Prolog
Pria
itu berjalan dengan kebingungan. Dimana aku? Sepertinya, aku sudah melewati
jalan yang ini, pikirnya. Pria itu mengencangkan jaketnya, agar terlindungi
dari hawa dingin yang menusuk. Tapi, meski jaketnya tebal, tetap saja hawa
dingin terus-menerus menyerang tubuhnya. Mungkin, karena tidak terbiasa dengan
salju, membuat suhu menjadi jauh lebih dingin dari yang dirasakan oleh orang
asli di sana.
Harusnya, aku tadi mengikuti
rombongan saja.
Pria itu pergi ke Korea bersama
rombongan dan saat berjalan-jalan di pasar tradisional. Dia tertarik pada
topeng-topeng yang dipasang di dinding. Sebagai dokter dan penulis membuat rasa
ingin tahunya besar untuk melihat-lihat topeng itu lebih dalam. Lalu, diam di
sana tanpa menyadari jika rombongannya sudah menjauh. Setelah sadar,
satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah berjalan tak tentu arah, berusaha
bertanya sana-sini dengan bahasa Koreanya yang masih berantakan, dan membuatnya justru semakin tersesat.
Dia
melihat lagi ke sekelilingnya. Tak ada apa-apa kecuali dinding-dinding yang
saling berhadapan satu sama lain. Dia terjebak diantara toko-toko yang saling
memunggungi. Tak ada satu pun orang yang bisa ditanyai dan salju sudah semakin
menumpuk. Membuat dia semakin merasa kedinginan.
Tiba-tiba
dia mengingat sesuatu...
“Kumpulan
nomor telepon darurat di kamus!” pekiknya. Benar, di bagian kamus bahasa
Koreanya ada kumpulan nomor telepon darurat. Dia segera membuka tasnya dan
mengambil sebuah kamus berwarna merah. Kamus itu cukup tebal dengan judul besar
di bagian halaman depannya. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia-Korea Satu
Milyar. Dengan segera dia membuka bagian belakang kamus itu dan terpekik
senang saat melihat ada kumpulan nomor telepon darurat di Korea.
Dia
mengambil ponsel dari sakunya dan
menyalakannya. Aku mohon, menyala. Dia lagi-lagi terpekik saat
dilihatnya ponselnya menyala, meski sedikit redup menandakan jika beterai
ponsel itu sudah hampir habis. Kalau saja, dia tidak malas untuk menyimpan nomor
telepon teman-temanya yang ikut denganya ke Korea hal ini tidak perlu terjadi.
Ketika
dia akan memencet angka 119, tiba-tiba terdengar suara tembakan.
1
Dia
mengambil segelas martini yang dibawa oleh seorang pelayan berbadan kurus. Pelayan-pelayan
lain juga berjalan dengan anggun, mengenakan setelan berwarna putih dan rompi
berwarna putih pula. Sementara, pelayan wanita memakai rok pendek berwarna
hitam dengan kemeja berwarna putih. Rambut mereka yang panjang diikat ke
belakang. Mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain, menawarkan minuman
dan juga mengambil gelas yang telah habis isinya. Lalu, meletakannya di atas
nampan. Mereka sudah mahir sekali, pikirnya.
Ruangan
itu adalah sebuah aula besar yang megah dengan arsitektur eropa yang sangat kental.
Tak ada pemain gayageum, yang ada hanya para pemain biola, gitar, harpa,
klarinet yang berdiri di sudut ruangan. Meja-meja diatur sedemikian rupa dengan
kursi-kursi yang juga ditata dengan rapi. Para undangan kebanyakan terdiri dari
pengusaha dan terutama dari kalangan chaebol. Di sisi lain aula ada
sebuah panggung kecil yang menjadi sebuah tempat kue besar diletakkan.
Sebuah
kue ulang tahun.
Kue
itu bertingkat enam dengan lilin berwarna merah yang memiliki angka enam puluh.
Menandakan jika yang mengundang semua orang adalah seseorang yang baru berulang
tahun ke enam puluh. Mungkin, terdengar aneh bagi sebagian orang. Buat apa
orang setua itu merayakan pesta ulang tahun? Tapi, hal semacam itu bukanlah
sesuatu yang aneh bagi seorang pengusaha kaya. Karena, perayaan sebuah pesta
ulang tahun tidak hanya berarti rasa syukur karena masih diberi umur oleh
Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, bagi mereka sebuah perayaan pesta ulang
tahun berarti kemegahan dan kemewahan yang sengaja diperlihatkan
sebagai tanda kesuksesan. Hal itu, tentu saja juga berlaku bagi para undangan.
Tak
ada sedikit pun dari para undangan yang memakai pakaian atau aksesoris murah.
Harganya mahal dan pasti sengaja diperlihatkan. Gaun-gaun mereka hasil dari
perancang busana terkenal yang akan mereka sebut dengan keras-keras agar
terdengar oleh yang lain. Kehidupan kalangan atas terkadang sangat sederhana.
Hanya terdiri dari perhiasan mahal, label dan juga kelas.
Di
ujung aula itu berdiri seorang pria yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini.
Sementara, orang lain sibuk memamerkan apa yang mereka miliki atau sibuk
membicarakan masalah saham. Maka, pria itu lebih memilih menyendiri. Melihat
keadaan dengan santai, tapi tetap menggunakan tatapan yang tajam.
Kim
San nama pria itu.
Dia adalah pria yang akan kau
temukan di dalam cerita-cerita klasik eropa atau bisa juga kau temukan dalam
drama-drama korea yang terkenal itu. Dia tinggi, berkulit putih, tampan,
anggun, bermata tajam dan yang paling penting, punya kharisma yang sangat kuat.
Seperti, pangeran dalam tokoh-tokoh cerita klasik eropa. Pangeran yang akan
memberikan ciuman pada sang putri dan membawannya hidup bahagia. Ketika, yang
lain sibuk berdansa atau sekedar mengobrol. Kim San memilih menyendiri ke ujung
ruangan dan memperhatikan lalu lalang manusia dari tempat itu.
Tiba-tiba,
seorang perempuan datang berlari ke
arahnya, perempuan itu berusia sekitar enam belas tahunan. Berambut
panjang yang dicat coklat, mengenakan gaun berwarna putih dan mahkota kecil di
kepalanya. Dia terlihat manis dengan wajah dan sikap yang kekanakan. Melihat Ji
Young yang mendekat. Semua sikap Kim San berubah menjadi lebih santai dan
rileks.
“Oppa![1] Kau
kemana saja? Aku mencarimu kemana-mana!” kata Ji Young sambil mendekat.
Kim
San tersenyum lembut, dia mengusap rambut Ji Young. “Kau tampak cantik.” puji
Kim San tulus. Ji Young tersenyum senang, “Arayo[2].
Semua orang bilang begitu. Kau saja yang baru menyadarinya. Sekarang, aku
sudah besar. Jadi, kecantikanku pasti sudah tak terbantahkan lagi, kan?”
Kim San hanya tertawa
mendengarnya.
Kemudian, dalam sekejap Ji Young
memegang tangan Kim San dan menariknya, lalu membawanya pergi. Saking
kencangnya, hampir saja membuat minuman Kim San tumpah ke pakaiannya. “Tunggu,
Ji Young! Kita mau kemana?” tanya Kim San dengan sedikit heran. “Kita harus
memberi salah ke tuan rumah dulu. Kau belum melakukannya, kan?”
“Tak usah, dia sedang bersama
tamu undangan lain. Jangan diganggu....” kata Kim San dengan nada khawatir.
Tapi, Ji Young tidak perduli dan terus menarik tangannya sampai Kim San
berhadapan dengan tuan rumah.
“Ja, eoseo oseyo. Je anae-imnida[3]” kata Cheolsu dengan ramah saat
dia melihat Kim San. Kim San mengangguk ramah pada Cheolsu dan juga pada wanita
disamping Cheolsu, Kim Min Ha. Istri Kim Cheol Su. Dia wanita berambut pendek
dan berwajah cantik. Mengenakan gaun berwarna merah tua. Dia menundukkan
sedikit badannya sambil berbicara dengan anggun, “Eoseo oseyo. Malsseum mani
deureosseoyo[4]”
Kim San hanya bisa mengangguk,
tak berani untuk mengatakan jika dia sebenarnya sudah berada di sana sejak
lama. Akhirnya, Kim San hanya bisa berkata, “Annyeong-haseyo. Kim San-rago
hamnida. Chodaehae jusyeoseo gamsahamnida.[5]”
Kim Cheol Su adalah salah satu chaebol
paling berpengaruh di Korea Selatan. Dia tidak hanya memiliki banyak
perusahaan berpengaruh dalam perkembangan Korea. Tapi, juga memiliki anak-anak
yang tak kalah suksesnya dari dirinya sendiri. Kim Cheol Su seperti raja di
rangkaian piramida emas yang dibangunnya bersama dengan keluarganya.
Oh Myung Sang, ayah Ji Young yang berdiri di
depan Kim San, berusaha memancing pembicaraan. Kali ini dengan mengait-ngaitkan
Kim San ke dalam obrolannya. “Kim San! Kau ini betul-betul kurang ajar! Anakku
tergila-gila padamu.” kata Myung Sang yang disambut tawa oleh tamu yang lain.
“Ah, tidak begitu. Anak Anda
terlalu baik untuk saya.” katanya. Aku bisa melihat wajah Ji Young yang berubah
menjadi merah. Jelas, tebakan ayahnya benar. Saat, ada tamu lain yang datang,
Kim San memundurkan badannya dan kembali berjalan ke sudut ruangan. Sesaat, dia
bisa mendengar suara tamu itu yang mengucapkan selamat ulang tahun dan juga
menyodorkan sebuah hadiah yang tampaknya mewah.
“A, gomapsseumnida. Jeongmal
meojjin nektaigunyo.[6]”
kata Cheolsu
dengan senang saat membuka kadonya. Tanpa menyadari jika Kim San sudah
menghilang dari pandangannya. Sejujurnya, aku sendiri tak yakin jika di pesta
ini semua orang saling mengenal. Mereka hanya datang karena perusahaan mereka
besar dan cukup berpengaruh untuk diundang atau bisa juga karena mereka adalah partner
kerja dari Kim Cheol Su. Hal semacam ini, bukanlah hal yang aneh dalam
kehidupan bisnis.
Setelah kembali ke tempatnya,
Kim San memperhatikan sekelilingnya.
Dari kejauhan dia bisa melihat keluarga majikannya, sedang asyik mengobrol
dengan beberapa tamu undangan lain. Entah apa yang mereka bicarakan. Di tangan
mereka ada segelas minuman keras yang belum habis. Menjadi, seorang kaya
berarti tahu bagaimana bersikap dan bertata krama.
Tiba-tiba ponsel Kim San
berbunyi, ada sebuah pesan masuk dari seseorang tanpa nama. Tapi, tentu saja
Kim San tahu siapa yang mengirimnya. Dalam diam, Kim San melihat apa isi
pesannya dan tak lama kemudian dia segera menutupnya. Lalu, berjalan dengan
santai melewati tamu-tamu undangan tanpa mereka sadari. Tanpa diketahui oleh Ji
Young yang mencarinya kemana-mana. Seperti, bayangan yang tahu-tahu menghilang
begitu saja.
Bahkan ketika berjalan, dia
kelihatan anggun sekali. Nyaris, tak ada sedikitpun tanda tergesa-gesa pada
dirinya. Dia masuk ke sebuah lift yang baru terbuka dan langsung menekan tombol
menuju lantai paling atas. Dalam sekejap pintu lift terbuka, Kim San langsung
keluar dan naik ke tangga yang tak jauh darinya. Kemudian, begitu sampai di
atas, dia membuka pintunya dan seorang
pria sedang berdiri di sana.
“Kau lama sekali.” kata pria
itu.
Nama pria itu Park Min Ho, anak
majikan Kim San. Dia hampir sama seperti San. Dia tinggi, tampan, cerdas dan
kelihatan glamor dengan tuxedo berwarna hitam. Dia sempurna. Min Ho sedang
berdiri menatap kota dari atas gedung. Aku bisa melihat betapa indahnya
pemandangan di tengah malam. Aku juga bisa mendengar suara alunan musik yang
ada di bawah kami. Wajar saja, lantai dibawah mereka adalah tempat pesta itu
diadakan.
“Maaf...maaf...” kata Kim San
sambil berjalan mendekati Min Ho. “Apa kau tidak apa-apa? Bagaimana, jika
direktur tahu kau menghilang lagi. Dia pasti akan marah padamu.”
“Aku tidak kemana-mana.
Lagipula, ayahku pasti sedang asyik mengobrol dengan kolega-koleganya.” kata
Min Ho. “Bagi ayahku, aku ini hanya alat untuk membuat perusahaannya bertambah
besar. Tak kurang dan tak lebih.”
Mata Min Ho mulai terlihat
sendu. Tapi, sesaat kemudian, dia tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah
San, “Ayo berdansa denganku.”
“Bagaimana, jika ada yang
melihat?” tanya Kim San sambil melihat ke sekelilingnya. Min Hojuga menatap ke sekelilingnya, kemudian berkata,
“Tak akan ada yang melihat. Ayo kita berdansa saja.”
Kim San akhirnya tak menolak dan
memegang tangan Min Ho yang putih. Dia menundukkan badannya dan mencium tangan
Min Ho. Wajah Min Ho memerah, tapi jelas dia terlihat bahagia. Lalu, keduanya berdansa dengan diiringi musik
yang mengalun dengan lembut. Saat, musik berhenti bernyanyi, pangeran dalam
cerita dongeng itu tidak mencium seorang putri. Melainkan, mencium pangeran
lain.
[1]
secara harfiah artinya kakak (untuklak-laki dan yang memanggil adalah wanita).
Tapi, sering juga digunakan oleh wanita yang sudah akrab pada prianya, meski
tidak punya hubungan darah. Seperti, pacar dll.
[2]
Aku tahu/mengerti.
[3]
Selamat datang, ini istri saya.
[4]
Silahkan masuk. Sering kali saya dengar kabar tentang anda.
[5]
Apa kabar. Saya Kim San. Terima kasih atas undangan ini.
[6]
Ah, terima kasih. Ini dasi yang bagus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar