baru

Kamis, 16 April 2015

wangja 4-5

4
                Aku bukanlah orang paham tentang banyak hal. Mungkin, orang lain mengira aku orang cerdas, tapi sebenarnya tidak. Aku hanya orang yang sama dengan orang lain. Bahkan, cenderung lebih lemah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya terus mengetik di atas laptopku yang sudah uzur. Membiarkan imajinasiku bergerak-gerak, bebas seperti angin. Menyatukan  imajinasi itu dan hal lain yang sebenarnya tak ingin kuingat.
                Ingin kukatakan pada kalian, jika terkadang saat menulis aku akan berhenti sesaat. Lagi-lagi, tidak melakukan apa-apa, hanya dia memandangi langit yang terlihat lewat jendela kamarku. Ingin kutuliskan, jika terkadang aku akan memijit kaki dan pinggangku yang sakit saat dingin menyerbu. Tapi, aku tak mampu melakukannya, karena jika kutuliskan, sama saja dengan menyatu dalam kisah ini.
                Aku tak mau.
                Sungguh, aku tak  mau.
                Aku melihat ke jendela...
                Langit berwarna gelap, menurunkan hujan.....
#####
                Kim San berjalan ke dalam kantornya. Kim San adalah wakil CEO Grup DK. Sementara, CEO dari Grup DK adalah Park Jae Seong, ayah Min Ho. Sedangkan, nama istri Jae Seong adalah Choi Jin Hee. Hubungan keduanya sangat harmonis, dalam kelicikan. Aku tak tahu apa mereka termasuk dalam kategori pasangan yang saling mencintai, tapi jelas sekali jika mereka saling memanfaatkan satu sama lain. Jae Seong memanfaatkan dana yang dimiliki istrinya, sementara Jin Hee memanfaatkan pengaruh suaminya. Berdua, mereka melakukan apa saja agar bisa menjadi perusahaan nomor satu dunia.
                Saat, melihat mereka, aku baru menyadari jika ternyata sebuah pernikahan hanya membutuhkan kesamaan visi dan misi dalam menjaga keharmonisannya. Dulu, aku selalu berfikir jika pernikahan adalah tentang wanita baik-baik dan pria baik-baik. Tapi, mungkin pikiran itu tak selalu benar. Karena, buktinya banyak juga pria baik-baik dan wanita baik-baik yang tidak bisa hidup bersama.
                Sebaliknya, Jae Seong dan Jin Hee, selalu tampak rukun. Padahal, dua-duanya lebih mirip setan, daripada manusia.
#####
                Tiba-tiba, aku ingin tidur.
                Entah kenapa, tiba-tiba kantuk muncul begitu saja. Aku kelelahan, izinkanlah aku tidur sebentar saja. Aku ingin tidur. Benar-benar tidur. Mengingat masa lalu, terkadang, membuat hati lelah dan kembali terluka.
                Bukan, bukan masa lalu Kim San. Tapi, masa laluku sendiri. Tanganku mulai terasa pegal. Hatiku lelah, luka-luka itu kembali menggerogoti tubuhku. Aku melepaskan tanganku dari keyboard laptop. Aku berjalan ke kamar mandi, mencuci wajah, menyikat gigi, kemudian naik ke tempat tidur. Aku mengambil selimut dan menutupi tubuhku dengannya. Angin dingin masuk lewat jendela dan seperti malam-malam sebelumnya, pinggangku mulai terasa sakit kembali.
                Memang tidak sesakit dulu, tapi rasanya tetap tidak bisa dikatakan enak. Aku memijitnya perlahan-lahan, berharap bisa meringankan sedikit rasa itu. Perlahan-lahan pula, tanganku yang memegang pinggang, mulai melambat, mataku yang sejak tadi terbuka. Mulai terpejam.....
#####
                Han Da Jung, sekertaris San, masuk ke dalam kantor. Dia tinggi dan cantik, seperti sekertaris kebanyakan. Rambutnya dibiarkan tergerai tanpa diikat. Dia benar-benar cantik, setidaknya, bagiku sendiri. Hanya saja, wajah yang cantik itu terkadang tidak bisa menyembunyikan kesembaban di matanya. Terkadang, matanya bengkak karena habis menangis.
                “Direktur ingin bertemu dengan Anda.” katanya. Kim San mengangguk dan berdiri, mengancingkan jasnya dan berjalan ke kantor direktur. Seperti, biasa, beberapa wanita memperhatikan Kim San, terpesona. Aku tak tahu, apa yang akan terjadi jika mereka tahu apa yang sebenarnya disukai San.
                Saat, Kim San masuk, Park Jae Seong sedang duduk di kursi. Sementara, seorang dokter lain sedang menyuntikan sesuatu ke lengan Jae Seong. Sesuatu, yang tak aku tahu. Tapi, satu hal yang pasti, Jae Seong sedang sakit. Bukan, sembarangan sakit, melainkan sakit jantung akibat gaya hidupnya yang memang serampangan.
                Park Jae Seong adalah seorang pria berbadan sedikit gemuk, dengan rambut yang sudah mulai memutih. Matanya berwarna hitam dan hidung yang mancung seperti paruh elang. Meski, usianya, sudah menginjak lima puluh tujuh tahun. Tapi, dia masih mampu berhubungan dengan banyak wanita dan memuaskan hasrat mereka. Sampai-sampai, karyawan-karyawan dikantor menjulukinya mesin seks untuk melecehkannya.
                “Sudah cukup, nanti saja kita periksa lagi.” kata Jae Seong. Dokter itu mengangguk dan segera membereskan barang-barangnya. Kemudian, keluar dari kantor. Hanya tinggal berdua saja dengan San, Jae Seong langsung memulai pembicaraan, “Apa semua baik-baik saja?”
                Kim San terlihat heran, “Benar. Semua baik-baik saja. Memangnya, ada apa?”
                “Kudengar harga saham kita turun?”
                “Tidak.” kata Kim San dengan yakin, “Sama sekali tidak. Darimana, Anda mendengar semua itu? Perusahaan kita baik-baik saja.”
                Jae Seong memegang jantungnya, rasa sakit itu pasti kembali hinggap dalam tubuhnya. Jae Seong memang jarang menghabiskan waktunya di kantor dan lebih memilih membiarkan San yang mengurusi urusan kantor. Tapi, jangan pikir dia akan berada di rumah sakit. Daripada berada di sana, dia lebih memilih bersenang-senang dengan banyak wanita muda. Berpesta pora dan lupa jika umurnya hanya tinggal menghitung hari. Satu hal yang sangat membuat Kim San heran, adalah fakta bahwa meski tubuhnya sudah tua dan jantungnya sakit. Tapi, tak pernah sekalipun ada keluhan mengenai alat vitalnya.
                Entah kenapa, alat vitalnya selalu dalam kondisi baik dan nyaris tanpa masalah. Padahal, usianya sudah sangat tua dan harusnya sudah duduk dengan manis di rumah. Menikmati hari-hari tuanya sebagai orang tua. Tapi, mungkin benar juga kata sebagian orang, umur hanyalah angka-angka.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, seorang wanita berumur lima puluh empat tahun dengan wajah penuh dengan make up dan rambut yang dipotong pendek serta dicat merah masuk ke dalam ruangan.
Wajahnya yang sudah dioperasi plastik berkali-kali itu tampaknya tetap tidak bisa menyembunyikan kenyataan jika dia sudah lanjut usia - tua yang diperhalus. Bibirnya ditutupi lipstick merah padam, membuatnya tampak tetap tua. Sama seperti suaminya, dia juga suka dengan para pria-pria muda.
Kalau boleh jujur, mereka tidak menikah satu sama lain. Mereka menikah dengan sebuah benda bernama uang dan jabatan. Selama benda bernama uang itu ada. Maka, hubungan mereka akan tetap harmonis. Jae Seong sama sekali tidak marah atau terkejut, mengetahui istrinya tidur dengan pria lain. Meski sudah jelas sekali, pria manapun yang mau dengannya. Hanya menginginkan uang dan jabatan yang dia punya. Sebaliknya, Jin Hee juga tak pernah mempersalahkan jika Jae Seong membawa wanita lain ke dalam rumahnya dalam keadaan mabuk.
Mata Jin Hee yang berwarna hitam itu nyalang ketika menatap San dan langsung menarik jasnya dengan  keras sampai San berdiri. Kemudian, dia menampar San dengan sangat keras.
PLAKKK!!!
Kim San hanya diam, tak berusaha untuk melawan. Karena, ini bukan kali pertama terjadi. Tapi, seperti belum puas, dia mengambil asbak dari atas meja dan memukul kepala San sampai darah mengucur dari keningnya.
Tapi, San hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. Hanya diam. Seperti, manusia tanpa rasa. Matanya terlihat sangat tenang dan nyaris tidak memperlihatkan ekspresi apapun. Kim San, sebenarnya apa yang kau rasakan saat itu?
                “Apa yang kau lakukan sampai harga saham kita turun?” teriak  Jin Hee.
“Harga saham sama sekali tidak mengalami penurunan.” kata Kim San dengan nada datar. Sementara, darah mulai menetes  dari kening San ke lantai. Sebagian yang lain, banyak yang masuk ke dalam mulutnya. “Saya tak tahu darimana Anda mendengar kabar ini. Tapi, saham kita sama sekali tidak mengalami penurunan apapun.” Dia berkata dengan tenang ke arah luar, “Da Jung! Apa kau disana?  Bisakah kau membawa laporan saham kita?”
Da Jung sedikit tergopoh-gopoh saat masuk ke dalam ruangan. Dia bergegas menyerahkan laporan pada San. Wajahnya menunduk ke bawah. Aku tahu dia tidak mau melihat darah yang bermunculan dari kepala San.  Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran San saat itu, dia hanya berkata pada Da Jung, “Pergilah! Kau tunggu saja diluar!” Da Jung mengangguk dan melangkah dengan segera keluar.
Aku melihat San menyerahkan laporan itu pada Jin Hee. Dia segera mengambilnya dan membacanya dengan cepat. Setelah percaya dengan apa yang San katakan.  Dia sama sekali tidak meminta maaf atau sekedar merasa bersalah. Dia hanya berkata, “Pergilah! Aku tidak mau melihat wajahmu itu!”
San melangkah pergi, keluar dari kantor. Para pegawai lain melihat ke arah San sekilas, kemudian, kembali berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apapun. Akting mereka semakin lama semakin bagus. Dulu, kelihatan sekali jika mereka mengintip dan ketika San keluar dari kantor direktur, mereka berhamburan berusaha ‘terlihat’ melakukan sesuatu. Tapi, sekarang akting mereka tampak sangat alami. Orang awam pasti tak akan tahu jika mereka adalah para pegawai yang suka menguping dan juga bergosip tentang bos mereka.
Sepertinya, jika sutradara-sutradara Korea menyempatkan diri datang ke sini. Mereka mungkin akan menemukan calon-calon bintang  baru. Siapa tahu, Song Hye Kyo yang lain ternyata adalah wanita berpakaian merah yang sedang mengetik itu, atau mungkin Jo In Sung lain ternyata adalah pria yang sedang menghancurkan dokumen di sana itu. Malah, bisa saja, wanita yang sedang merapikan map-map di atas mejanya adalah  Ha Ji Won yang lain.
Lalu, saat San akan melangkahkan kaki kembali ke kantor. Min Ho sedang berdiri dari kejauhan.  Dia sudah mengenakan pakaian santai dan mungkin sedang berangkat ke galerinya dan mampir sebentar ke kantor. Dia menatap San dengan tatapan khawatir. San hanya menatapnya sekilas dan kembali ke kantornya.
Seperti, yang sudah kukatakan sebelumnya, tak ada satu orang pun yang tahu jika Min Ho dan San adalah pasangan gay. Bukan, cuma karena mereka merahasiakan hal itu, tapi, kenyataannya mereka memang tidak pernah memperlihatkan keakraban di depan umum. Hanya sedikit sekali yang tahu.
San masuk ke dalam kantor. Matanya, tertuju pada kotak P3k yang ada di atas meja. Pasti, kau yang melakukannya, pikir San. Padahal, sudah kukatakan agar jangan berperilaku seolah-olah mengenalku saat di kantor.  San mengambil ponselnya dan menekan nomor telepon milik Jung Woo. Dalam sekejap, suara Jung Woo sudah terdengar dari seberang, menanyangkan apa yang dibutuhkan oleh San. Kim San hanya berkata dengan tegas, “Bawakan pakaian baru untukku, secepatnya.”
                “Baik.” kata Jung Woo, tanpa banyak tanya.
                Kim San membuka bajunya dan menjadikan kemeja putihnya sebagai alat untuk mengelap darah yang mengucur dari kepalanya. Dia sedikitpun, tidak menyentuh kotak P3k yang disediakan oleh Da Jung untuknya. Kim San sama sekali tidak mengaduh atau bahkan meringis. Ekspresinya, benar-benar biasa saja.
                Mungkin, karena perasaan miliknya sudah mati. Sehingga, dia tak merasakan rasa sakit itu lagi. Tiba-tiba, pintu terbuka dan Min Ho masuk ke dalam kantor San. Dia mengunci pintunya, dari dalam.
5                                                                    
                Bukanlah yang mudah menuliskan hubungan antara San dan Min Ho. Pertama, aku bukan gay. Aku laki-laki normal yang mencintai wanita. Sementara, keduanya tidak hanya saling berpegangan tangan atau berciuman. Tapi, berhubungan intim sebagaimana layaknya hubungan antara pria dan wanita. Kedua, hal yang juga menjadi kesulitan bagiku adalah aku bingung harus melihat dari sudut pandang mana. Tapi, akhirnya, kuputuskan melihat perasaan Min Ho pada San dari sudut pandang antara pria dan wanita atau sebaliknya.
                Hanya saja, meski aku sudah bilang begitu, tetap saja ini bukanlah hal yang mudah. Aku tak tahu bagaimana caranya menjelaskan kepada kalian dengan pas. Seperti saat ini, saat San terluka dan Min Ho mendekat ke arah San. Mata Min Ho terlihat sangat khawatir dan juga gelisah.  
                “Oppa, apa kau tidak apa-apa?” tanya Min Ho khawatir.
                “Aku baik-baik saja.” kata Kim San. Wajah yang tadi begitu datar, sekarang terlihat tersenyum dengan lembut. Min Ho mengambil kotak P3k yang ada di atas meja dan membukanya. Kemudian, mengambil perban dan antiseftik.
                “Aku tidak apa-apa.” kata Kim San dengan keras kepala. Tapi, air mata Min Ho sudah mengalir, “Oppa, Mianhae[1]. Ini salahku. Kalau saja, bukan demi aku. Kau pasti, tak mau tetap berada di perusahaan ini bersama dengan kedua orang tuaku yang seperti setan.”
Kim San terlihat lebih khawatir lagi, dia bergerak mau dan memegang tangan Min Ho, “Kenapa kau menangis? Tidak apa-apa, ini bukan salahmu. Mungkin, memang aku yang salah karena tak memberi tahu orang tuamu tentang saham perusahaan. Aku tidak apa-apa. Sungguh, kau tak perlu khawatir......”
                Kim San mengambil perban di tangan Min Ho dan mengobati lukanya dengan cepat. Dia mengelap lukanya sampai bersih dan mengolesinya dengan antiseftik. Kemudian, menutupi keningnya dengan perban yang dibentuk persegi. Sementara, Min Ho, hanya menangis di tengah ruangan tanpa suara.
                Melihat, Min Ho yang masih menangis, Kim San mendekat dan mencoba menghibur Min Ho, “Lihat? Aku tidak apa-apa. Kau harus berhenti menangis.”  Tapi, Min Ho tetap saja menangis, akhirnya Kim San memeluk Min Ho. Tangan Min Ho pelan-pelan bergerak memeluk Kim San.
                “Ini semua karena orang tuaku.” kata Min Ho.
                “Tak apa-apa. Justru, karena mereka adalah orang tuamu, aku harus bersabar.” kata Kim San. Tapi, ekspresi Kim San yang tadi begitu hangat, berubah menjadi dingin saat mengucapkannya. Pintu depan diketuk, suara Jung Woo terdengar dari luar, “Ini pakaian yang Anda  minta Tuan......”
#####
                Kim San kecil mungkin baru berusia lima tahun saat itu. Bisa dibilang, dia adalah seorang anak kecil yang suka membaca. Awalnya, hanya cerita-cerita sederhana, tapi lama-kelamaan buku-buku yang dibacanya semakin banyak dan semakin beragam. Rumah Kim San adalah rumah yang besar dan cukup mewah. Terdiri dari dua tingkat dengan cat yang hampir semuanya serba putih. Kim San kecil sering berlarian ke sana-kemari membuat pengasuhnya kerepotan.
                Ayah Kim San, bernama Kim Jo Myung. Seorang pria bertubuh kurus dengan wajah ramah. Rambutnya tidak terlalu panjang dan punya mata yang persis dengan mata Kim San. Aku sendiri tak terlalu ingat bagaimana rupanya, tapi satu hal yang pasti, ayah Kim San adalah pria yang betul-betul baik dan hangat. Dia pria yang akan bekerja hanya sampai jam lima sore setiap harinya. Tak perduli ada rapat  penting atau pertemuan apapun, Kim Jo Myung akan selalu pulang setiap jam lima sore. Dia akan pulang untuk menemani anak-anaknya bermain dan mengurusi mereka.
                Sebenarnya, Kim San selalu berharap agar ayahnya bisa pulang lebih cepat. Ibu San sudah meninggal setelah melahirkan adik San, waktu itu terjadi pendarahan hebat setelah adik Kim San lahir. Akibat, sudah tidak punya ibu sejak kecil. San jadi lebih dewasa meski usianya masih kecil. Dia adalah anak yang baik dan tidak terlalu banyak menuntut pada ayahnya.
                Nama adik San, Kim So Hyun.
                Nama yang cantik sekali. Bahkan, untukku. Kim San dulu selalu merasa jika kehidupannya, cukup bahagia. Seperti, kisah-kisah dalam dongeng, tokoh utama biasanya akan terlebih dulu merasakan kebahagiaan sebelum akhirnya jatuh tersungkur dalam penderitaan. Bedanya, jika tokoh-tokoh dalam dongeng biasanya berakhir bahagia.
                Kim San tidak pernah sampai pada akhir bahagia.
                Tak pernah ada kalimat itu bagi San. Kalimat .....dan mereka semua hidup bahagia selamanya......



[1] artinya kira-kira setara dengan maafkan aku (informal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar