menjual adiknya sendiri demi uang. Hal semacam itu, bukanlah hal yang sulit baginya. Aku terkadang tak tahu apa dia benar-benar manusia atau bukan. Apa ada manusia yang seperti Kim San, sampai sekarang aku sendiri tak tahu.
                Jung Woo membelokkan mobil ke sisi jalanan dan menghentikan mobilnya.
                “Kenapa kau tega menjual So Hyun? Padahal, So Hyun begitu lembut dan baik. Tapi, kenapa dia punya kakak seperti dirimu?” tanya Jung Woo.
#####
                So Hyun terbangun karena ketukan pintu yang semakin keras. Tubuh So Hyun yang kurus dan kecil bergerak di atas lantai yang sudah rusak. Rumah yang mereka tinggali tidaklah besar. Hanya, sebuah rumah kecil yang berada di sudut kota. So Hyun membuka pintu, kakaknya berdiri diluar dengan tangan memegang sebotol minuman keras.
                “Kenapa kau baru membukanya sekarang? Apa kau tidak dengar suaraku? Apa kau tuli?” teriak Tae Ho. So Hyun menutup mulutnya rapat-rapat, “Oppa, kau mabuk lagi?”
                PLAK!!!
                So Hyun terbanting ke lantai.
“Kenapa kau tidak membuka pintunya dari tadi?” teriak Tae Ho sambil menarik rambutnya. So Hyun menangis dan ketakutan. Badannya penuh dengan luka, karena nyaris ditampar setiap hari. “Kakak, ada apa denganmu? Kenapa kau jadi seperti ini? Kenapa saat kita sudah bebas, kau jadi pemarah, pemabuk dan juga menyiksaku seperti ini?” katanya dengan air mata mengalir dari kedua matanya.
Tae Ho meneguk lagi alkohol dan melemparnya ke lantai sampai pecah.
Adiknya berteriak karena ketakutan.
“Itu karena aku bosan melihatmu! Kau hanya bisa menangis dan tak bisa menghasilkan uang untukku!” teriaknya. Tae Ho menarik rambut So Hyun dengan lebih kencang dan membawanya ke kamar mandi. Tanpa memperdulikan teriakannya yang semakin kencang. Kemudian, Tae Ho memasukkan kepala So Hyun ke bak mandi yang penuh dengan air.
“Jika, tahu begini! Kenapa kau tidak mati saja?! teriaknya.
Setelah puas, dia  membanting So Hyun ke dinding. So Hyun tampak sangat kelelahan bahkan sampai tidak bisa mengeluarkan suara tangisan. Hanya air mata tak terus mengalir dari matanya.
“Tidak. Aku akan membunuhmu, setelah kuhilangkan keperawananmu.” kata Tae Ho sambil terkekeh. “Setidaknya, berikan aku bayaran karena telah membebaskanmu dari cengkraman ibu tiri kita yang jahat...”
Saat, Tae Ho akan mezinahinya, tiba-tiba saja pintu depan rumah terbuka dan sepasang suami-istri masuk ke dalamnya. Karena letak kamar mandi yang berdekatan dengan pintu. Membuat mereka bisa menebak apa yang telah terjadi. Wajah mereka kelihatan khawatir, sekaligus waspada
“Apa yang kau lakukan?” tanya si pria.
“Aku?” kata Tae Ho. “Aku sedang menyiksa adikku yang tidak berguna ini. Kenapa? Lagipula, kalian tidak akan jadi membelinya, kan?”
Adiknya tampak terkejut. Wajahnya berubah menjadi pucat pasi seperti mayat. Dalam kelelahan, dia masih bisa berkata dengan lirih, “Kau bahkan telah menjualku?” Kim Tae Ho menatapnya dengan pandangan penuh hawa nafsu dan berkata, “Ya. Aku telah menjualmu. Aku sudah mencari-cari orang yang mau membelimu. Entah sebagai budak ataupun pembantu rumah tangga. Tapi, satu-satunya yang mau membelimu hanya pegawai negeri miskin seperti mereka.”
Kim San  melepas bajunya, bersiap melanjutkan kegiatannya tadi.
Tiba-tiba pria itu menarik rambut Tae Ho dan melemparnya keluar dari kamar mandi. Wanita yang kuyakin istrinya langsung mendekat ke arah So Hyun dan memeluknya. Setelah si suami, memukul Tae Ho berulang kali, kemudian berkata, “Dia adikmu sendiri! Bagaimana bisa kau melakukannya? Apa kau tidak takut pada Tuhan?”
Kim Tae Ho terkekeh.
“Kau tahu siapa Tuhanku?” katanya sambil tersenyum mengejek. “Tuhanku adalah yang bisa memberikanku segalanya untukku.”
Wanita yang kutahu bernama Ha Yoo Jin itu terlihat tak kuasa lagi menahan emosinya. Dia meletakkan So Hyun di lantai dengan perlahan. Lalu, membuka kopor yang dibawanya dan membuka isinya. Lalu, melemparkan isinya, di atas tubuhku.
“Maksudmu, uang, kan?”
Tae Ho hanya terkekeh.
“Ambil! Ambil uang itu! Tapi, kami akan mengambil So Hyun. Meski, kami miskin dan hanya pegawai rendahan! Tapi, dia lebih baik tinggal bersama kami. Daripada, tinggal dengan binatang sepertimu!” Han Il Suk bangkit dan segera masuk ke kamar mandi. Mengangkatnya dengan kedua tangannya dan melangkahkan kakinya pergi. Istrinya menyusulnya dari belakang. Keduanya tampak tidak sudi menatap wajah Tae Ho.
Kim Tae Ho mengambil uang yang bertebaran di seisi rumah sambil tertawa terbahak-bahak, “Aku kaya! Sekarang, aku kaya! Dunia akan menerima hukuman atas semua perbuatannya padaku.” teriaknya dengan kencang.
16
Jung Woo hanya diam saat Kim San bercerita. Sebenarnya, dia sudah tahu cerita itu dari So Hyun. Tapi, tetap saja dia terpaku saat mendengar Kim San menceritakannya.
“Awalnya, aku ingin menolong  So Hyun. Tapi, lama-kelamaan, aku mulai lelah untuk menolongnya. Aku bosan hidup dengannya. Aku ingin kekuasaan, aku ingin harta, aku ingin menghancurkan dunia dengan tanganku sendiri.” katanya dengan nada santai, tapi tersembunyi emosi di dalamnya.
“Itukah yang membuatmu menjadi sangat kejam? Demi membalas dendam pada dunia? Demi membalas semua perlakuan orang-orang yang jahat padamu? Dendam? Lalu, apa kesalahan Min Ho sampai kau harus merusak dirinya sedemikian rupa?” tanya Jung Woo.
“Tidak ada.” kata San.
“App....apa?” Jung Woo sangat terkejut. Selama ini, dia hanya berpikir alasannya karena San ingin melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Jin Hee padanya. Dia pikir, Kim San ingin membalas dendam pada anaknya.
Kim San kembali mengulanginya dengan suara yang lebih pelan. Menyiksa batin Jung Woo dan menyayatnya rasa kemanusiaan yang dimilikinya. Tapi, Kim San justru semakin senang melihat batin Jung Woo yang tersiksa dan terintimidasi. Seperti, yang dia katakan. Saat ini, Kim San sedang menyayat hatinya dengan pisau bergerigi.
“Tidak ada. Dia tidak melakukan kesalahan apapun. Satu-satunya kesalahan yang dia miliki adalah dia begitu bodoh. Begitu lugu, naïf dan polos. Membuatku bisa merubahnya menjadi seorang homoseksual. Menjadi penyuka sesama jenis. Membuatnya, mencintaiku sampai dia akan mati jika aku mati. Sampai dia berani mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanku. Membuatnya memujaku dan membuatnya berfikir jika aku adalah yang paling benar, sementara yang lain salah.”
Tangan Jung Woo yang memegang setir dengan gemetar.
Kim San merasakan puncak kesenangan saat badan Jung Woo gemetar dengan kuat. Dia melepaskan tangannya dan menutupi telinganya. Badannya sudah terlalu tersiksa sampai dia tak bisa sekedar untuk melarikan diri sekalipun.
“Di..diam......” katanya dengan nada putus asa. “Tuan...bi....bi..bisakah....anda berhenti?”
Tapi, Kim San sudah terlanjur menikmatinya.
“Saat aku menyuruhnya menunjukku agar bekerja di perusahaan miliknya. Dia melakukannya. Saat, aku menyuruhnya mendukungku menjadi direktur, dia juga melakukannya. Nanti, saat, aku menyuruhnya menghancurkan perusahaan dia akan melakukannya.”
Jung Woo memejamkan matanya, tangannya menutup telinganya dengan kencang.
“Jika, saat itu terjadi, selanjutnya aku akan menghancurkan pria itu dengan tanganku sendiri. Aku akan menyiksanya dengan perlahan-lahan. Jika, dia memejamkan matanya, aku akan memaksa dia membuka matanya agar dia melihat  kehancuran yang akan terjadi pada dirinya dan semua yang dia miliki.”
#####
Menurut kalian, apa Tae Ho melakukan hal buruk pada So Hyun, benar-benar karena dia muak dengan So Hyun?
Jawabannya, tidak.
Tae Ho melakukan hal itu, karena dia harus balas dendam pada musuh-musuh yang telah membuat keluarga mereka hancur. Dia tak bisa melakukan itu jika So Hyun ada bersamanya. Karena, dia tak ingin So Hyun menjadi seperti dirinya. Baginya, cukuplah dirinya yang menjadi setan, bahkan kalau perlu menjadi iblis sekalipun.
Tapi,  hal itu tidak boleh terjadi pada So Hyun.
Perlu waktu yang cukup lama bagi Tae Ho untuk mencari orang tua yang cocok untuk So Hyun. Sampai, akhirnya, Tae Ho menemukan Han Il Suk dan Han Se Kyung, pasangan suami istri yang tidak memiliki anak. Dia meneliti sikap mereka selama berbulan-bulan untuk melihat apa mereka baik, apa mereka bisa diandalkan, apa mereka akan menjadi orang tua yang baik bagi So Hyun.
Kemudian, setelah itu hanya perlu berbotol-botol soju untuk membuatnya mabuk, sehingga dia bisa melakukannya tanpa ragu. Itulah yang selalu dilakukannya setiap malam saat telah memutuskan untuk balas dendam.
Dia perlu membuang hatinya agar bisa membalas dendam pada mereka.
Sekarang, apa Tae Ho sama jahatnya dengan Choi Jin Hee dan Park Jae Seong? Atau malah mungkin lebih jahat dari mereka? Menjadi iblis seperti dua orang itu? Dengan rendah hati kukatakan, Aku tidak tahu.
17
                Salju yang turun malam ini, lebih banyak dari malam-malam sebelumnya. Dari mulut orang-orang disekitar Kim San. Aku bisa melihat asap  yang keluar dari mulut mereka. Karena, ini bulan Januari, sudah tak ada lagi pernak-pernik natal yang biasanya akan terpasang dimana-mana.
                Kim San berjalan seorang diri. Dia mengenakan celana hitam panjang, kemeja putih dan sebuah mantel besar yang menutupi tubuhnya. Di lehernya, ada sebuah syal merah yang menghangatkan lehernya. Hari ini, dia baru saja bertemu dengan beberapa pemegang saham lain. Bernegosiasi dengan mereka, kemudian membeli saham-saham mereka.
                Sebenarnya, tadi Jung Woo yang mengantarnya ke tempat pertemuan. Tapi, entah kenapa pada akhirnya dia menyuruh Jung Woo pergi. Kim San, ingin menikmati malam seorang diri. Meski, dia sendiri tak tahu apa yang ingin dinikmatinya. Matanya, melihat berkeliling, sepuluh meter tak jauh dari tempatnya berada. Ada warung tenda yang berwarna merah. Di sana, ada banyak orang yang sedang minum-minum sambil bercengkrama dengan kawan-kawannya atau mungkin juga rekan bisninya. Sambil menikmati berbotol-botol soju, tawa mereka terdengar sampai keluar tenda.
                Kim San kembali berjalan.
                Dilihatnya beberapa wanita sedang menunggu bus di halte. Sebagian dari mereka memegang ponsel dan terkikik saat melihat sesuatu di dalam ponsel mereka. Sepertinya, mereka sedang melihat gosip artis K-Pop yang sedang terkenal saat ini. Atau mungkin juga sedang melihat betapa tampannya penyanyi K-Pop idola mereka.
                Kim San berjalan ke halte dan berdiri      di sana. Tak lama kemudian, bus datang dan San masuk ke dalamnya. Dulu, Kim San sering sekali pergi ke sana-kemari dengan menggunakan bus.
                Wanita-wanita yang tadi berdiri di halte, sekarang berbisik-bisik saat melihatnya. Kim San tahu, mereka memuji betapa tampan dirinya. Bahkan, mereka tanpa rasa malu mengangkat ponsel mereka untuk memotret dirinya. Kim San tidak perduli, dia hanya melihat salju yang turun dari luar bus. Memang, wajah ini banyak gunanya, pikirnya. Dulu, biaya ayahnya tidaklah sedikit, Kim San akhirnya mencari uang dengan menjual dirinya. 
                Bus berhenti.
                Kim San turun dan berjalan ke sebuah toko yang tutup. Dari kejauhan, dia bisa melihat So Hee yang sedang diam. Kim San bisa melihat rambut So Hee yang diikat ke belakang. Rambutnya masih sama berantakannya seperti yang selalu dilihat Kim San. Kim San berjalan dan masuk ke dalam toko. Kemudian, membeli beberapa minuman hangat dan sebungkus rokok.
                “Semuanya, sepuluh ribu won.” kata So Hee.
                Kim San mengeluarkan uang sebanyak yang diminta So Hee. Tapi, saat So Hee akan mengambilnya. Kim San memegang tangan So Hee dengan lembut. So Hee terkejut, dia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman San. Hanya saja, San justru membuat genggamannya menjadi lebih kuat. Dia menatap So Hee, “Apa kau selalu sendirian?”
                So Hee tidak menjawab, dia berusaha menarik tangannya dari Kim San.
                “Apa kau mau menemaniku malam ini? Kau akan kubayar sepuluh kali lipat dari gajimu di sini....” kata Kim San sambil menatap So Hee. So Hee masih tidak menatap San, dia hanya berkata dengan nada dingin, “Apa Anda bisa melepaskan tangan saya?”
                San akhirnya melepaskan genggamannya.
                Kim San melangkahkan kakinya keluar dari mini market. Dia berjalan ke tempatnya semula dan membuka salah satu minuman hangat yang dibelinya. Kemudian, meneguknya perlahan-lahan. Tapi, meski, kehangatan menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Mata Kim San hanya tertuju pada wanita itu. Kang So Hee. Wanita itu, sama sekali tidak pergi. Dia sama sekali tidak terganggu dengan Kim San. Dia tidak memperdulikan San.
                Kim San tertarik pada So Hee.
                Tentu bukan karena Kim San jatuh cinta pada So Hee. Kim San, tak mengenal cinta dalam hidupnya. Dia hanya ingin tahu, apa mata itu akan berubah. Tatapan itu, tatapan seseorang yang ingin mati. Apa tatapan itu akan berubah suatu hari nanti? Karena, selama tiga tahun dia melihat So Hee. Tak pernah sekalipun, dia melihat tatapan itu berubah.
                Saat, seorang wanita yang ingin mati, bertemu seorang pria yang ingin hidup selama-lamanya. Apa yang akan terjadi?
18
                So Hee baru pulang sekitar pukul lima pagi. Saat, ada seorang pria yang menggantikannya bekerja di mini market itu. Meski, jam menunjukkan pukul lima, keadaan masih cukup gelap dan nyaris tak ada tanda-tanda matahari akan terbit. Semoga saja, tidak ada badai salju.
                So Hee berjalan perlahan-lahan di atas jalanan yang sudah tertutupi salju. Kali ini, salju sudah menutupi hampir sebagian besar bangunan. Suhu mungkin sudah turun sampai ke nol derajat celcius, tapi So Hee hanya terus berjalan. Tidak memperdulikan sekelilingnya, seolah-olah dia tidak merasakan hawa dingin sama sekali.
                Kim San berjalan di belakangnya. Hanya berjalan untuk mengikutinya. Ketika, So Hee masuk ke dalam bus. Kim San ikut masuk ke dalamnya. So Hee  duduk di bangku ke tiga dari depan. Sementara, San lebih memilih duduk di bangku paling belakang. Ketika bus mulai berjalan, kedua orang itu, hanya memperhatikan salju yang terus turun tanpa henti. Tak tahu untuk apa, hanya memandanginya saja........
                Kim San tak pernah ingat betul kapan dia mulai kehilangan ‘rasa’ pada wanita. Ada kalanya San berpikir jika segalanya terjadi begitu saja. Seolah-olah dia memang terlahir tidak untuk mencintai mahluk bernama wanita. Toh, memang Kim San tak pernah merasakan perasaan itu. Karena, bahkan sebelum bencana itu terjadi pada dirinya, dia masih terlalu kecil untuk menyukai wanita. Tapi, jika memang ada pemegang saham yang mau menyerahkan sahamnya pada San dengan syarat harus berhubungan intim dengannya. Kim San dengan senang hati akan meladeninya.
                Meski, Kim San tak pernah mempercayai bahwa cinta itu ada.
Selain cinta, San juga tak pernah mempercayai siapapun. Apalagi, wanita. Karena, wanitalah mahluk yang membuat hidupnya menjadi seperti ini. Kalau saja, dulu ayahnya tidak mencintai Jin Hee dan mempercayaianya. Ayahnya, pasti tidak akan mengalami hal semacam ini dalam hidupnya.
                Bus kemudian berhenti.
                So Hee turun dan San mengikutinya dari belakang. Aku tidak begitu tahu disebut apa lingkungan tempat tinggal So Hee. Karena, lingkungan tempat tinggal So Hee seperti asal dibuat. Rumah yang satu dengan yang lainnya berdempet satu dengan yang lainnya. Pepohonan nyaris tidak ada. Bahkan, kalaupun ada hanya sebuah pohon yang kehilangan daun-daunnya. So Hee berjalan melewati sebuah toko dan kemudian turun dengan tangga yang tersedia di sana.
                Kim San mengikutinya dari belakang.
                Kemudian, So Hee berbelok dan masuk ke sebuah lorong kecil. Mengambil kunci dari sakunya dan masuk ke dalamnya.  Di sanalah rumah So Hee. Terdempet diantara bangunan-bangunan lain. Sebuah rumah kecil yang tak terurus. Kim San naik ke tangga sebuah bangunan yang tampaknya sudah tidak digunakan. Setelah, naik ke atas bangunan tersebut, San hanya berdiri memandangi So Hee dari atas. Lewat jendela yang terbuat dari kaca dan sebuah penerangan sederhana.
                Kim San memperhatikan So Hee.
                So Hee membuka jaketnya yang tipis dan meletakkannya asal. Kemudian, mengambil mie dari kardusnya dan memasaknya dengan pandangan kosong. Setelah itu, memakannya dengan perlahan. Setelah itu, dia hanya asal meletakan bekas makanannya dan tidur di sebuah matras yang tipis. Dia cantik bahkan saat tidur, pikir San. Ada yang bilang jika kecantikan alami seorang wanita hanya akan terlihat saat dia tidur. Keanggunannya juga hanya akan terlihat saat dia tidur. So Hee tertidur dengan tenang dan rileks sekali. Meski, dari melihat jauh, tapi Kim San yakin So Hee tidak mendengkur.
                Kalau aku normal, aku mungkin sudah mencintainya, pikir Kim San. Dia meremukkan kaleng yang sudah habis diminumnya dan membuangnya ke sembarang arah. Rokok yang tadi dibelinya pun, sama sekali tidak disentuhnya. Dia membeli rokok itu hanya karena iseng, tapi San tidak merokok. Karena, merokok bisa merusak kesehatannya.
                Dia tak boleh mati sebelum bisa membalas dendamnya.
Kim San  baru pergi setelah matahari benar-benar terbit.  Saat dia yakin, So Hee sudah benar-benar tertidur.



[1] alasan seorang pria menjadi gay bermacam-macam. Ada karena trauma (misalkan karena pernah dikecewakan oleh wanita, sehingga berpikir jika semua wanita itu sama. Lalu, memutuskan untuk menjadi gay), atau bisa juga karena perasaan di dalam dirinya sejak kecil yang mengatakan dia ‘wanita’ (sehingga ingin berhubungan dengan ‘pria’), tapi bisa juga karena pergaulan dan alasan lainnya. 

Jumat, 24 April 2015

wangja 12-14

12
                Salah satu hal yang paling menakutkan dari apa yang dialami Tae Ho, adalah dia belajar menikmati apa yang dia lakukan bersama pria bertato itu. Karena, hanya dengan cara itu Tae Ho bisa membuat dirinya tetap waras.
                Ada seorang nenek yang selalu membawakan makanan untuknya.  Saat itu, baik Kim Tae Ho dan juga aku, sama sekali tak tahu siapa nama nenek itu, begitu juga kakek yang menjadi suaminya. Satu hal yang aku tahu, adalah merekalah yang menjaga dan merawat rumah setelah semua pelayan pergi ke tempat Jae Seong dan Jin Hee.
                Makanan yang mereka bawakan tidaklah enak. Sepertinya, makanan untuk hewan atau mungkin juga pupuk untuk tanaman. Karena, makanan yang dibawakan oleh nenek itu berisi nasi basi, tulang-belulang, dedaunan dan sisanya hanya tanah. Aku yakin jika orang biasa pasti akan langsung muntah saat memakannya. Tapi, Tae Ho sama sekali tidak punya pilihan. Dia harus mengesampingkan semua perasaan mual, jijik dan eneg saat memakannya. Itu juga yang dikatakannya pada So Hyun, “Makanlah! Kita tak punya banyak pilihan, kecuali memakannya....”
                So Hyun mengangguk, dia memakan makanan itu sambil menangis tanpa suara.
                Nenek itu melemparkan antiseftik ke Tae Ho, dia memandang Tae Ho dengan iba dan berkata dengan lirih, “Maafkan aku. Karena, tidak bisa membantu kalian.”
                “Tak apa-apa.” kata Tae Ho. Nenek ini juga ketakutan seperti Tae Ho. Entah apa yang dilakukan Jin Hee pada mereka. Tapi, mereka mungkin akan dibunuh jika membantunya kabur. Mereka bahkan tidak boleh memberi Ta Ho dan So Hyun makanan layak. Mereka hanya boleh masuk ke sini sebentar dan memberi makan. Setelah itu, dia harus segera keluar.
                “Bagaimana kabar ayahku?” tanya Tae Ho pada nenek itu.
                Nenek itu melihat keluar sebentar, setelah yakin tidak ada siapa-siapa. Kemudian berkata dengan tangan gemetar, bahkan saat tak ada siapa-siapa dia tetap merasakan ketakutan. Sampai, sekarang aku masih tak tahu apa yang telah diperbuat Choi Jin Hee dan Park Jae Seong pada keduanya.
 “Keadaannya saat ini cukup stabil.” katanya. Setelah itu, dia segera keluar dan mengunci pintu. Kami kembali dalam gelap, tak jalan untuk kabur. Jendela sudah dipasang terali besi dan pintu kamar akan selalu dikunci. Pintu itu hanya akan  terbuka dua kali. Saat mereka akan diberi makanan hewan dan saat Tae Ho akan melakukan hubungan seksual.
Sementara, kamar mandi di kamar tempat mereka berada nyaris tidak berisi air kecuali sangat keruh dan kadang tidak keluar sama sekali. Semua benda yang membuat Tae Ho bisa melawan sudah dihilangkan oleh pria bertato itu. Bahkan, kaca di kamar mandi sudah dibawa pergi agar dia tidak bisa menggunakannya.
                Setelah selesai makan, Tae Ho beristirahat sebentar.
                Tae Ho memalingkan wajahnya ke arah So Hyun dan mengusap rambutnya sambil tersenyum, “Tidurlah! kita tak tahu apa yang akan terjadi nanti malam. Kita harus memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya.”
                So Hyun mengangguk dan membaringkan dirinya di lantai. Tae Ho menggunakan pakaian-pakaian So Hyun saat masih kecil untuk menjadi selimbut. Pakaiannya sekarang, sudah pasti tidak muat. Saat, dia sudah tertidur. Tae Ho berjalan ke bagian lain kamar dan memukul kaca jendela yang dipasangi terali besi dengan tangannya.  Retakan yang dulu hanya sebatas garis kecil. Sebentar lagi akan pecah. Tae Ho menahan diri agar tidak memukulnya sampai pecah. Meski, hanya sedikit, tetap saja akan gawat jika ketahuan oleh pria bertato itu.
                Aku tak punya waktu lagi.           
                Jika, tak ada jalan keluar yang tersedia, aku akan membuat jalan keluar itu sendiri.
13
Pria bertato itu datang lagi ke kamar sempit mereka. Kamar yang begitu kumuh karena bertahun-tahun tidak dibersihkan. Kamar yang kasurnya sudah begitu tipis, karena tidak pernah diganti. Kamar yang bau sperma begitu menyengat ke segala penjuru. Pintu kamar terbuka, pria bertato itu masuk ke dalam kamar. Dia mabuk berat, tapi tentu saja, meski semabuk apapun, mereka tak akan mudah untuk kabur dari sana.
Tae Ho menyuruh So Hyun untuk duduk dipojok, aku mendengarnya berkata, “Tetaplah di sini dan tundukkan kepalamu sampai aku menyuruhmu mengangkatnya,  mengerti?”
Adiknya mengangguk.
“Hei! Bocah! Kemarilah!” katanya berteriak sambil menutup pintu. Tae Ho mendekat ke arahnya, aku tahu jika Tae Ho tak  melakukannya. Dia yang akan mendekat ke arah Tae Ho dan pasti akan menghajar adik Tae Ho dulu
 Dia mengunci sudah pintu kamar dan menggantungkan kunci itu di lehernya. Kunci itu dipasangi tali, sehingga mirip kalung. Membuat Tae Ho, harus berhadapan dengannya jika dia ingin melarikan diri.  Dia sudah mengenakan cakarnya dan mendekatinya. Tae Ho mundur perlahan-lahan. Pria bertato itu mabuk berat. Badannya kelimpungan dan saat mendekati Tae Ho. Saat dia akan mulai membuka bajunya....
Tae Ho memukul selangkangan pria itu dengan sangat kencang.
Pria bertato itu terkejut dan berusaha melawan. Tapi, Tae Ho segera memukul lehernya dengan sangat kuat.  Pria bertato itu terkejut, tapi terlambat untuk menghindar. Dia terjatuh ke lantai dan memegang lehernya. Pria itu berteriak dengan sangat kencang, nafasnya pasti sangat sesak sekarang. Mulutnya mengeluarkan cacian dan makian pada Tae Ho.
Dia segera berdiri dan segera memukulnya, “Kau pikir bisa mengalahkanku?”
Tae Ho terbanting ke dinding.
Aku akan segera pergi, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Saat Tae Ho akan memukul wajah pria itu lagi, dia memegang lengannya. Tae Ho menendang lagi selangkangannya dan kencang. Dia terjatuh. Tae Ho segera mengambil pecahan kaca yang disembunyikannya di bawah kasur dan menusukan benda itu ke matanya.
“AHHH..” Pria itu berteriak dengan kencang.
Tae Ho segera menerjang pria itu dan menindihnya dengan badannya.  Dia memukul leher pria bertato itu terus menerus sampai dia tak bergerak. Matanya sudah hancur karena kaca yang ditusukkan Tae Ho. Tae Ho segera mengeluarkan  kunci itu dari lehernya dan melepaskan cakar emas yang dia pakai.
 Setelah itu, dia segera mendekati So Hyun.
Tangannya sedang menutup kedua telinganya, sementara wajahnya menunduk ke bawah dan air mata pasti sedang mengalir dari sana. Tae Ho menyentuh bahunya, dia mengangkat kepalanya dan Tae Ho menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Cepat! Kita tak punya waktu lagi!”
Tae Ho memegang tangan kecil So Hyun, keluar dari kamar, mengunci pintu kamar lagi dan keduanya berlari di  lorong.
Keduanya berlari ke kamar ayah mereka.
Dia masih ada di sana. Kurus dan kecil tanpa daya. Rambutnya berantakan karena tidak ada yang menyisirkan untuknya. Tae Ho membuka lemari pakaian ayah. Berharap ada sesuatu yang bisa membantunya. Ada kotak perhiasan. Tae Ho membukanya dan mengambil semua yang bisa diambil. Setelah itu, dia mengambil infus ayahnya dan mengikatnya di lengannya, lalu berusaha menggendongnya seorang sendiri. So Hyun dengan tangan gemetar, berusaha membantu kakaknya. Setelah itu, dengan bersusah payah Tae Ho berlari agar bisa keluar dari rumah.
Kemudian, saat mereka akan keluar. Pasangan kakek-nenek itu berdiri di sana. Dari mata mereka aku bisa melihat kekhawatiran dan ketakutan. “Kaka....Kami sudah menelepon taksi dan dia ada diluar.”
“..Maaf, ka...kami benar-benar ketakutan sampai tak bisa membantumu. Tapi, jika kami ketahuan, kami akan dibunuh. Kami ha....hanya bisa membantumu sebatas ini.”
Tae Ho tak banyak mengeluh dan hanya bisa berkata, “Tak apa-apa. Kalian sudah mau memberi tahu keadaan ayah secara berkala. Dengan begitu, aku bisa menentukan waktu yang tepat untuk kabur dari sini. Lagipula, kalianlah yang membuat dia mabuk berat. Itu sudah sangat membantuku.”
 Kakek-nenek itu mendekati mereka dan menyerahkan sebungkus uang receh dengan tangan gemetar. Tapi, Tae Ho berkata dengan tegas, “ Jangan! Ambil uang itu dan kaburlah! Jika, kalian tetap di sini....”
Tiba-tiba infus ayah terlepas dari lengan Tae Ho dan dia kesulitan untuk mengambilnya. Kakek itu mengambilnya dan ketika dia akan mengikatnya lagi di lengan Tae Ho, aku mendengar Tae Ho berkata, “Terima kasih atas bantuan kalian.” Kemudian, dia mengigit infus itu dengan mulutnya dan melangkahkan kaki-kaki kecil mereka keluar dari rumah.
Seorang supir taksi berwajah kebapakan terkejut saat melihat keduanya keluar dari rumah. Meski, awalnya tampak ragu, tapi akhirnya dia membuka pintu taksi dan setelah Tae Ho memasukkan Jo Myung ke dalamnya. Dia bertanya, “Apa yang terjadi padamu, Nak?”
Tae Ho hanya bisa berkata, “Tolong antarkan kami ke rumah sakit yang jaraknya sangat jauh dari sini.” Dia mengeluarkan  salah satu cincin emas mewah dan bertanya, “Apa aku bisa membayar dengan ini?”
Pria itu tak banyak bicara dan hanya mengangguk sambil masuk ke dalam taksi, kemudian menyalakan mesin mobil. Taksi itu bergerak dengan cepat, menjauh dari rumah tempat mereka disekap selama bertahun-tahun.[1]
14
Aku pernah membaca sebuah novel yang ditulis oleh seseorang yang kukenal. Judulnya, Dr. White. Novel itu menceritakan tentang seorang pria yang putus asa dalam menjalani hidupnya. Hidupnya, dipenuhi dengan kesengsaraan dan juga kemalangan.Tapi, akhirnya diceritakan jika si tokoh utama meninggal dengan cara yang baik.
Novel itu, lumayan bagus untukku. Meski, harus kuakui juga ada beberapa kelemahan dalam ceritanya. Tapi, tidak apa-apa, bukankah tidak ada yang sempurna di dunia ini? Kalau seandainya, novel Dr.White digambarkan dalam satu kata. Maka, aku akan memilih kata putus asa untuk menggambarkan novel itu.
Tapi, jika aku harus menggambarkan kisah ini dalam satu kata.
Maka, aku akan memilih kata pembalasan dendam.
Aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya membuatku terus menulis kisah ini. Terkadang, aku ingin sekali berhenti, tapi tanganku terus saja mengetik tanpa berhenti, kecuali saat aku sudah benar-benar kelelahan. Barulah aku akan berhenti, tapi, setelah rasa lelah itu hilang, aku akan mulai menulis kembali. Sempat terpikir oleh ingin membuat kisah ini menjadi kisah yang sempurna. Sebelum, akhirnya kusadari jika aku tidaklah sehebat itu.
Di lain waktu, aku pernah membaca karya seorang penulis yang sangat populer dimana-mana. Ada kalanya aku ingin membuat kisah ini menjadi seperti kisah yang ditulis penulis itu. Tapi, lagi-lagi kusadari jika menulis tidak bisa meniru. Selalu akan ada perbedaan antara satu karya dengan karya yang lain. Kusadari, jika satu penulis dengan penulis yang lainnya punya genre­-nya masing-masing.
Jalannya masing-masing.
Tak semua orang ingin menulis karya yang rumit dan dalam. Sebagian penulis, lebih senang menulis kisah-kisah yang lucu dan unik. Sebagian lagi, lebih suka menulis kisah thriller dan juga misteri. Ada juga yang lebih ingin menulis kisah yang berisi nasehat dan kisah yang bisa memberi teladan.
Ada seorang wanita yang pernah berkata padaku, jika setiap manusia harus mencari jalannya sendiri-sendiri. Mungkin, aku juga akan menulis dengan caraku sendiri.  Dengan jalanku sendiri.
Di jalanku sendiri.
Malam ini, tanganku tak bisa berhenti mengetik.
Entah sampai kapan.....
#####
                Untuk bisa menguasai Grup DK. Setidaknya, harus bisa meyakinkan para pemilik saham yang berjumlah tiga puluh orang. Tak perduli bagaimana caranya, harus mampu meyakinkan ke tiga puluh orang itu. Ada dua cara yang mungkin dilakukan, pertama meminta setiap pemegang saham untuk mendukung Kim San dan cara yang kedua, adalah  membeli saham-saham mereka.
Kim San memilih cara yang kedua.
Aku tak akan menceritakan pada kalian setiap langkah yang dilakukan San,  tapi yang jelas San bisa membeli semua saham-saham milik mereka. Sebagian besar saham Grup DK sudah menjadi milik San. Hanya, tinggal beberapa orang saja yang harus San temui.
Bahkan, hari ini, San baru saja keluar dari sebuah hotel.
Tak ada senyum yang terlihat dari wajahnya meski dia sudah berhasil membeli beberapa saham lagi. Jung Woo membukakan pintu mobil untuknya, San masuk ke dalam mobil. Mobil pun melaju dengan perlahan-lahan.....
Entah, kenapa tiba-tiba saja Kim San berkata dengan lembut, “Apa yang kau katakan?”
Jung Woo hanya diam, tidak bergeming ketika tahu Kim San sudah membaca pikirannya. Mungkin, karena hal semacam ini bukan baru pertama kali terjadi. Satu hal yang unik dari Kim San adalah kenyataan jika dia memperlakukan orang yang bekerja padanya dengan baik. Dia tidak pernah memukuli mereka atau pun merendahkan mereka. Kim San akan memuji seperlunya jika memang itu yang diperlukan, tapi dia juga akan mengkritik dan tak segan menghukum jika memang itu yang diperlukan.
Lebih dari itu, Kim San terbiasa menerima kritikan dari bawahannya. Sehingga, bahkan Jung Woo bisa menceritakan apa yang ada dalam pikirannya dengan terbuka. Dia juga tidak pernah membenarkan tindakannya. Meski, jika mau dia bisa memberi sejuta alasan atas demi membenarkan tindakannya.
Mungkin, itulah salah satu alasan orang bisa setia padanya.
Jung Woo melihat San dari kaca mobil.
“Apa kau tidak terlalu kejam?” tanyanya.
“Kejam?” tanya San. “Pada siapa?”
Jung Woo tidak langsung menjawab, ada jeda sesaat sebelum dia memutuskan untuk kembali berbicara, “Satu hal yang paling menakutkan dari dirimu adalah saat kau memutuskan untuk menghancurkan orang, kau tidak akan melakukannya dengan cepat. Kau tidak akan membunuh seseorang dengan pedang tajam dan langsung menebasnya. Tapi, dengan pedang yang bergerigi atau pedang yang sudah akan tumpul. Kau akan sengaja membiarkan lawanmu merasakan rasa sakit yang amat sangat sebelum mereka akhirnya hancur. Kau bisa menunggu berpuluh-puluh tahun sampai pedangmu memenggal leher lawanmu. Kau akan menikmati setiap tetes darah yang keluar dari leher mereka. Saat lawanmu sekarat dan hampir meregang nyawa. Kau akan menjilati darah mereka yang ada pada pedang di hadapan mereka dan menyiksa mereka bahkan saat mereka akan mati.”
Kim San tersenyum. Mungkin, itulah senyuman iblis saat berhasil membuat Adam dan Hawa memakan buah terlarang.
“Apa aku sejahat itu?” tanya San, sama sekali tidak terdengar kesal. Bahkan –sejujurnya- kelihatan senang.
Jung Woo sama sekali tidak menjawab.
“Apa salah Min Ho padamu?”
“Apa Maksudmu?”
Kim San mengatakannya sambil tersenyum. Hanya tersenyum. Mata keduanya bertatapan di kaca mobil. Jung Woo tak tahan dan menatap jalanan saat dia kembali bercerita, “Aku tahu betul perbuatan Jin Hee dan Jae Seong sama sekali tidak bisa dimaafkan. Aku juga mungkin akan melakukan hal yang sama jika aku jadi kau. Tapi, Min Ho hanya seorang pria yang kehilangan kasih sayang orang tuanya. Dia dicampakkan oleh kedua orang tuanya. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan pembalasan dendammu. Tapi, tega sekali kau, jahat sekali kau telah melakukan perbuatan itu padanya.”
                “Melakukan apa?” tanyanya, kembali membiarkan Jung Woo bicara.
                “Kau tahu jika Choi Jin Hee dan Park Jae Seong tidak punya anak perempuan yang bisa kau hamili. Jadi, kau melakukan sesuatu yang sangat jahat padanya.”
                “Apa?” ulang Kim San.
Kim San tidak marah dan membiarkan Jung Woo mengeluarkan isi hatinya. Jung Woo berkata dengan lirih, “Kenapa kau begitu tega membuatnya menjadi seorang gay?......”
                Kim San hanya tersenyum penuh seringai.
                Jung Woo berkata lagi dengan perlahan-lahan.
“........menjadikannya seorang homoseksual?”



[1] Dalam dunia nyata pun, kisah-kisah penyekapan selama bertahun-tahun (bahkan ada yang sampai berpuluh-puluh tahun) banyak terdengar. Ada yang hanya sekedar diculik, tapi lebih banyak disekap dan diperkosa bahkan sampai ada yang hamil dan memiliki anak.

Selasa, 21 April 2015

Badai 9-11

9
                Seorang pelayan membuka pintu tempat San dan Min Ho akan makan. Di dalamnya, tampaklah Min Ho yang tak kalah tampan dan gagahnya dari San sendiri. Setelah menutup pintu, para pelayan menyingkir dan pergi. Karena, memang itulah yang diinginkan oleh Min Ho dan San.
                “Tak apa-apa kita pergi? Bagaimana, jika tamu wanitanya datang?” tanya salah seorang pelayan. Pelayan yang lain menjawab dengan tidak perduli, “Sudah biarkan saja! Kita cukup melakukan apa yang diminta pembeli. Toh, dia sendiri yang memintanya dan lagipula, makanan sudah ada di sana. Kita pergi saja, jarang-jarang, kan kita bisa bebas begini. Biasanya, kita harus melayani permintaa tamu sampai malam...”
                Pelayan-pelayan yang lain menyetujui hal itu.
                Di dalam ruang makan yang mewah itu. San dan Min Ho sedang makan malam asyik. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi, mereka benar-benar tampak seperti sepasang kekasih. Hanya saja, memang tidak ada wanita di sana.
                “Kau tidak memotong jenggotmu?” tanya Min Ho.
                “Apa perlu kupotong?” tanya Kim San. Dia memang membiarkan jenggot dan kumisnya agar tetap tumbuh. Min Ho menggelengkan kepalanya, “Kau tampak keren.”
                Kim San tersenyum. Kemudian, dia menghentikan makanannya dan mengambil anggur merah yang ada di dalam ember berisi es. Kemudian, membukanya dan menuangkannya ke gelas besar. Dia memberikan satu gelas pada Min Ho dan San duduk di kursi yang ada di dekat Min Ho.
                “Mari bersulang.” kata San.
                San dan Min Ho mengetuk ujung gelas mereka dan meneguk anggur merah itu pelan-pelan. Mereka bercanda, mengobrol dan tertawa sampai anggur mereka habis. Kemudian, saat San hendak mengambil botol anggur. Tangannya, ditahan oleh Min Ho. Benar, dulu pun begitu, awalnya mereka hanya berpegangan tangan.
#####
                Tae Ho perlahan-lahan mulai mengerti apa yang dilakukan oleh ibu tirinya. Awalnya, hanya pegangan tangan. Tapi, semakin lama, perbuatan mereka semakin berani. Setiap kali ayah Tae Ho pergi, maka pria itu akan datang ke rumah Tae Ho dan menghabiskan malam dengan ibu tirinya. Tae Ho ingin mengatakan pada ayahnya, tapi Tae Ho terlalu takut. Tae Ho tak tahu, tapi dia selalu takut akan bahaya yang seolah-olah mendekat ke arahnya, ke arah keluarganya.
                Semua pelayan yang dulu mengabdi pada keluarga Tae Ho dipecat. Digantikan dengan pelayan-pelayan yang hanya mendengarkan apa perkataan ibu tiri Tae Ho. Pria bertato itu, juga selalu berada di rumah. Dia berjalan kesana-kemari, seperti binatang yang mencari mangsa.
                Tae Ho hanya bisa diam dalam ketakutan.
                Sampai. pada akhirnya bencana yang ditakuti Tae Ho benar-benar terjadi. Ayahnya, datang lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Tae Ho.  Dia baru pulang dari Jeju untuk keperluan bisnis. Ayahnya, membawa begitu banyak oleh-oleh dari sana. Ketika dia pulang, wajahnya terlihat begitu lelah.
                “Mana ibumu?” tanya ayahnya.
                Tae Ho tergagap, tak tahu apa yang mesti dikatakan.
                “Apa dia sakit?” tanya ayahnya mulai khawatir. Jelas, dia salah faham dengan kegagapan Tae Ho. Tae Ho tahu, ayahnya mencintai wanita itu. Dengan mengatakan yang sebenarnya, akan menghancurkan ayahnya. Tae Ho, takut.
                “Aku....aku.....” kata Tae Ho. Ayah Tae Ho mulai bertambah curiga, dia berjalan hendak ke kamarnya, Tae Ho langsung menghalangi langkah ayahnya dan berteriak, “Jangan!!!” Tapi, ayah Tae Ho justru bertambah khawatir, mungkin dalam pikirannya, Jin Hee sakit dan melarang Tae Ho memberi tahunya.
                Kemudian, Jo Myung meninggalkan barang-barangnya dan berlari ke kamarnya. Saat, Jo Myung membuka pintu, dia melihat mereka berdua. Melihat keduanya, tanpa pakaian. Di atas tempat tidur miliknya.  Melakukan, sesuatu yang harusnya dilakukan bersama diri Jo Myung.
                Kekhawatiran Jo Myung berubah menjadi kemarahan.
                Kim Tae Ho, hanya bisa berdiri di belakang ayahnya, dengan badan menggigil ketakutan.
                “Kau pulang lebih cepat, ya?” tanya ibu tiri Tae Ho terbangun. Dia berkata dengan raut wajah santai sekali. Seolah-olah, yang dia lakukan hanyalah perbuatan sepele. Park Jae Seong, juga memandangi ayah dengan senyuman meremehkan di wajahnya, “Wah, kukira kita akan lebih cepat ketahuan. Padahal, kupikir anakmu akan memberi tahumu lebih cepat. Dia lebih penakut dari yang kukira.”
                Ayah Tae Ho menarik pria itu dan menghajarnya sampai Jae Seong terbanting ke lantai. Kemudian, dia bangkit kembali dan menghajar balik Jo Myung. Senyuman tersungging di wajahnya, “Kenapa kau begitu terkejut?” Mereka berdua berkelahi, sementara ibu tiri Tae Ho hanya memperhatikan mereka. Kemudian, dia melihat ke arah belakang Tae Ho dan mengangguk.
Tae Ho membalikkan badannya dan pria bertato itu bergerak dengan cepat. Dia membawa pemukul dan ketika Tae Ho berteriak, “Ayah awas!”
                Semua sudah terlambat.
                Pria itu memukul kepala ayah Tae Ho sampai terjatuh tanpa daya. Pria bertato itu terus memukul kepala dan leher Jo Myung sampai berkali-kali. Badan ayah menghadapnya dan menatapnya, mulutnya berkata dengan lirih. Terlalu lambat untuk bisa didengar, tapi Tae Ho bisa memahami maknanya.
                “Selamatkan So Hyun...”
                Kim Tae Ho berlari dan ketakutan.
Badannya gemetar.
“Apa yang harus kita lakukan pada anak itu?” tanya pria bertato itu.
Iblis wanita itu hanya berkata, “Kalau kau suka. Kau boleh melakukannya........”
10
                Kim San dan Min Ho sedang berjalan-jalan. Menikmati salju yang turun dengan perlahan-lahan. Jung Woo sudah mereka minta pergi duluan, karena keduanya sedang ingin berjalan-jalan saja. Seperti, pasangan-pasangan yang lain. Orang lain pun, sepertinya melakukan hal yang sama. Ada yang duduk di warung tenda, sambil menikmati berbotol-botol soju[1]. Ada lagi yang berdiri di samping penjual hoppang[2]. Sementara, yang lain memilih berjalan cepat, mungkin pulang ke rumahnya setelah penat bekerja seharian.
                “Kau mau beli apa?” tanya Min Ho di depan bibi penjual makanan. Kim San berdiri di depan gerobak tepat disamping Min Ho, melihat-lihat apa saja yang dijual.  Akhirnya, San memutuskan untuk membeli beberapa buah gyeranppang[3], sementara Min Ho lebih memilih membeli gun goguma[4].
                “Terima kasih, ahjumma[5].” kata Min Ho.
                Keduanya kembali berjalan berduaan, Kim San berjalan sedikit lebih lambat. Dia menatap Min Ho yang berjalan di hadapannya. Kemudian, tiba-tiba tanpa diduga, Min Ho langsung berlari dengan kencang, “Kalau kau bisa, coba tangkap aku!” teriaknya.
                San tersenyum, kemudian berlari mengejar Min Ho.
                Dulu, San juga berlari.
                Dalam ketakutan.......
#####
                Tae Ho berlari dengan penuh rasa takut. Tangan dan kakinya bergetar hebat. Matanya tak berhenti  mengalirkan air mata. Tae Ho, tak tahu apa yang akan dilakukannya nanti. Tapi, satu hal yang dia tahu. Dia harus segera ke kamar So Hyun dan menyelamatkannya. Tae Ho berlari ke kamar So Hyun dan membangunkannya. So Hyun yang waktu itu masih sangat kecil mengeluh, “Aku masih mengantuk.” Tae Ho hanya bisa berkata, “Tak apa-apa. Tidurlah dipelukanku!”
Tae Ho mengendongnya dan masuk ke dalam lemari pakaian yang ada di dalam kamar So Hyun.
                Mereka bersembunyi di sana.
Tak lama kemudian pria bertato itu masuk ke dalam kamar So Hyun. Tae Ho ketakutan dan menutup mulut So Hyun dengan tangannya agar kami tidak ketahuan. Pria itu melihat ke sekeliling dan saat  Tae Ho lihat dia melangkahkan kakinya pergi. Tae Ho membuka pintu lemari dengan perlahan. Tapi, bahkan, saat mereka belum keluar dari lemari sepenuhnya.
Tiba-tiba pria bertato itu muncul dan tersenyum girang.
Senyumannya, seperti senyuman orang gila.
Sejak awal dia tahu Tae Ho ada di dalam lemari. Tapi, dia bersembunyi dan membiarkan Tae Ho sendiri yang keluar. Tae Ho sendiri yang menghampiri kehancurannya. Dia menarik tubuh kecil Tae Ho keluar dari lemari. Tae Ho berusaha memeluk So Hyun agar tidak jatuh dengan sekuat tenaga.
Tapi, pria bertato itu memukul Tae Ho tanpa ampun sampai dia  terjengkang ke belakang. So Hyun yang terlepas dari pelukan Tae Ho terjatuh ke lantai. Dia mulai menangis. Pria bertato itu menarik So Hyun dalam satu tarikan dan membenturkannya ke dinding. Lalu, merobek gorden kamar dan melilitkannya di kaki, tangan dan mulut So Hyun.
Tae Ho berusaha bangkit dan memukuli pria itu.
“Lepaskan adikku! Lepaskan!” teriaknya.
Menurut kalian, apa yang bisa dilakukan bocah berusia sembilan tahun dengan tangan yang kecil? 
Tak ada.
Pria bertato itu menghajarnya dan membenturkan badannya ke dinding. Dia mengunci pintu kamar dan menatap Tae Ho dengan mata penuh nafsu seks. Pria bertato itu, gay. Tidak, tidak hanya itu. Dia juga maniak seks dan seorang pengidap pedofilia. Dia berkata, “Ibu tirimu memerintahkanku agar tidak membunuhmu. Dia ingin agar kau tetap hidup dan bisa melihat penderitaan yang akan terjadi pada ayahmu. Tapi, selebihnya dia membolehkanku melakukan apapun padamu.”
Dia memakai sebuah cincin berwarna emas dengan ujung yang tajam seperti cakar di jari tengahnya. Kemudian, dia melepaskan pakaiannya perlahan-lahan. Kim Tae Ho ketakutan dan memundurkan badannya dengan wajah penuh air mata. Dia tak tahu apa yang akan terjadi, dia terlalu kecil untuk mengerti, tapi dia tahu itu pasti hal yang buruk.
“Jangan mendekat..... jangan mendekat.....” katanya.
Pria bertato itu mengeluarkan lidahnya dan menjilat bibirnya, dia  menatap Tae Ho yang ketakutan dengan girang, “Kau sangat tampan sekali. Sejak awal aku sudah menyukaimu.”
Setelah  dia melepaskan semua pakaiannya. Dia melakukan perbuatan kejinya pada Tae Ho. So Hyun yang saat itu menangis melihat semua kejadian itu dengan mata kecilnya. Aku tak akan menceritakan detail peristiwa itu pada kalian. Cukuplah detail peristiwa itu kusimpan baik-baik dalam ingatanku. Tapi, satu hal yang pasti, pria bertato itu telah menimbulkan kerusakan yang parah pada psikologis kedua anak itu. Tapi, tentu saja, Tae Ho-lah  yang kerusakannya paling parah.
                Suatu kekejian luar biasa yang merusaknya lahir dan batin.
11
                Awal Januari, musim dingin di Seoul.....
                Kim San berdiri memandangi kota Seoul lewat kaca. Dia tidak sedang berada di apartemennya, melainkan berada di hotel mewah berbintang lima. Di tangannya, ada segelas anggur merah yang tinggal tersisa sedikit. Dia tidak mengenakan pakaian, hanya celana hitamnya saja yang masih dipakainya.
                Di punggungnya, banyak sekali bekas luka cakaran.
                Kim San memandangi bangunan-bangunan yang bercahaya di waktu malam. Sebagian sudah tertutupi salju sehingga hanya terlihat putih saja. Bagiku, Seoul kota yang cukup indah, apalagi ketika salju-salju mulai turun. Di beberapa jalanan, akan dipasangi hiasan berbentuk kristal salju yang bercahaya. Seoul Plaza juga akan berubah fungsi menjadi tempat ice skating[6]. Orang-orang akan bermain di sana dengan senang, sementara, sebagian orang lain lebih memilih pergi bermain ski di Gangwon-do[7].
                Meski, begitu, Kim San selalu ingin pergi dari tempat ini. Ke tempat yang jauh sekali. Ke tempat, dimana dia bisa merasakan ketenangan dan kenyamanan. Kim San, tak pernah pergi dari negeri ini, karena ayahnya yang koma sudah tak mungkin lagi dibawa pergi.
                San meneguk anggurnya perlahan-lahan...
                Sejak pemukulan itu, ayahnya tak pernah sadarkan diri lagi. Pria bertato itu sudah merusak sistem syaraf Jo Myung. Otak dan sumsum tulang belakangnya mengalami kerusakan permanen, tidak hanya membuatnya lumpuh seumur hidupnya. Tapi, juga kehilangan kesadarannya.
                Tiba-tiba sebuah tangan memeluk tubuh San dari belakang.
                “Kau sedang memikirkan apa?” tanya Min Ho, dia meletakkan kepalanya di bahu San. “Tidak memikirkan apa-apa. Hanya, ingin melihat betapa indahnya kota Seoul di malam hari.”
“Kau mau jalan-jalan? Bagaimana, kalau kita ke Deokgyusan[8]?” tanya Min Ho. “Kita bisa mendaki ke sana dan melihat hamparan salju yang indah sekali. Kau pasti suka.”
                “Bulan ini, aku tidak bisa pergi kemana-mana.” kata Kim San. “Pekerjaanku banyak sekali dan aku juga tak yakin bisa mendaki.”
                “Kau masih belum mau menceritakan rahasiamu, ya?”
                “Rahasia apa?” tanya San.
                “Tubuhmu yang penuh dengan luka. Kau tidak pernah menceritakan alasannya.” kata Min Ho. Dia menyentuh salah satu bekas cakaran itu dengan lembut, selama sembilan tahun hubungan mereka. Tak pernah sekalipun, Kim San menceritakan apa yang membuatnya terluka. Kim San juga tak pernah minum-minuman keras, kecuali hanya wine yang tidak terlalu memabukkan.
                San menghabiskan minumannya. dan melepaskan pegangan Min Ho. Setelah, meletakkan gelasnya di atas meja, dia berjalan kembali ke arah Min Ho.
                “Kau mau melakukannya?”
                “Boleh saja...” kata Min Ho.
                Kim San mencium Min Ho sebagai awal untuk memulai hubungan intim mereka.
                Maukah kalian tahu jawaban dari pertanyaan Min Ho? Bekas cakaran di punggung San, adalah bekas cakaran dari cincin tajam yang dulu digunakan pria bertato itu. Setiap kali, dia melakukannya pada San. Dia akan mencakar kulit San, beberapa luka tampak lebih dalam dari yang lain. Karena, pria itu terkadang mencakar di tempat yang sama.
                Sementara, alasan kenapa San tidak mau mabuk, adalah karena dia tak ingin lupa pada balas dendam yang sudah menjadi tujuan hidupnya.
#####
                Sejak peristiwa itu, Grup DK diambil alih oleh Choi Jin Hee dan Park Jae Seong. Dia dan selingkuhannya berpindah ke tempat lain yang lebih bagus dan juga lebih mewah. Semua pelayan itu juga ikut ke rumah mereka berdua yang baru. Kecuali, sepasang suami-istri tua yang mungkin sudah berumur tujuh puluhan. Mereka berdua disuruh tinggal di rumah lama. Begitu juga, si pria bertato itu tetap tinggal di sini untuk mengawasi ayah San yang sekarat.
                Jin Hee hanya pernah membawa ayah Tae Ho sekali ke dokter. Tapi, setelah itu dia tidak pernah melakukannya.
Tae Ho tahu, satu-satunya alasan membawanya ke dokter waktu itu. Hanya agar dia bisa mengambil alih Grup DK. Karena, dengan keterangan dari dokter. Pihak perusahaan bisa percaya jika ayah Tae Ho memang sakit parah dan sudah tidak mungkin lagi untuk memimpin perusahaan. Setelah itu, tak pernah ada lagi dokter. Ayah Tae Ho hanya dirawat oleh sepasang suami istri tua itu dan sebagai ‘makanan’ untuknya, hanya infus yang diganti setiap berkala. Dokter hanya akan datang jika ayah Kim San benar-benar mengalami kondisi kritis dan  setelah itu, semua kembali seperti sedia kala.
                Mungkin, kalian ada yang bertanya, bagaimana mungkin Tae Ho tahu?
                Sementara, dia dikurung di kamar bersama adiknya. Hanya diberi makanan hewan dan minum dari kamar mandi? Jawabannya, sederhana, pria bertato itulah yang memberi tahunya.
                Karena, setiap kali ‘keduanya’ melakukan hubungan intim. Dia sengaja memberi tahu Tae Ho agar membuatnya tersiksa. Pria bertato itu adalah pria yang kasar, pemabuk, hyperseks dan juga psikopat yang gila. Dia tak merasa bersalah sedikitpun atas apa yang dia lakukan, semakin kesakitan Tae Ho dan semakin kencang tangisan So Hyun. Maka, dia akan semakin senang dan kegirangan, bukankah hanya orang gila yang seperti itu?
So Hyun hanya diam sementara keduanya berhubungan di atas ranjang, kedua tangannya memegang lututnya. Pandangannya diturunkan ke bawah. Saat itu, air matanya meleleh, menangis tanpa henti.  Setelah selesai, pria bertato itu akan membalikkan tubuh Tae Ho dan mencakar salah satu bagian tubuhnya. Terkadang, dia juga menjilat bekas lukanya dengan nafsu yang tidak ada habisnya.
Setelah itu, dia akan keluar dari kamar dan tertawa terbahak-bahak. Entah, apa yang dilakukan setan sepertinya. Ketika, So Hyun sudah akan mengangkat kepalanya, Tae Ho langsung berkata, “Bukankah sudah kubilang jangan melihat ke atas jika aku belum menyuruhmu?”
                So Hyun kembali menundukkan kepalanya.
                Ya, Tae Ho tidak ingin membiarkan So Hyun  boleh melihat alat vitalnya atau bagian tubuh  bagian bawah yang cedera parah. Tae Ho mengambil celananya dan dengan cepat memakainya. Belum lagi dia memakai baju, So Hyun sudah mengangkat kepalanya dan berdiri lalu memeluk Tae Ho serta menangis tersedu-sedu.
                Entah berapa lama semua itu terjadi.
                Entah berapa bulan atau mungkin berapa tahun...
                “Aku belum memakai bajuku...” kata Tae Ho perlahan. Tapi, So Hyun terus menangis. Tangannya menyentuh banyak sekali bekas cakaran di punggung Tae Ho. Tae Ho membiarkannya menangis. Sedikit banyak Tae Ho bersyukur karena, pria bertato itu sama sekali tidak menyentuh So Hyun.
                “Tak apa-apa So Hyun, ini tidak separah kemarin.” kata Tae Ho berbohong. Itu adalah kalimat yang selalu diucapkannya setiap hari. Karena, sangat bohong jika dia bilang keadaannya tidak separah kemarin, semakin lama tubuh segalanya menjadi bertambah parah.
 Tae Ho membiarkan adiknya menangis dan menyuruhnya untuk itu. Aku tak tahu apa ini hal yang benar atau tidak jika menurut ilmu psikologi. Tapi, So Hyun sudah melihat persetubuhan sesama jenis di usianya yang masih kanak-kanak. Pasti, itu akan menimbulkan kerusakan psikis yang luar biasa padanya. Karena itu, Tae Ho berusaha menterapi So Hyun semampunya.
Tae Ho membiarkan So Hyun berbicara apa saja. Tae Ho membiarkannya menangis dan –bahkan- ketakutan. Karena, aku tahu Tae Ho khawatir jika dia menyuruhnya diam. So Hyun akan merasa sangat tertekan atau lebih parahnya lagi, Tae Ho khawatir So Hyun akan menjadi gila.
                Tae Ho berusaha bertahan hanya demi ayah dan adiknya. Kalau bukan, karena mereka mungkin dia sendiri sudah menjadi gila. Tae Ho terus berusaha membuat dirinya tetap sadar. Aku tak boleh membiarkan diriku sendiri stress, frustasi apalagi sampai menjadi gila. Aku harus menjaga kepalaku agar tetap sehat  dan waras. Itulah yang selalu dikatakannya setiap waktu.
                Hanya dengan cara seperti itu, Tae Ho bisa mencari jalan agar bisa bebas dari sini. Hanya dengan bertahan dan membiarkan kepalanya tetap waras, dia bisa melakukannya. Meski, itu berarti dia  harus menikmati saat pria bertato itu menyetubuhinya.           



[1] Soju adalah minuman distilasi asal Korea. Sebagian besar merek soju diproduksi di Korea Selatan. Walaupun bahan baku soju tradisional adalah beras, sebagian besar produsen soju memakai bahan tambahan atau bahan pengganti beras seperti kentang, gandum, jelai, ubi jalar, atau tapioka (dangmil). Minuman ini bening tidak berwarna dengan kadar alkohol yang berbeda-beda, mulai dari 20% hingga 45% alkohol berdasarkan volume (ABV). Kadar alkohol yang paling umum untuk soju adalah 20% ABV.
[2] seperti bakpao, bisa dikukus dan bisa juga digoreng. Biasanya ada di musim dingin dan diisi dengan kacang merah, sayuran dll.
[3] mirip seperti egg muffin, makanan ini adalah roti gurih yang ditengahnya diisi telur. Biasanya, disajikan dalam keadaan hangat. mudah ditemukan di sekitar stasiun, pasar maupun sekolah.
[4] alias ubi rebus atau ubi panggang
[5] bibi.
[6] biasanya mulai dibuka sekitar pukul 10.00 pagi dan setiap satu jam sekali, permukaannya selalu dibersihkan dan dipoles agar tidak mengurangi kenyaman bermain ice skating.
[7] merupakan tempat yang paling banyak dihujani salju di Korsel , meski jaraknya  agak jauh dari seoul, tapi tetap menjadi tempat favorit saat musim dingin tiba.
[8] Taman Nasional Deokgyusan ini terletak menyeberangi Muju-gun dan Jangsu-gun,  Provinsi Jeollabuk-do dan  Geochang-gun, Provinsi Gyeongsangnam-do. Pegunungan yang sekaligus menjadi taman nasional ini, memiliki beberapa puncak yang melebihi 1000 meter diatas permukaan laut dengan Puncak Hangjeongbong (1.614 mdpl) sebagai pusatnya. pemandangan terbaik di pegunungan ini adalah  ketika seluruh permukaan pegunungan tertutupi oleh “karpet” salju.