baru

Sabtu, 11 April 2015

wangja bab 1

Prolog
                Pria itu berjalan dengan kebingungan. Dimana aku? Sepertinya, aku sudah melewati jalan yang ini, pikirnya. Pria itu mengencangkan jaketnya, agar terlindungi dari hawa dingin yang menusuk. Tapi, meski jaketnya tebal, tetap saja hawa dingin terus-menerus menyerang tubuhnya. Mungkin, karena tidak terbiasa dengan salju, membuat suhu menjadi jauh lebih dingin dari yang dirasakan oleh orang asli di sana.
Harusnya, aku tadi mengikuti rombongan saja.
Pria itu pergi ke Korea bersama rombongan dan saat berjalan-jalan di pasar tradisional. Dia tertarik pada topeng-topeng yang dipasang di dinding. Sebagai dokter dan penulis membuat rasa ingin tahunya besar untuk melihat-lihat topeng itu lebih dalam. Lalu, diam di sana tanpa menyadari jika rombongannya sudah menjauh. Setelah sadar, satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah berjalan tak tentu arah, berusaha bertanya sana-sini dengan bahasa Koreanya yang masih berantakan, dan  membuatnya justru semakin tersesat.
                Dia melihat lagi ke sekelilingnya. Tak ada apa-apa kecuali dinding-dinding yang saling berhadapan satu sama lain. Dia terjebak diantara toko-toko yang saling memunggungi. Tak ada satu pun orang yang bisa ditanyai dan salju sudah semakin menumpuk. Membuat dia semakin merasa kedinginan.  
                Tiba-tiba dia mengingat sesuatu...
                “Kumpulan nomor telepon darurat di kamus!” pekiknya. Benar, di bagian kamus bahasa Koreanya ada kumpulan nomor telepon darurat. Dia segera membuka tasnya dan mengambil sebuah kamus berwarna merah. Kamus itu cukup tebal dengan judul besar di bagian halaman depannya. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia-Korea Satu Milyar. Dengan segera dia membuka bagian belakang kamus itu dan terpekik senang saat melihat ada kumpulan nomor telepon darurat di Korea.
                Dia mengambil ponsel dari sakunya  dan menyalakannya. Aku mohon, menyala. Dia lagi-lagi terpekik saat dilihatnya ponselnya menyala, meski sedikit redup menandakan jika beterai ponsel itu sudah hampir habis. Kalau saja, dia tidak malas untuk menyimpan nomor telepon teman-temanya yang ikut denganya ke Korea hal ini tidak perlu terjadi.
                Ketika dia akan memencet angka 119, tiba-tiba terdengar suara tembakan.
1
                Dia mengambil segelas martini yang dibawa oleh seorang pelayan berbadan kurus. Pelayan-pelayan lain juga berjalan dengan anggun, mengenakan setelan berwarna putih dan rompi berwarna putih pula. Sementara, pelayan wanita memakai rok pendek berwarna hitam dengan kemeja berwarna putih. Rambut mereka yang panjang diikat ke belakang. Mereka berjalan dari satu tempat ke tempat lain, menawarkan minuman dan juga mengambil gelas yang telah habis isinya. Lalu, meletakannya di atas nampan. Mereka sudah mahir sekali, pikirnya.
                Ruangan itu adalah sebuah aula besar yang megah dengan arsitektur eropa yang sangat kental. Tak ada pemain gayageum, yang ada hanya para pemain biola, gitar, harpa, klarinet yang berdiri di sudut ruangan. Meja-meja diatur sedemikian rupa dengan kursi-kursi yang juga ditata dengan rapi. Para undangan kebanyakan terdiri dari pengusaha dan terutama dari kalangan chaebol. Di sisi lain aula ada sebuah panggung kecil yang menjadi sebuah tempat kue besar diletakkan.
                Sebuah kue ulang tahun.
                Kue itu bertingkat enam dengan lilin berwarna merah yang memiliki angka enam puluh. Menandakan jika yang mengundang semua orang adalah seseorang yang baru berulang tahun ke enam puluh. Mungkin, terdengar aneh bagi sebagian orang. Buat apa orang setua itu merayakan pesta ulang tahun? Tapi, hal semacam itu bukanlah sesuatu yang aneh bagi seorang pengusaha kaya. Karena, perayaan sebuah pesta ulang tahun tidak hanya berarti rasa syukur karena masih diberi umur oleh Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, bagi mereka sebuah perayaan pesta ulang tahun berarti kemegahan dan kemewahan yang sengaja diperlihatkan sebagai tanda kesuksesan. Hal itu, tentu saja juga berlaku bagi para undangan.
                Tak ada sedikit pun dari para undangan yang memakai pakaian atau aksesoris murah. Harganya mahal dan pasti sengaja diperlihatkan. Gaun-gaun mereka hasil dari perancang busana terkenal yang akan mereka sebut dengan keras-keras agar terdengar oleh yang lain. Kehidupan kalangan atas terkadang sangat sederhana. Hanya terdiri dari perhiasan mahal, label dan juga kelas.
                Di ujung aula itu berdiri seorang pria yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Sementara, orang lain sibuk memamerkan apa yang mereka miliki atau sibuk membicarakan masalah saham. Maka, pria itu lebih memilih menyendiri. Melihat keadaan dengan santai, tapi tetap menggunakan tatapan yang tajam.
                Kim San nama pria itu.
Dia adalah pria yang akan kau temukan di dalam cerita-cerita klasik eropa atau bisa juga kau temukan dalam drama-drama korea yang terkenal itu. Dia tinggi, berkulit putih, tampan, anggun, bermata tajam dan yang paling penting, punya kharisma yang sangat kuat. Seperti, pangeran dalam tokoh-tokoh cerita klasik eropa. Pangeran yang akan memberikan ciuman pada sang putri dan membawannya hidup bahagia. Ketika, yang lain sibuk berdansa atau sekedar mengobrol. Kim San memilih menyendiri ke ujung ruangan dan memperhatikan lalu lalang manusia dari tempat itu.
                Tiba-tiba, seorang perempuan datang berlari ke  arahnya, perempuan itu berusia sekitar enam belas tahunan. Berambut panjang yang dicat coklat, mengenakan gaun berwarna putih dan mahkota kecil di kepalanya. Dia terlihat manis dengan wajah dan sikap yang kekanakan. Melihat Ji Young yang mendekat. Semua sikap Kim San berubah menjadi lebih santai dan rileks.
Oppa![1] Kau kemana saja? Aku mencarimu kemana-mana!” kata Ji Young sambil mendekat.
                Kim San tersenyum lembut, dia mengusap rambut Ji Young. “Kau tampak cantik.” puji Kim San tulus. Ji Young tersenyum senang, “Arayo[2]. Semua orang bilang begitu. Kau saja yang baru menyadarinya. Sekarang, aku sudah besar. Jadi, kecantikanku pasti sudah tak terbantahkan lagi, kan?”
Kim San hanya tertawa mendengarnya.
Kemudian, dalam sekejap Ji Young memegang tangan Kim San dan menariknya, lalu membawanya pergi. Saking kencangnya, hampir saja membuat minuman Kim San tumpah ke pakaiannya. “Tunggu, Ji Young! Kita mau kemana?” tanya Kim San dengan sedikit heran. “Kita harus memberi salah ke tuan rumah dulu. Kau belum melakukannya, kan?”
“Tak usah, dia sedang bersama tamu undangan lain. Jangan diganggu....” kata Kim San dengan nada khawatir. Tapi, Ji Young tidak perduli dan terus menarik tangannya sampai Kim San berhadapan dengan tuan rumah. 
 “Ja, eoseo oseyo. Je anae-imnida[3] kata Cheolsu dengan ramah saat dia melihat Kim San. Kim San mengangguk ramah pada Cheolsu dan juga pada wanita disamping Cheolsu, Kim Min Ha. Istri Kim Cheol Su. Dia wanita berambut pendek dan berwajah cantik. Mengenakan gaun berwarna merah tua. Dia menundukkan sedikit badannya sambil berbicara dengan anggun, “Eoseo oseyo. Malsseum mani deureosseoyo[4]
Kim San hanya bisa mengangguk, tak berani untuk mengatakan jika dia sebenarnya sudah berada di sana sejak lama. Akhirnya, Kim San hanya bisa berkata, “Annyeong-haseyo. Kim San-rago hamnida. Chodaehae jusyeoseo gamsahamnida.[5]
Kim Cheol Su adalah salah satu chaebol paling berpengaruh di Korea Selatan. Dia tidak hanya memiliki banyak perusahaan berpengaruh dalam perkembangan Korea. Tapi, juga memiliki anak-anak yang tak kalah suksesnya dari dirinya sendiri. Kim Cheol Su seperti raja di rangkaian piramida emas yang dibangunnya bersama dengan keluarganya.
 Oh Myung Sang, ayah Ji Young yang berdiri di depan Kim San, berusaha memancing pembicaraan. Kali ini dengan mengait-ngaitkan Kim San ke dalam obrolannya. “Kim San! Kau ini betul-betul kurang ajar! Anakku tergila-gila padamu.” kata Myung Sang yang disambut tawa oleh tamu yang lain.
“Ah, tidak begitu. Anak Anda terlalu baik untuk saya.” katanya. Aku bisa melihat wajah Ji Young yang berubah menjadi merah. Jelas, tebakan ayahnya benar. Saat, ada tamu lain yang datang, Kim San memundurkan badannya dan kembali berjalan ke sudut ruangan. Sesaat, dia bisa mendengar suara tamu itu yang mengucapkan selamat ulang tahun dan juga menyodorkan sebuah hadiah yang tampaknya mewah.
“A, gomapsseumnida. Jeongmal meojjin nektaigunyo.[6]kata Cheolsu dengan senang saat membuka kadonya. Tanpa menyadari jika Kim San sudah menghilang dari pandangannya. Sejujurnya, aku sendiri tak yakin jika di pesta ini semua orang saling mengenal. Mereka hanya datang karena perusahaan mereka besar dan cukup berpengaruh untuk diundang atau bisa juga karena mereka adalah partner kerja dari Kim Cheol Su. Hal semacam ini, bukanlah hal yang aneh dalam kehidupan bisnis.
Setelah kembali ke tempatnya, Kim San  memperhatikan sekelilingnya. Dari kejauhan dia bisa melihat keluarga majikannya, sedang asyik mengobrol dengan beberapa tamu undangan lain. Entah apa yang mereka bicarakan. Di tangan mereka ada segelas minuman keras yang belum habis. Menjadi, seorang kaya berarti tahu bagaimana bersikap dan bertata krama.
Tiba-tiba ponsel Kim San berbunyi, ada sebuah pesan masuk dari seseorang tanpa nama. Tapi, tentu saja Kim San tahu siapa yang mengirimnya. Dalam diam, Kim San melihat apa isi pesannya dan tak lama kemudian dia segera menutupnya. Lalu, berjalan dengan santai melewati tamu-tamu undangan tanpa mereka sadari. Tanpa diketahui oleh Ji Young yang mencarinya kemana-mana. Seperti, bayangan yang tahu-tahu menghilang begitu saja.
Bahkan ketika berjalan, dia kelihatan anggun sekali. Nyaris, tak ada sedikitpun tanda tergesa-gesa pada dirinya. Dia masuk ke sebuah lift yang baru terbuka dan langsung menekan tombol menuju lantai paling atas. Dalam sekejap pintu lift terbuka, Kim San langsung keluar dan naik ke tangga yang tak jauh darinya. Kemudian, begitu sampai di atas, dia  membuka pintunya dan seorang pria sedang berdiri di sana.
“Kau lama sekali.” kata pria itu.
Nama pria itu Park Min Ho, anak majikan Kim San. Dia hampir sama seperti San. Dia tinggi, tampan, cerdas dan kelihatan glamor dengan tuxedo berwarna hitam. Dia sempurna. Min Ho sedang berdiri menatap kota dari atas gedung. Aku bisa melihat betapa indahnya pemandangan di tengah malam. Aku juga bisa mendengar suara alunan musik yang ada di bawah kami. Wajar saja, lantai dibawah mereka adalah tempat pesta itu diadakan.
“Maaf...maaf...” kata Kim San sambil berjalan mendekati Min Ho. “Apa kau tidak apa-apa? Bagaimana, jika direktur tahu kau menghilang lagi. Dia pasti akan marah padamu.”
“Aku tidak kemana-mana. Lagipula, ayahku pasti sedang asyik mengobrol dengan kolega-koleganya.” kata Min Ho. “Bagi ayahku, aku ini hanya alat untuk membuat perusahaannya bertambah besar. Tak kurang dan tak lebih.”
Mata Min Ho mulai terlihat sendu. Tapi, sesaat kemudian, dia tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah San, “Ayo berdansa denganku.”
“Bagaimana, jika ada yang melihat?” tanya Kim San sambil melihat ke sekelilingnya. Min Hojuga  menatap ke sekelilingnya, kemudian berkata, “Tak akan ada yang melihat. Ayo kita berdansa saja.”
Kim San akhirnya tak menolak dan memegang tangan Min Ho yang putih. Dia menundukkan badannya dan mencium tangan Min Ho. Wajah Min Ho memerah, tapi jelas dia terlihat bahagia.  Lalu, keduanya berdansa dengan diiringi musik yang mengalun dengan lembut. Saat, musik berhenti bernyanyi, pangeran dalam cerita dongeng itu tidak mencium seorang putri. Melainkan, mencium pangeran lain.



[1] secara harfiah artinya kakak (untuklak-laki dan yang memanggil adalah wanita). Tapi, sering juga digunakan oleh wanita yang sudah akrab pada prianya, meski tidak punya hubungan darah. Seperti, pacar dll.
[2] Aku tahu/mengerti.
[3] Selamat datang, ini istri saya.
[4] Silahkan masuk. Sering kali saya dengar kabar tentang anda.
[5] Apa kabar. Saya Kim San. Terima kasih atas undangan ini.
[6] Ah, terima kasih. Ini dasi yang bagus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar