4
Aku
bukanlah orang paham tentang banyak hal. Mungkin, orang lain mengira aku orang
cerdas, tapi sebenarnya tidak. Aku hanya orang yang sama dengan orang lain.
Bahkan, cenderung lebih lemah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya
terus mengetik di atas laptopku yang sudah uzur. Membiarkan imajinasiku
bergerak-gerak, bebas seperti angin. Menyatukan
imajinasi itu dan hal lain yang sebenarnya tak ingin kuingat.
Ingin
kukatakan pada kalian, jika terkadang saat menulis aku akan berhenti sesaat.
Lagi-lagi, tidak melakukan apa-apa, hanya dia memandangi langit yang terlihat
lewat jendela kamarku. Ingin kutuliskan, jika terkadang aku akan memijit kaki
dan pinggangku yang sakit saat dingin menyerbu. Tapi, aku tak mampu
melakukannya, karena jika kutuliskan, sama saja dengan menyatu dalam kisah ini.
Aku
tak mau.
Sungguh,
aku tak mau.
Aku
melihat ke jendela...
Langit
berwarna gelap, menurunkan hujan.....
#####
Kim
San berjalan ke dalam kantornya. Kim San adalah wakil CEO Grup DK. Sementara,
CEO dari Grup DK adalah Park Jae Seong, ayah Min Ho. Sedangkan, nama istri Jae
Seong adalah Choi Jin Hee. Hubungan keduanya sangat harmonis, dalam kelicikan.
Aku tak tahu apa mereka termasuk dalam kategori pasangan yang saling mencintai,
tapi jelas sekali jika mereka saling memanfaatkan satu sama lain. Jae Seong
memanfaatkan dana yang dimiliki istrinya, sementara Jin Hee memanfaatkan
pengaruh suaminya. Berdua, mereka melakukan apa saja agar bisa menjadi
perusahaan nomor satu dunia.
Saat,
melihat mereka, aku baru menyadari jika ternyata sebuah pernikahan hanya
membutuhkan kesamaan visi dan misi dalam menjaga keharmonisannya. Dulu, aku
selalu berfikir jika pernikahan adalah tentang wanita baik-baik dan pria
baik-baik. Tapi, mungkin pikiran itu tak selalu benar. Karena, buktinya banyak
juga pria baik-baik dan wanita baik-baik yang tidak bisa hidup
bersama.
Sebaliknya,
Jae Seong dan Jin Hee, selalu tampak rukun. Padahal, dua-duanya lebih mirip
setan, daripada manusia.
#####
Tiba-tiba,
aku ingin tidur.
Entah
kenapa, tiba-tiba kantuk muncul begitu saja. Aku kelelahan, izinkanlah aku
tidur sebentar saja. Aku ingin tidur. Benar-benar tidur. Mengingat masa lalu,
terkadang, membuat hati lelah dan kembali terluka.
Bukan,
bukan masa lalu Kim San. Tapi, masa laluku sendiri. Tanganku mulai terasa
pegal. Hatiku lelah, luka-luka itu kembali menggerogoti tubuhku. Aku melepaskan
tanganku dari keyboard laptop. Aku berjalan ke kamar mandi, mencuci
wajah, menyikat gigi, kemudian naik ke tempat tidur. Aku mengambil selimut dan
menutupi tubuhku dengannya. Angin dingin masuk lewat jendela dan seperti
malam-malam sebelumnya, pinggangku mulai terasa sakit kembali.
Memang
tidak sesakit dulu, tapi rasanya tetap tidak bisa dikatakan enak. Aku
memijitnya perlahan-lahan, berharap bisa meringankan sedikit rasa itu.
Perlahan-lahan pula, tanganku yang memegang pinggang, mulai melambat, mataku
yang sejak tadi terbuka. Mulai terpejam.....
#####
Han
Da Jung, sekertaris San, masuk ke dalam kantor. Dia tinggi dan cantik, seperti
sekertaris kebanyakan. Rambutnya dibiarkan tergerai tanpa diikat. Dia
benar-benar cantik, setidaknya, bagiku sendiri. Hanya saja, wajah yang cantik
itu terkadang tidak bisa menyembunyikan kesembaban di matanya. Terkadang,
matanya bengkak karena habis menangis.
“Direktur
ingin bertemu dengan Anda.” katanya. Kim San mengangguk dan berdiri,
mengancingkan jasnya dan berjalan ke kantor direktur. Seperti, biasa, beberapa
wanita memperhatikan Kim San, terpesona. Aku tak tahu, apa yang akan terjadi
jika mereka tahu apa yang sebenarnya disukai San.
Saat,
Kim San masuk, Park Jae Seong sedang duduk di kursi. Sementara, seorang dokter
lain sedang menyuntikan sesuatu ke lengan Jae Seong. Sesuatu, yang tak aku
tahu. Tapi, satu hal yang pasti, Jae Seong sedang sakit. Bukan, sembarangan
sakit, melainkan sakit jantung akibat gaya hidupnya yang memang serampangan.
Park
Jae Seong adalah seorang pria berbadan sedikit gemuk, dengan rambut yang sudah
mulai memutih. Matanya berwarna hitam dan hidung yang mancung seperti paruh
elang. Meski, usianya, sudah menginjak lima puluh tujuh tahun. Tapi, dia masih
mampu berhubungan dengan banyak wanita dan memuaskan hasrat mereka.
Sampai-sampai, karyawan-karyawan dikantor menjulukinya mesin seks untuk
melecehkannya.
“Sudah
cukup, nanti saja kita periksa lagi.” kata Jae Seong. Dokter itu mengangguk dan
segera membereskan barang-barangnya. Kemudian, keluar dari kantor. Hanya
tinggal berdua saja dengan San, Jae Seong langsung memulai pembicaraan, “Apa
semua baik-baik saja?”
Kim
San terlihat heran, “Benar. Semua baik-baik saja. Memangnya, ada apa?”
“Kudengar
harga saham kita turun?”
“Tidak.”
kata Kim San dengan yakin, “Sama sekali tidak. Darimana, Anda mendengar semua
itu? Perusahaan kita baik-baik saja.”
Jae
Seong memegang jantungnya, rasa sakit itu pasti kembali hinggap dalam tubuhnya.
Jae Seong memang jarang menghabiskan waktunya di kantor dan lebih memilih
membiarkan San yang mengurusi urusan kantor. Tapi, jangan pikir dia akan berada
di rumah sakit. Daripada berada di sana, dia lebih memilih bersenang-senang
dengan banyak wanita muda. Berpesta pora dan lupa jika umurnya hanya tinggal
menghitung hari. Satu hal yang sangat membuat Kim San heran, adalah fakta bahwa
meski tubuhnya sudah tua dan jantungnya sakit. Tapi, tak pernah sekalipun ada
keluhan mengenai alat vitalnya.
Entah
kenapa, alat vitalnya selalu dalam kondisi baik dan nyaris tanpa masalah.
Padahal, usianya sudah sangat tua dan harusnya sudah duduk dengan manis di
rumah. Menikmati hari-hari tuanya sebagai orang tua. Tapi, mungkin benar
juga kata sebagian orang, umur hanyalah angka-angka.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka,
seorang wanita berumur lima puluh empat tahun dengan wajah penuh dengan make up
dan rambut yang dipotong pendek serta dicat merah masuk ke dalam ruangan.
Wajahnya yang sudah dioperasi
plastik berkali-kali itu tampaknya tetap tidak bisa menyembunyikan kenyataan
jika dia sudah lanjut usia - tua yang diperhalus. Bibirnya ditutupi lipstick
merah padam, membuatnya tampak tetap tua. Sama seperti suaminya, dia juga suka
dengan para pria-pria muda.
Kalau boleh jujur, mereka tidak
menikah satu sama lain. Mereka menikah dengan sebuah benda bernama uang dan
jabatan. Selama benda bernama uang itu ada. Maka, hubungan mereka akan tetap
harmonis. Jae Seong sama sekali tidak marah atau terkejut, mengetahui istrinya
tidur dengan pria lain. Meski sudah jelas sekali, pria manapun yang mau
dengannya. Hanya menginginkan uang dan jabatan yang dia punya. Sebaliknya, Jin
Hee juga tak pernah mempersalahkan jika Jae Seong membawa wanita lain ke dalam
rumahnya dalam keadaan mabuk.
Mata Jin Hee yang berwarna hitam
itu nyalang ketika menatap San dan langsung menarik jasnya dengan keras sampai San berdiri. Kemudian, dia
menampar San dengan sangat keras.
PLAKKK!!!
Kim San hanya diam, tak berusaha
untuk melawan. Karena, ini bukan kali pertama terjadi. Tapi, seperti belum
puas, dia mengambil asbak dari atas meja dan memukul kepala San sampai darah
mengucur dari keningnya.
Tapi, San hanya diam dan tidak
melakukan apa-apa. Hanya diam. Seperti, manusia tanpa rasa. Matanya terlihat
sangat tenang dan nyaris tidak memperlihatkan ekspresi apapun. Kim San,
sebenarnya apa yang kau rasakan saat itu?
“Apa
yang kau lakukan sampai harga saham kita turun?” teriak Jin Hee.
“Harga saham sama sekali tidak
mengalami penurunan.” kata Kim San dengan nada datar. Sementara, darah mulai
menetes dari kening San ke lantai.
Sebagian yang lain, banyak yang masuk ke dalam mulutnya. “Saya tak tahu darimana
Anda mendengar kabar ini. Tapi, saham kita sama sekali tidak mengalami
penurunan apapun.” Dia berkata dengan tenang ke arah luar, “Da Jung! Apa kau
disana? Bisakah kau membawa laporan
saham kita?”
Da Jung sedikit tergopoh-gopoh
saat masuk ke dalam ruangan. Dia bergegas menyerahkan laporan pada San.
Wajahnya menunduk ke bawah. Aku tahu dia tidak mau melihat darah yang
bermunculan dari kepala San. Aku tak
tahu apa yang ada dalam pikiran San saat itu, dia hanya berkata pada Da Jung,
“Pergilah! Kau tunggu saja diluar!” Da Jung mengangguk dan melangkah dengan
segera keluar.
Aku melihat San menyerahkan
laporan itu pada Jin Hee. Dia segera mengambilnya dan membacanya dengan cepat.
Setelah percaya dengan apa yang San katakan.
Dia sama sekali tidak meminta maaf atau sekedar merasa bersalah. Dia
hanya berkata, “Pergilah! Aku tidak mau melihat wajahmu itu!”
San melangkah pergi, keluar dari
kantor. Para pegawai lain melihat ke arah San sekilas, kemudian, kembali
berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apapun. Akting mereka semakin lama
semakin bagus. Dulu, kelihatan sekali jika mereka mengintip dan ketika San
keluar dari kantor direktur, mereka berhamburan berusaha ‘terlihat’
melakukan sesuatu. Tapi, sekarang akting mereka tampak sangat alami. Orang awam
pasti tak akan tahu jika mereka adalah para pegawai yang suka menguping dan
juga bergosip tentang bos mereka.
Sepertinya, jika
sutradara-sutradara Korea menyempatkan diri datang ke sini. Mereka mungkin akan
menemukan calon-calon bintang baru.
Siapa tahu, Song Hye Kyo yang lain ternyata adalah wanita berpakaian
merah yang sedang mengetik itu, atau mungkin Jo In Sung lain ternyata
adalah pria yang sedang menghancurkan dokumen di sana itu. Malah, bisa saja,
wanita yang sedang merapikan map-map di atas mejanya adalah Ha Ji Won yang lain.
Lalu, saat San akan melangkahkan
kaki kembali ke kantor. Min Ho sedang berdiri dari kejauhan. Dia sudah mengenakan pakaian santai dan
mungkin sedang berangkat ke galerinya dan mampir sebentar ke kantor. Dia
menatap San dengan tatapan khawatir. San hanya menatapnya sekilas dan kembali
ke kantornya.
Seperti, yang sudah kukatakan
sebelumnya, tak ada satu orang pun yang tahu jika Min Ho dan San adalah pasangan
gay. Bukan, cuma karena mereka merahasiakan hal itu, tapi, kenyataannya
mereka memang tidak pernah memperlihatkan keakraban di depan umum. Hanya
sedikit sekali yang tahu.
San masuk ke dalam kantor.
Matanya, tertuju pada kotak P3k yang ada di atas meja. Pasti, kau yang
melakukannya, pikir San. Padahal, sudah kukatakan agar jangan
berperilaku seolah-olah mengenalku saat di kantor. San mengambil ponselnya dan menekan nomor
telepon milik Jung Woo. Dalam sekejap, suara Jung Woo sudah terdengar dari
seberang, menanyangkan apa yang dibutuhkan oleh San. Kim San hanya berkata
dengan tegas, “Bawakan pakaian baru untukku, secepatnya.”
“Baik.”
kata Jung Woo, tanpa banyak tanya.
Kim
San membuka bajunya dan menjadikan kemeja putihnya sebagai alat untuk mengelap
darah yang mengucur dari kepalanya. Dia sedikitpun, tidak menyentuh kotak P3k
yang disediakan oleh Da Jung untuknya. Kim San sama sekali tidak mengaduh atau
bahkan meringis. Ekspresinya, benar-benar biasa saja.
Mungkin,
karena perasaan miliknya sudah mati. Sehingga, dia tak merasakan rasa
sakit itu lagi. Tiba-tiba, pintu terbuka dan Min Ho masuk ke dalam kantor San.
Dia mengunci pintunya, dari dalam.
5
Bukanlah
yang mudah menuliskan hubungan antara San dan Min Ho. Pertama, aku bukan gay.
Aku laki-laki normal yang mencintai wanita. Sementara, keduanya tidak hanya
saling berpegangan tangan atau berciuman. Tapi, berhubungan intim sebagaimana
layaknya hubungan antara pria dan wanita. Kedua, hal yang juga menjadi
kesulitan bagiku adalah aku bingung harus melihat dari sudut pandang mana.
Tapi, akhirnya, kuputuskan melihat perasaan Min Ho pada San dari sudut
pandang antara pria dan wanita atau sebaliknya.
Hanya
saja, meski aku sudah bilang begitu, tetap saja ini bukanlah hal yang mudah.
Aku tak tahu bagaimana caranya menjelaskan kepada kalian dengan pas. Seperti
saat ini, saat San terluka dan Min Ho mendekat ke arah San. Mata Min Ho
terlihat sangat khawatir dan juga gelisah.
“Oppa,
apa kau tidak apa-apa?” tanya Min Ho khawatir.
“Aku
baik-baik saja.” kata Kim San. Wajah yang tadi begitu datar, sekarang terlihat
tersenyum dengan lembut. Min Ho mengambil kotak P3k yang ada di atas meja dan
membukanya. Kemudian, mengambil perban dan antiseftik.
“Aku
tidak apa-apa.” kata Kim San dengan keras kepala. Tapi, air mata Min Ho sudah
mengalir, “Oppa, Mianhae[1].
Ini salahku. Kalau saja, bukan demi aku. Kau pasti, tak mau tetap berada di
perusahaan ini bersama dengan kedua orang tuaku yang seperti setan.”
Kim San terlihat lebih khawatir
lagi, dia bergerak mau dan memegang tangan Min Ho, “Kenapa kau menangis? Tidak
apa-apa, ini bukan salahmu. Mungkin, memang aku yang salah karena tak memberi
tahu orang tuamu tentang saham perusahaan. Aku tidak apa-apa. Sungguh, kau tak
perlu khawatir......”
Kim
San mengambil perban di tangan Min Ho dan mengobati lukanya dengan cepat. Dia
mengelap lukanya sampai bersih dan mengolesinya dengan antiseftik. Kemudian,
menutupi keningnya dengan perban yang dibentuk persegi. Sementara, Min Ho,
hanya menangis di tengah ruangan tanpa suara.
Melihat,
Min Ho yang masih menangis, Kim San mendekat dan mencoba menghibur Min Ho,
“Lihat? Aku tidak apa-apa. Kau harus berhenti menangis.” Tapi, Min Ho tetap saja menangis, akhirnya
Kim San memeluk Min Ho. Tangan Min Ho pelan-pelan bergerak memeluk Kim San.
“Ini
semua karena orang tuaku.” kata Min Ho.
“Tak
apa-apa. Justru, karena mereka adalah orang tuamu, aku harus bersabar.”
kata Kim San. Tapi, ekspresi Kim San yang tadi begitu hangat, berubah menjadi
dingin saat mengucapkannya. Pintu depan diketuk, suara Jung Woo terdengar dari
luar, “Ini pakaian yang Anda minta
Tuan......”
#####
Kim
San kecil mungkin baru berusia lima tahun saat itu. Bisa dibilang, dia adalah
seorang anak kecil yang suka membaca. Awalnya, hanya cerita-cerita sederhana,
tapi lama-kelamaan buku-buku yang dibacanya semakin banyak dan semakin beragam.
Rumah Kim San adalah rumah yang besar dan cukup mewah. Terdiri dari dua tingkat
dengan cat yang hampir semuanya serba putih. Kim San kecil sering berlarian ke
sana-kemari membuat pengasuhnya kerepotan.
Ayah
Kim San, bernama Kim Jo Myung. Seorang pria bertubuh kurus dengan wajah ramah.
Rambutnya tidak terlalu panjang dan punya mata yang persis dengan mata Kim San.
Aku sendiri tak terlalu ingat bagaimana rupanya, tapi satu hal yang pasti, ayah
Kim San adalah pria yang betul-betul baik dan hangat. Dia pria yang akan
bekerja hanya sampai jam lima sore setiap harinya. Tak perduli ada rapat penting atau pertemuan apapun, Kim Jo Myung
akan selalu pulang setiap jam lima sore. Dia akan pulang untuk menemani
anak-anaknya bermain dan mengurusi mereka.
Sebenarnya,
Kim San selalu berharap agar ayahnya bisa pulang lebih cepat. Ibu San sudah
meninggal setelah melahirkan adik San, waktu itu terjadi pendarahan hebat
setelah adik Kim San lahir. Akibat, sudah tidak punya ibu sejak kecil. San jadi
lebih dewasa meski usianya masih kecil. Dia adalah anak yang baik dan tidak terlalu
banyak menuntut pada ayahnya.
Nama
adik San, Kim So Hyun.
Nama
yang cantik sekali. Bahkan, untukku. Kim San dulu selalu merasa jika
kehidupannya, cukup bahagia. Seperti, kisah-kisah dalam dongeng, tokoh utama
biasanya akan terlebih dulu merasakan kebahagiaan sebelum akhirnya jatuh
tersungkur dalam penderitaan. Bedanya, jika tokoh-tokoh dalam dongeng biasanya
berakhir bahagia.
Kim
San tidak pernah sampai pada akhir bahagia.
Tak
pernah ada kalimat itu bagi San. Kalimat .....dan mereka semua hidup bahagia
selamanya......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar