baru

Senin, 25 Mei 2015

Persahabatan Segitiga 7

 7
Alfa menarik tangannya dengan keras dan mendengus kesal. Lalu, melangkah pergi menjauh. Hakim terjatuh ke  tanah dan memegang lehernya yang sesak. Dia menarik nafas perlahan-lahan, berusaha agar aliran nafasnya kembali normal. Tiba-tiba seorang anak kecil dengan rambut dikuncir dua dan wajah penuh dengan bintik merah yang sejak tadi bersembunyi dibalik tubuh besar Chris keluar.
“Kau tidak apa-apa?” tanya anak itu.
Hakim mengangguk.
Hakim berdiri perahan-lahan dan dia bertanya pada anak kecil itu. “Apa kau tahu dimana kami sekarang?”
“Siapa namamu?” tanya Hakim tanpa menunggu jawaban dari anak kecil itu. 
“Lisa Hamsworth.” katanya dengan lugu. Chris-lah yang tadi berteriak. Untung saja, Christian tadi berteriak sehingga Hakim juga bisa terselamatkan. Matahari sudah mulai menggelincir perlahan-lahan. Tiba-tiba seorang ibu berbadan gemuk datang tergopoh-gopoh ke arah mereka. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran yang sangat.
“Lisa! Bukankah, sudah kukatakan agar tidak keluyuran!” teriaknya.
Anak kecil itu hanya menggelengkan kepalanya sambil cemberut dan menggelengkan kepalanya. “Tapi, Bu! Ini bahkan belum sore.” katanya dengan tegas dan keras. Ibunya menatap mereka berdua dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Apa kalian baru datang?” tanyanya. Hakim mengangguk dan Chris hanya diam. Masing-masing mereka sama-sama menyadari jika baru mereka berdualah manusia yang mereka temui di tempat ini. Dimana tempat ini? pikir mereka lagi. Tapi, ketika Hakim akan bertanya lagi kepada mereka. Tiba-tiba saja ibu itu sudah melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka.
Chris masih sempat mendengar anak kecil bernama Lisa itu berkata, “Tapi, ini baru akan sore. Apa kau pikir mereka akan datang?”
#####
            Malam sebentar lagi akan datang. Bagaimanapun, mereka belum mendapatkan transportasi untuk bisa pergi dari kota ini. Karena, tak ada satupun orang yang mereka temui kecuali dua orang ibu dan anaknya tadi. Chris berjalan seorang diri sementara Hakim juga sudah berpisah dengannya. Bagaimanapun, masing-masing mereka tidak saling mengenal dan tidak ada alasan bagi mereka untuk bepergian bersama.
            Alfa Century sudah akan mabuk karena terlalu banyak minum bir yang dia ambil secara paksa dari beberapa mesin minuman yang ada di seberang jalan. Mesin-mesin itu rusak karena dihajar olehnya.  Bagi Alfa, dia tidak terlalu memikirkan apakah di tempatnya sekarang ada manusia atau tidak. Bukannya dia tidak memperhatikan, tapi, dia benar-benar tidak perduli.
            Malam mulai menjelang dan bintang-bintang tampaknya enggan keluar memperlihatkan dirinya. Bahkan, bulan yang biasanya ada, pada akhirnya hanya bersembunyi di balik gelapnya malam. Menyelimuti dirinya sendiri dengan kegelapan sehingga tidak bisa dilihat oleh siapapun. Bangunan-bangunan tampak gelap dan kosong. Beberapa kaca sudah pecah dan sama sekali tidak terurus. Sampai detik ini,  Alfa tidak bertemu dengan siapapun.
            Christian Severe IV memejamkan mata di kursi yang berada di halte bus. Dia tidak sedang melakukan apa-apa. Hanya diam dan mendengarkan. Chris sedang tidak ingin untuk mabuk dan dia juga tidak ingin bermain dengan wanita manapun. Alasannya sederhana, karena semua barang-barangnya tertinggal di dalam mobil dan dia tidak membawa apapun kecuali pakaian yang dikenakannya sekarang.  Tak ada suara apapun atau siapapun. Hanya dirinya dan kegelapan. Karena, menurutnya hanya itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan sekarang. Hanya diam dan menunggu.
            Perlahan-lahan tapi pasti dirinya mulai mendengar sebuah suara......
            Di tempat lain, Muhammad Hakim Rasyid mengangkat kedua tangannya sambil mengucapkan takbir dan kemudian rukuk dengan punggung tegak dan rata seperti yang diajarkan hadis nabi. Matanya melihat ke arah tempat sujud dengan patuh dan tunduk pada Yang Maha Kuasa. Hakim melaksanakan sholat maghrib dengan beralaskan koran bekas di sudut kota itu. Hakim sudah berusaha mencari mushola hanya saja sampai sekarang dia belum menemukan tempat lain untuk sholat. Akhirnya, dia mengambil sebuah koran yang masih bersih tapi sepertinya dibuang pemliknya. Lalu, menghamparkan di atas jalalanan dan sholat di atasnya.
            Pikiran Hakim sedang tertuju pada-Nya.
Hanya pada-Nya.
Tak menyadari jika sejak malam itu, takdir mereka bertiga benar-benar telah terikat dalam sebuah ikatan yang mungkin tidak akan bisa diputuskan oleh siapapun kecuali  Pemiliknya.
Woo ternyata masih tetap berdiri di belakang Kim San tanpa sedikitpun bergerak. Kim San sendiri tidak terlalu perduli hal itu dan terus menikmati kehangatan yang muncul akibat dari kopi yang diminumnya.

            Jung Woo tiba-tiba berteriak, “Kenapa kau berbeda sekali dengan So Hyun? Kenapa kau begitu jahat”

            Kim San membalikkan badannya dan sekali lagi mereka saling berhadapan.

wangja 28

28
            Kim San sekali lagi memandangi kota Seoul yang kini terkubur salju. Kim San meneguk perlahan-lahan kopi hangat yang dari tadi masih belum habis. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya, berdiri memandangi pemandangan dari apartemennya. Hanya tinggal beberapa langkah lagi dan semua rencananya akan berhasil. Aku bertanya-tanya apa yang harus kutulis sekarang.......
            Selalu ada jeda saat kisah akan mencapai klimaks.
            Mungkin, inilah saat aku perlu memberikan jeda bagi kisahku.
            Bahkan, di sini, saat kutuliskan kisah ini. Langit kembali mendung. Dulu, aku sering bertanya-tanya dimana sebenarnya hal yang bisa membuat kita bahagia. Aku sama sekali tidak mengetahui hal itu. Ada kalanya, aku merasa semua yang aku lakukan sia-sia dan jalan yang ingin kutempuh semuanya tertutup. Saat itu, aku bertanya-tanya dimana jalan keluar sesungguhnya.
            Tapi, mungkin, memang perlu waktu dari segala sesuatu. Jalan satu manusia dengan manusia yang lain. Berbeda. Tidak sama dan tidak akan pernah sama. Kim San juga sama, dulu dia mencoba segala hal agar bisa keluar dari rumah dan semua hal itu sama sekali tidak ada yang berhasil. Semua jalan itu tertutup. Seolah-olah dia akan tertahan selamanya di sana.
            Kemudian, jalan itu akhirnya terbuka dan mungkin seolah-olah balasan karena semua jalan yang tertutup dulu, sekarang nyaris semua yang Kim San ingin lakukan, bisa dia kerjakan.
            Lamunan Kim San terganggu karena Jung Woo masuk ke dalam apartemen. Dia menundukkan badannya, “Aku sudah mengantarnya seperti permintaan Anda.”
            “Bagus. Kau boleh pulang.” kata San.
            Ayah Kim San, pasti akan marah besar jika dia tahu apa yang sudah Kim San lakukan untuk sampai ke tahap ini. Kim Jo Myung pasti akan menghalangi San untuk melakukan balas dendam ini. Jo Myung adalah pria yang baik. Dia mempercayai adanya balasan atas kebaikan dan keburukan yang manusia kerjakan. Bahkan, Kim San yakin meski dia mengatakan balas dendam ini untuk ayahnya. Kim San yakin ayahnya tetap akan melarangnya. Apalagi, jika dia tahu Kim San telah menjadi iblis demi balas dendam ini. Tak ada lagi rasa kasihan dan ampunan.
            Dia akan menghancurkan Park Jae Seong, Choi Jin Hee dan juga anak mereka.....
            Park Min Ho.
            “Apa yang akan kau lakukan pada So Hee?” tanya Jung Woo.
            “Memanfaatkannya.” kata Kim San pendek.
            “Ta...tapi.....” kata Jung Woo perlahan dengan tatapan menunduk ke lantai. “Saya kira Anda merasa simpati padanya.”
            “Simpati? Apa kau gila?” kata Kim San.
            “Lalu, kenapa Anda menunggunya selama tiga tahun? Mengikutinya, setiap kali dia pindah? Saya pikir, Anda merasa simpati padanya dan ingin membuatnya tatapan matanya yang penuh dengan keinginan untuk mati itu berubah?”
            Kali ini, Kim San membalikkan badannya dan meletakan cangkir kopi ke atas meja.
            “Kalau begitu kau salah paham.....” kata Kim San sambil menyilangkan kedua lengannya di dadanya. Kim San kemudian melanjutkan perkataannya yang belum selesai, “Aku menunggu So Hee selama tiga tahun untuk memastikan jika tatapan matanya tidak berubah. Jika, dia tetap ingin mati sampai kapanpun. Aku bisa memanfaatkannya untuk menjadi kambing hitam sesuka hatiku.  Dengan begitu, dia tak akan berhianat padaku. Menjadikan orang baik sebagai pionku sangatlah merepotkan. Karena, mereka pasti akan menggagalkan rencanaku.”
“Kalau saja, hatinya berubah karena cinta. Maka, aku tak akan menggunakannya karena hal itu akan merusak rencanaku. Karena, dia pasti tidak mau melakukan semua yang kuperintahkan padanya. Tapi, jika dia tetap ingin mati dan depresi seperti sekarang. Dia -dengan senang hati- akan menuruti keinginanku dan tidak akan pernah lagi memperdulikan apapun di dunia ini. Sebab, satu-satunya tujuan hidupnya adalah mati.”
            Jung Woo gemetar.....
            “Kenapa? Apa kau selalu takut padaku?”
            “Ya.” akunya. “Kau benar-benar menakutkan.”
            Kim San mengambil kembali kopi dan meneguknya perlahan-lahan. Kemudian, melihat  kembali pemandangan kota Seoul yang dingin berselimut salju. Jung Woo ternyata masih tetap berdiri di belakang Kim San tanpa sedikitpun bergerak. Kim San sendiri tidak terlalu perduli hal itu dan terus menikmati kehangatan yang muncul akibat dari kopi yang diminumnya.
            Jung Woo tiba-tiba berteriak, “Kenapa kau berbeda sekali dengan So Hyun? Kenapa kau begitu jahat”

            Kim San membalikkan badannya dan sekali lagi mereka saling berhadapan.

Minggu, 24 Mei 2015

Tentang Persahabatan Segitiga #1

Mungkin, bagi kalian yang baru atau udah lama datang mengunjungi blog ini. Pada bertanya-tanya, apa sih persahabatan segitiga itu? Apa itu novel orang lain yang publikasikan di blog? Apa itu catatan harian? Pengalaman?
Jawabannya, itu adalah novel pertama saya.
Persahabatan Segitiga adalah sebuah novel yang saya tulis sekitar tahun 2010. Bisa dibilang novel ini sudah balita. Umurnya sudah lima tahun dan sebentar lagi  akan berusia enam. Sebuah kisah yang punya nilai tersendiri bagi saya. Mengingat itulah novel pertama yang saya tulis, novel yang membuat saya benar-benar merasa sebagai seorang penulis.
 Kisahnya bercerita tentang persahabatan tiga orang pria. Seorang mahasiswa miskin, seorang pria kaya raya dan seorang mafia jalanan (istilah yang saya ambil dari komik favorit saya). Tiga orang pria yang kesepian, yang memiliki masa lalu gelap dan  berusaha saling mengisi satu sama lain. Tiga orang pria yang memiliki jurang perbedaan yang besar, tapi justru perbedaan itu yang membuat mereka saling terikat satu sama lain.
Persahabatan segitiga sendiri adalah sebuah awal dari pentalogi yang ingin sekali saya tulis. Sampai sekarang, (baca: tahun 2015) saya baru menulis buku keduanya. Meski, di kepala saya sudah memiliki alur yang (nyaris) sempurna tentang kelima buku itu. Tapi, akhirnya saya tak pernah bisa menuliskannya. Ada banyak keraguan yang membuat saya selalu merasa enggan untuk melanjutkannya.
Jika, Anda membaca kisah ini. Mungkin, Anda akan melihat beberapa kelemahan dan bertanya-tanya. Kenapa novel ini seperti ditulis penulis baru? Jika, ada pertanyaan sepetri itu. Jawabnnya  adalah karena saya memang berhneti untuk memperbaikinya. Novel ini sudah saya perbaiki dan edit berulang kali. Kalau bukan karena saya takut, kisah ini akan berubah. Mungkin saya akan terus memperbaikinya.
Namun, terkadang kesempurnaan ada ketika tidak sempurna, kan?
Ada banyak hal yang ingin saya tulis di sini. Begitu, juga tentang Wangja. cerita lain yang saya publikasikan lewat blog ini. Tapi, pada akhirnya, untuk saat ini. Hanya sebatas ini yang bisa saya tulis. Saya harap Anda menikmati apa yang saya tulis dan mau membacanya sampai akhir.
Sebab, terkadang suatu kisah menjadi bermakna, ketika ada yang membacanya.

                                                                        Salam hangat dari saya, C. A. K

Persahabatan segitiga 6

 6
Alfa Century
Aku bertanya-tanya, apa ini benar stasiun yang harusnya kudatangi? Tempat ini agak sepi dan sama sekali tidak ada orang. Stasiun ini bentuknya sama saja dengan stasiun bawah tanah lainnya. Mungkin, perbedaan besar yang terlihat  hanya jika di tempat lain ada orang. Sementara di sini, sama sekali tidak ada orang. Aku memalingkan wajahku dan sadar jika kereta telah menjauh.
Aku tidak ingin banyak bicara dan  hanya berjalan menaiki tangga menuju keluar dari tempat ini. Di belakangku, ada dua orang yang sama sekali tak kukenal. Tapi, sepertinya mereka juga naik gerbong kereta yang sama denganku. Aku tidak tahu kemana orang-orang dan tidak perduli dimana ini. Memangnya, kami akan berada dimana? Aku juga tak tidak terlalu memikirkan jika tadi sama sekali tidak ada seorangpun yang meminta karcis padaku. Memangnya, apa perduliku?
Aku berjalan perlahan-lahan dan melihat berbagai macam poster rusak menempel di dinding. Siapa yang berada di sini? Nampaknya, stasiun ini sama sekali tidak dibersihkan. Aku mengambil sebatang rokok dari sakuku dan pemantiknya. Aku memasukkan rokokku perlahan-lahan ke dalam. Dari luar, aku melihat seberkas cahaya yang agak terang. sebentar, lagi, aku akan segera keluar. Entah, aku berada di mana. Tapi, aku pasti akan menemukan jalan pulang.
Matahari sepertinya sudah kembali ke tempat asalnya. Tapi, saat aku melihat ke sekelilingku. Aku bertanya-tanya, dimana aku?
#####
            Rokokku yang baru kuhisap jatuh ke lantai.
            Aku berusaha melihat ke sekelilingku. Tempat yang kutahu ini memiliki banyak toko yang berderet dengan berbagai tulisan di depan pintu. Jalanan kota ini tampak cukup lebar, tapi ada beberapa lubang di beberapa sudut. Sampah daun dan plastik berjatuhan di bahu jalan. Satu-satunya hal yang tak ada ada adalah manusia.
            Ya, manusia.
            Tak ada satupun orang di sini.
            Dua orang yang tadi ikut naik kereta denganku. Akhirnya, sampai juga di atas dan –sepertiku- mereka juga tertegun. Aku sama sekali tak suka dekat dengan mereka. Jadi, aku melangkah perlahan menjauhi mereka. Lagipula,  memangnya aku akan berada dimana?  Pasti tak akan jauh-jauh dari New York.  Aku mengambil kembali sebatang rokok lagi dari sakuku.
             Bangunan-bangunan di sini tampak aneh di mataku.  Beberapa bangunan tinggi dan megah. Tapi, sama sekali tidak setinggi New York. Mungkin, lebih mirip bangunan-bangunan yang ada di pinggiran kota. Tapi, seperti tempat yang tadi, lagi-lagi tak ada orang di sini.  Saat, aku akan menyalakan pemantikku, tiba-tiba saja tubuhku terbanting ke belakang dan rokokku lagi-lagi terjatuh.
            “Berengsek!” kataku.
            “Awas!” teriak seseorang dan tak lama kemudian, suara pistol menggelegar begitu saja.
            Dorr!!!
            Langit berwarna biru dengan sedikit awan yang berwarna putih.
            Sejujurnya, aku membayangkan secangkir kopi latte yang enak dengan sedikit hiasan indah di atasnya. Kopi apa yang akan kubuat? Entah, aku bukan seorang barista yang hebat. Meski, aku cukup memahami bagaimana cara membuat kopi yang enak. Mungkin, aku akan membuat kopi dari Pulau Sumatera yang terkenal itu? Ah, tidak, mungkin lebih baik kopi dari luwak saja. Kopi seperti itu memiliki banyak sekali variasinya.
            Suara tembakan kembali terdengar. Khalayanku tentang kopi  menghilang dan insting liarku bangkit. Aku menjauhkan badannya dariku dan sempat mengumpatnya dengan keras. Kebencian dalam diriku kembali bangkit dan aku melihat asal tembakan itu. Seorang pria berdiri di kejauhan.  Tangannya memegang senpaan laras panjang dan tanpa ragu mulai menembaki kami tanpa ragu. Aku tak perduli dengan pria itu, aku berlari menghindari pria dengan senapan itu dan laki-laki yang tadi menyelamatkankupun ikut berlari menghindar.
Aku bersembunyi di salah satu sudut dan menunggu jika ada tembakan lain akan datang. Instingku membuatku bergerak dengan cepat tanpa perlu terlalu banyak berpikir. Tapi, saat aku melihat kedepan untuk melihat wajah pria itu.
Dia menghilang.
Aku  bangkit perlahan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya pria kurus yang tadi menyelamatkanku. Aku melihat wajahnya dengan tatapan kebencian.  Aku menarik tubuhnya yang kecil dan mengangkatnya dengan satu tangan. Lalu, membenturkan tubuhnya yang kecil ke dinding di dekat sana. Mataku penuh dengan kebencian menatapnya.
“Apa yang kau lakukan?” teriakku.
“A...aku... aku hanya berusaha menolong...” kata pria kurus itu dengan tatapan yang terlihat ketakutan. Tangannya gemetar. Aku mengarahkan tinjunya ke arahnya, tapi sebelum tanganku menyentuh badannya. Tiba-tiba sebuah tangan lain memegang tanganku dan menahannya dengan kuat.
Aku menatap tangan orang yang melihatku dan seorang pria dengan tinggi yang hampir sama denganku. Badannya juga tak kalah besar dengan badanku. Wajahnya tampan dengan mata berwarna biru. Dia menatapku dengan tangan menahan tanganku agar tidak mengenai pria kurus ini.

“Bukankah, dia telah menyelamatkanmu?” katanya. 

wangja 27

27
            Untuk pertama kalinya sejak tiga tahun. Tatapan mata So Hee menghujam langsung ke arah Kim San. Untuk kali pertama, mereka benar-benar bertatapan. So Hee berjalan ke arah Kim San. Aku tak tahu apakah itu perasaan benci atau memang begitulah cara So Hee menatap orang. Tapi, sama sekali tak ada keramahan ataupun senyuman pada wanita itu.
            “Apa kau yakin bisa melakukannya? Karena, aku sudah melakukan segala cara untuk membunuh diriku. Tapi, selalu saja ada yang menggagalkannya. Apa kau yakin bisa melakukannya?” tanya So Hee.
            Kim San hanya tersenyum menakutkan, “Kau mau kubunuh sekarang?”
            So Hee tahu jika apa yang dikatakan pria yang baru dikenalnya itu adalah serius.
#####
            So Hee duduk berhadapan dengan Kim San. Sementara, Jung Woo berdiri di samping San. Mendengarkan semua yang dikatakan Kim San dan menuruti semua perintahnya. Mereka sedang berada di apartemen San. So Hee sedikitpun tidak menyentuh kopi yang sudah dibuat Jung Woo.
            “Pekerjaan apa yang mau kau tawarkan padaku?”
            “Kau hanya perlu hidup sampai musim dingin berakhir.” kata Kim San.
            “Apa maksudmu?”
            Kim San tidak langsung menjawab. Dalam hatinya, ada sedikit perasaan aneh melihat So Hee bicara sebanyak itu. Selama ini, So Hee tak pernah sekalipun memperlihatkan emosinya. Tak pernah berbicara sebagai seorang manusia, So Hee yang dikenal Kim San adalah So Hee yang bukan manusia. Melainkan, hanya seorang kasir.
            “Begini, sebentar lagi aku akan menjadi penguasa penuh dari perusahaan dimana aku bekerja sekarang. Tapi, salah satu syarat utamanya adalah harus bersih dari korupsi uang perusahaan.” kata Kim San. Kemudian, dia kembali melanjutkan, “Sayangnya, aku sudah mengkorupsi uang perusahaanku sejak aku pertama kali bekerja di sana. Jika, sampai hal ini diketahui pihak perusahaan. Bukan, tak mungkin, aku akan langsung dipecat dan rencanaku untuk memiliki perusahaan akan hancur.”
            Kang So Hee hanya menatap San.
            “Jadi, kau yang harus menggantikanku. Kau harus menjadi karyawan di perusahaanku dan saat waktunya tiba. Aku akan membuat rangkaian cerita dan bukti palsu yang mengatakan jika kaulah yang melakukan semua pekerjaan kotor dan membuat perusahaan rugi.”
            “Tapi...” kata So Hee perlahan-lahan. “Aku tidak bisa bekerja kantoran.”
            Kim San menatapnya datar, “Kau tak perlu bekerja di sana. Kau hanya harus menjadi pegawai di sana. Aku akan membuat semua yang kau perlukan. Kau tidak perlu datang ke kantor. Tidak perlu bekerja. Kau hanya harus hidup sampai musim dingin ini berakhir. Setelah itu.......”
Kim San menatap Jung Woo dan langsung mengangguk mengerti.
Dia membawa sebuah koper dari kamarku dan membukanya. Ada sepucuk pistol di sana. Jung Woo menjelaskannya dengan singkat, “Ini revolver. Senjata api dimana peluru dimasukkan kedalam tabung berputar. Ini adalah revolver dengan kaliber 44 berisi 7 peluru. Kau tak perlu mempelajari untuk menggunakannya. Kau hanya perlu menembaknya maka semua peluru akan keluar dengan otomatis.”
            “Apa ini akan menjadi milikku?” tanya So Hee.
            “Ya..” kata Kim Sam sambil mengangguk. “Terserah kau mau siapa yang melakukanya. Kau, orang lain atau bahkan, aku sendiri akan melakukannya dengan senang hati. Atau kau mati dengan cara lain? Aku bisa menyiapkannya untukmu. Aku bisa melakukan apapun yang kau mau.”
            “Tidak.” kata So Hee dengan cepat. So Hee tahu apa yang sedang dilakukannya. Dia memang ingin mati. “Aku akan menuruti semua perintahmu. Tapi, kau harus berjanji akan menyerahkan senjata ini padaku. Tak perduli siapa yang akan membunuhku nanti. Pistol ini harus tetap menjadi milikku.”
            “Terserah kau.”
            So Hee menggerakkan tangannya menyentuh pistol itu dan tatapan matanya sedikit berubah. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku tulis saat melihat ekspresinya. Matanya tidak bisa dikatakan senang, tapi juga tidak bisa dikatakan ketakutan. Hanya, seperti seseorang yang akhirnya mendapatkan apa yang selama ini dia inginkan.
            Jung Woo menatap So Hee heran.
Tapi, -seperti biasa- Kim San sama sekali tidak memperdulikannya. “Selain itu, kau harus berhenti bekerja di supermarket dan datang ke sini setiap hari. Bersihkan tempat ini dan kau harus tetap di sini sampai malam tiba. Aku akan membayar biaya hidupmu selama kau bekerja denganku sampai nanti kau mati. Aku akan memberikan pistol itu jika nanti saat kau sudah dijadikan kambing hitam. Sehingga, satu-satunya yang kau perlu lakukan hanya meninggalkan dunia ini.”
            “Kau tidak boleh marah atau memprotes apapun yang kulakukan padamu. Kau tidak boleh tidak setuju. Kau harus patuh dan tunduk padaku.” kata Kim San.
So Hee mengangguk dan dia setuju.  “Antarkan dia pulang!” perintah Kim San pada Jung Woo. Dia mengangguk dan mengajak So Hee pulang. Saat, So Hee berdiri dan berjalan mendekati pintu. Kim San berkata, “Ah, aku lupa!”
Kim San meletakkan gelas yang berisi kopi dan  berdiri. Lalu, berjalan ke arah So Hee dan memegang tangannya.
            Lalu, menariknya ke dalam pelukan San.
            Kim Sa mengecup bibir So Hee dan berbisik dengan nada halus di telinganya.
“Satu hal lagi, mulai sekarang kau adalah kekasihku.”

            

Jumat, 22 Mei 2015

persabatan segitiga 5

 5
            Alan Payne terus mengamati apakah stasiun kereta sudah tiba atau belum. Mata tuanya sekarang membutuhkan sebuah kaca mata. Alan berbadan gemuk dan berpipi tembem dan berkulit sawo matang. Sambil meminum kopi dan roti yang menjadi kegemarannya. Alan terus memperhatikan apakah waktu untuk berhenti telah tiba atau tidak. Tiba-tiba dia menjatuhkan kopinya sendiri sehingga cairan itu mengenai baju kerjanya.
“Sial!” umpatnya perlahan.
Setelah itu, dia segera membersihkannya dengan lap yang ada di sana. Sambil mengumpat, masinis itu terus berusaha membersihkan bekas kopi yang semakin lama didiamkan, akan semakin susah pula untuk membersihkannya. Tanpa di ketahuinya kereta berbelok ke arah yang tidak seharusnya. Kereta itu melaju memasuki  rel bekas yang sudah tidak dipakai sebagai jalur kereta api lagi. Tapi, Alan terlalu asyik untuk tahu. Dia terus membersihkan bekas kopi dengan keras.
Saat itu, takdir bergerak dengan gerakannya sendiri. Bergerak sesuai dengan apa yang sudah ditentukan oleh pemiliknya. Takdir membuat kereta pergi ke tempat yang salah. Ke tempat yang tidak benar, tapi seolah-olah begitulah yang seharusnya. Semua orang di kereta, sama sekali tidak menyadari tentang gerakan takdir yang begitu lembut ini. Bahkan, tiga orang yang ditakdirkan untuk menerima takdir tersebut.
Ketika Alan telah selesai dengan pekerjaannya.
Dilihatnya stasiun kereta api telah tiba.
“Ah, akhirnya tiba juga..” katanya dengan lega.
Dia menekan salah satu tombol kereta dan pintu-pintu kereta terbuka.
#####
Sebelum kereta tadi berhenti dan Alan membuka pintu kereta. Muhammad Hakim Rasyid terduduk di pojok gerbong kereta. Dia tidak sedang berada di kereta jika dihitung dari pikirannya. Pikirannya sedang melayang-layang pergi entah kemana. Hakim hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. Di dalam gerbong, hanya ada tiga orang pria dengan dirinya. Hakim jarang sekali memperl ihatkan ekspresi sedih di wajahnya. Selama ini, dia selalu berusaha agar semuanya baik-baik saja. Bukan, karena Hakim sok tegar. Tapi, memang begitulah adanya. Kehidupan yang tidak mudah membuatnya bisa lebih tegar dari kebanyakan orang. Tapi, bahkan, dia juga manusia. Dia juga terkadang ingin bersedih dan mengeluarkan isi hatinya. Karena, itu dia senang sekali karena hanya ada beberapa orang di kereta. Jadi, dia bisa bersedih sesuka hatinya.
Tanpa dia sadari, mulutnya mulai mengucapkan perlahan-lahan penggalan-penggalan dari surat Yusuf:
“Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Qur'an) yang nyata (dari Allah).[1]
Hakim membacanya perlahan dengan rileks dan khusyu.
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.[2]
            Beberapa jauh dekat dengan Hakim. Christian Severe duduk sambil memejamkan mata. Kedua tangannya saling memegang satu sama lain. Dia bisa mendengar dengan jelas perkataan yang diucapkan oleh orang disampingnya. Sama jelasnya, dengan suara angin yang perlahan-lahan masuk lewat lubang kecil di kaca yang pecah. Juga, suara gesekan dua besi yang saling bergesekan di ujung gerbong kereta yang mereka naiki. Christian bisa mendengar semuanya dengan jelas. Sebenarnya, dia ingin sekali berada pada tempat yang sunyi dan senyap. Ketajaman pendengaran membuatnya bisa membuatnya mendengar apapun. Terkadang, kemampuan itu sangat menyebalkan. Tapi, pada akhirnya dia tidak mengatakan apapun. Dia hanya diam dan membiarkan semuanya terjadi begitu saja.
            Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.[3]
            Alfa Century hanya diam. Dia sedang tidak ingin marah, memaki, atau memukul siapapun. Sama, seperti pria yang kedua. Dia bisa mendengar ucapan-ucapan pria kurus itu meski tidak sejelas Christian mendengarnya. Alfa tidak mengerti apa ucapan-ucapan pria itu dan bersyukur karena tidak mengerti, setidaknya, dia tidak mendengar  nasihat-nasihat dari siapapun.
Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh."[4]  
Tiba-tiba Rasa ngantuk itu menguasai mereka. Sehingga mereka segera tertidur kembali di bangku stasiun. Karena alasan yang sama  mereka tertidur. Alasan lelah dengan masa lalu.  Masa lalu yang sama berat. Ini adalah awal dari pertemuan mereka dan ini juga adalah awal dari ikatan takdir mereka yang tidak bisa dilepaskan, kecuali oleh pemiliknya sendiri. 
Saat itu, mereka berpindah ke tempat lain. Bukan, lagi kota New York yang terkenal dan glamor itu. Mereka berpindah ke tempat lain, ke tempat yang sangat berbeda. Mungkin terdengar tak masuk akal dan mustahil. Mungkin terdengar seperti cerita-cerita dimana orang-orang berpindah ke dimensi lain. Tapi, jika Tuhan sudah menghendaki, hal-hal yang ajaib dan mustahil sekalipun, sangat mungkin terjadi.
Hakim masih sempat mengucapkan sebuah ayat dari surat Yusuf sebelum ketiganya tertidur dengan pulas.
“Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[5]



[1] Yusuf ayat 1
[2] Yusuf ayat 2
[3] Yusuf ayat 3
[4] Yusuf ayat 33
[5] Surat Yusuf ayat 34

wangja 26

26
            Kim San memegang bibirnya yang mengeluarkan darah.
            Salah satu dokter mendatanginya dan mengobati lukanya. Kim San sudah menceritakan semua kejadian yang terjadi dengan versi-nya sendiri, “Ketika aku masuk ke sana dan membeli beberapa hal yang kuperlukan. Tiba-tiba ada dua orang yang berpakaian serba hitam dan mengenakan sarung tangan serta tutup kepala masuk. Mereka menyuruhku untuk menempel ke dinding dan  saat itu aku berusaha melawan mereka. Kemudian, salah satu dari mereka saling menembak dan aku tak yakin apa lagi yang terjadi. Entah, perampok yang pertama akan menembak perampok yang kedua atau sebaliknya. Aku sama sekali tak tahu........” kata Kim San. “Tahu-tahu mereka sudah pingsan satu sama lain. Luka di tubuh saya ini karena tak sengaja terserempet peluru......”
            “Perempuan itu langsung ketakutan dan pingsan setelah mendengar tembakan.” kata Kim San dengan gemetar. “Tadi, dia akan memberikan uang pada para perampok itu. Pasti saat itu dia ketakutan setengah mati......”
            Hanya itu yang Kim San ceritakan dan sepertinya mereka percaya saja. Sebenarnya, justru sangat aneh jika mereka tak percaya. Mereka juga tampaknya percaya jika So Hee memang pingsan karena ketakutan dan  para perampok itu yang menghancurkan CCTV dan komputer.
Mungkin, karena para perampok itu ternyata sudah lama menjadi buron. Setelah itu, Kim San tidak memperpanjang lagi masalah dan berpamitan pada para polisi itu. Salah satu polisi mendekatinya dan berkata dengan serius, “Apa kasir wanita itu tidak apa-apa kami tinggalkan bersama Anda? Tadi, kami sudah menyuruh tim medis untuk mengobatinya. Tapi, karena kami tidak menemukan kartu identitasnya –mungkin dia lupa membawanya-  kami jadi tidak bisa mengantarkannya ke rumahnya.”
            “Ah, tidak apa-apa. Saya pikir lebih baik kami yang mengurusnya.....” kata Kim San. Polisi itu mengeangguk dan percaya saja  pada apa yang dikatakan Kim San. Karena, sudah Kim San menyerahkan kartu namanya padanya.
            Sebab, untuk para pemegang kekusaan sepertinya. Untuk melakukan sebuah tindakan kriminal harus berpikir beberapa kali, karena salah-salah hanya akan mencoreng nama sendiri. Mungkin, itulah yang dipikirkan polisi itu tentang Kim San. Sehingga dengan senang senang hati menyerahkan So Hee padanya
 Petugas medis sudah pergi, begitupula dengan para penjahat. Kim San mendekati mobilnya, sementara So Hee masih pingsan. Tapi, untungnya tak ada luka serius padanya. Kim San hanya memukul perut dan tengkuknya agar dia pingsan. Jung Woo berdiri memandangiku yang terluka, “Anda baik-baik saja?”
            “Ya. Aku baik-baik saja.” katanya.
            Kim San memegang beberapa luka di wajah yang sebenarnya dibuatnya sendiri.
            “Kenapa tidak bilang kalau kau menghajar mereka?”
            “Tak ada gunanya membuang-buang waktu. Yang penting mereka sudah tertangkap. Kalau aku tidak melukai diriku sendiri, mungkin mereka akan memikirkan kemungkinan jika aku yang menghancurkan rekaman CCTV dan mereka pasti akan mencari tahu kenapa aku melakukannya. Itu akan sangat merepotkan. Lebih baik, aku melukai diriku sendiri. Jika, nanti perampok itu sadar sekalipun dan mengatakan kalau mereka tidak menghancurkan CCTV. Kemungkinan polisi untuk percaya sangat kecil, karena aku terluka cukup parah saat polisi-polisi itu datang.” kata San.
Luka di bahunya sudah diberi obat pereda rasa sakit seperlunya dan diperban. So Hee kemudian bangun perlahan dan terlihat sedikit terkejut. Dia memalingkan wajahnya kesana-kemari seolah mencari informasi dimana dia saat ini.
            Matanya kembali menjadi seperti biasa.
            Setelah, sadar sepenuhnya. So Hee melangkah keluar dari mobil dan hanya melihat Kim San sebentar. Lalu, berjalan meninggalkannya. Badai salju sudah mulai turun lagi. Suhu juga sudah mulai turun sangat drastis. Mungkin, hanya beberapa derajat celsius. So Hee yang hanya mengenakan pakaian seadanya dan jaket berwarna hijau itu berjalan dengan terseok-seok. Mungkin, masih terasa agak sakit karena pukulan San.
            “Apa kau tidak berterima kasih padaku?”
            So Hee tidak mendengarkan, hanya terus berjalan.
            “Untuk sekedar  menyelamatkan nyawamu?”
            So Hee terus berjalan.  Kim San sudah memutuskan memanfaatkannya. Apa kalian pikir dia akan berhenti? Seperti, yang Jung Woo katakan. Saat dia memutuskan untuk menghancurkan seseorang, dia bisa menunggunya selama bertahun-tahun. Kim San akan melakukan apapun agar balas dendam ini tercapai sempurna.
            “Kau mau bekerja denganku?” kata San lagi. So Hee tidak mau meski hanya sekedar menoleh. Kim San kembali berkata dengan nada lebih kencang, saat itu mungkin sekitar pukul dua pagi. Semua orang sudah tidak ada di sini. Mungkin, sudah tidur dengan nyenyak di rumah mereka masing-masing. Kalapun ada yang lewat –baik dengan kendaraan atau jalan kaki- pasti tak akan mendengar saat dia berkata, “Kalau kau begitu ingin mati. Bagaimana kalau bekerja denganku saja?”
            So Hee berhenti, dia menolehkan kepalanya.
Mata keduanya bertatapan. Ya, Kim San  tidak memperlihatkan senyumnya lagi. Raut wajahnya menjadi serius dan dia tidak menyembunyikan kebenciannya lagi. Pada semua wanita. Kim San tidak menyembunyikan sifat aslinya lagi. Topeng orang baik yang selama ini dia kenakan. Sudah dia lepaskan.
            “Bekerjalah denganku...” katanya dengan nada dingin.
Angin musim dingin mulai berhembus dengan kencang mengantarkan, suara Kim San pada So Hee.
            “Imbalannya adalah kematianmu.”
            Kim San kembali mengulanginya perlahan-lahan, Jung Woo hanya bisa memandangi Kim San tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Tapi, Kim San sudah tidak memperdulikannya. Dia sekali lagi berkata dengan halus, tapi sangat tajam. “Bekerjalah padaku. Lakukan semua yang kusuruh dan sebagai imbalannya........”
“Aku akan membunuhmu....”


Senin, 11 Mei 2015

Persahabatan Segitiga 4

Bab 4
Christian Severe IV
Aku terbangun. Seperti biasa, hal pertama yang aku lihat adalah langit-langit kamarku yang berwarna putih. Aku tidak lantas terbangun. Kepalaku dipenuhi dengan berbagai rasa pusing karena semalam terlalu banyak minum alkohol. Aku memejamkan mataku sekali lagi agar rasa pusingnya sedikit berkurang. Kemudian, setelah beberapa saat aku kembali membuka mata dan dengan agak berat membangunkan diriku sendiri.
Aku terduduk di atas kasur.
Aku melihat ke arah samping kananku dan di sana. Ada seorang wanita yang agak cantik dengan rambut pirang panjang. Wajahnya cantik dan sepertinya dia seorang model. Sebagian tubuhnya tertutup selimut dan dia masih tertidur dengan pulas.  Di samping kiriku, ada seorang wanita lain. Wajahnya oriental dan sepertinya dia orang Cina atau minimal keturunan negara tirai bambu itu.  Sama seperti wanita tadi, dia juga berambut panjang dan sangat cantik. Aku memegang selimbut dan menutupkan sebagian tubuhnya dengan selimbut karena jika dia bergerak sedikit saja, pasti tubuhnya akan segera kelihatan.
Kemudian, aku berdiri di atas kasur dan berjalan perlahan lalu meloncat agar kedua wanita itu tidak terbangun. Yah, meski mereka hanya teman semalam yang baru kukenal. Tapi, tetap saja tak baik, jika aku membangunkan mereka. Aku mengambil sebuah mantel dan memakainya di tubuhku.
Hari ini, hari itu ya......
Di atas meja kecil di dekat jendela, ada satu gelas penuh jus jeruk dan dua buah roti hangat dengan telus di atasnya. Sementara itu, sebuah koran pagi yang masih terlipat berada di sampingnya. Di sampingnya, semua gorden sudah terbuka dan sinar matahari masuk ke dalam kamarku. "Pasti pekerjaan Honda....." kataku menyebut nama seorang laki-laki tua yang sudah merawatku sejak kecil.
Honda orang jepang, tapi, sudah mengabdi pada keluargaku selama bertahun-tahun. Selama ini, dialah yang selalu membantu dalam perusahaan –malah kadang aku berpikir bahwa dialah yang bekerja keras dan aku yang menikmati hasilnya. Tapi, kupikir dia tidak marah sedikitpun. laki-laki itu justru beragama kristiani yang sangat taat. Honda selalu berdoa sebelum pergi bekerja.
Aku masuk ke dalam kamar mandi dan membiarkan air dingin menyentuh kulitku yang putih bersih. Tinggiku seratus delapan puluh senti meter dan wajahku sangat tampan bak malaikat. Setelah selesai mandi, aku memakai pakaian sederhana –menurut standarku. Kemudian, melangkah ke meja tadi dan mulai memakannya perlahan-lahan. Setelah itu aku pergi dan sebelum meninggalkan kamar. Aku meletakan uang sebanyak beberapa ribu dollar di samping beberapa wanita yang tadi malam tidur di sampingku.
            “Terima kasih, ini untuk tadi malam.” kataku sambil pergi meninggalkan mereka yang masih tertidur pulas. Pelayan-pelayan rumahku tampak kaget melihat aku bangun lebih awal dari biasanya. Karena pada waktu normal aku baru akan bangun sekitar pukul dua  belas siang. Tapi, kali ini aku punya urusan sendiri. Aku mempunyai  sekitar seratus mobil dengan harga yang sangat fantastis. Karena hampir setiap bulan aku mengganti mobil yang lama dengan mobil yang baru. Jadi, jangan heran jika aku memiliki mobil yang sangat banyak dan mewah-mewah. Jika sudah bosan, terkadang aku membuangnya,
Aku menjalankan mobilku dengan kecepatan maksimum. Melewati jalan-jalan kota yang besar. Aku sama sekali tak peduli ada yang marah atau tidak ketika aku menyalip mobilnya. Aku hanya ingin pergi ke sebuah tempat yang sedang aku butuhkan. Jalan-jalan ketempat itu di penuhi oleh berbagai macam toko, mobil, polisi juga berbagai macam penghalang lainnya. Setelah melewati semua itu, aku telah sampai di tempat yang aku tuju. Tempat itu berlantai tiga dan memang sangat mewah. Di kacanya tertempel berbagai macam manik-manik yang berwarna-warni.
Tanpa banyak bicara aku masuk.
“Tuan Muda Severe, selamat datang ditoko kami!” kata seorang wanita gemuk centil yang kutahu namanya Jean Lynn. Selain,  gemuk dan centil, dia juga tidak pernah sadar akan dirinya sendiri dan berperilaku seolah-olah dia adalah wanita muda dengan bentuk tubuh ideal dan kecantikan bak miss universe. Wajahnya ditutupi make up tebal dan lipstick merah menyala yang membuatnya lebih terlihat menakutkan daripada disebut cantik.  Lebih dari itu, dia memaksakan diri mengenakan pakaian mini pada tubuhnya yang gendut dan malah membuatnya tampak seperti badut. Secara singkat, bisa kukatakan dia sama sekali tidak menarik.
“Anda mau melakukan apa hari ini?” tanyanya, tetap dengan nada yang membuat aku sama sekali tidak tertarik. Sepertinya dia sudah tahu bahwa aku akan datang ke sini dan membeli beberapa pakaian baru.
“Aku mau beli beberapa tuxedo, sepatu dan juga beberapa melati putih.” kataku tanpa tedeng aling-aling. Wanita menyedihkan itu tetap berusaha membuat aku terkesan.
“Baiklah……” katanya sambil mengedipkan matanya padaku. Lagi-lagi aku ingin muntah. Sambil menunggu barang yang kutunggu datang. Aku ‘merapikan penampilanku’ di salon yang sama dengan toko itu. Leslie Cauley adalah salah satu peƱata rambut favoritku. Bukan karena dia cantik. Tapi, karena dia orang yang tidak berusaha ‘sok mencuri perhatianku.
            “Seperti biasa?” tanyanya sambil tersenyum ramah. Aku membalas senyumannya dan mengangguk. Kemudian, duduk dan membiarkan dia merapikan rambutku yang agak berantakan. Setelah, selesai aku segera mengganti bajuku dan melangkahkan kakiku pergi ke bandara dimana pesawat pribadiku sedang menungguku, untuk membawaku pergi ke tempat yang jauh.......
#####
Tempat itu adalah sebuah lapangan terbuka. Sebuah padang rumput yang sangat luas dan megah. Beberapa rusa tampak berlarian kesana-kemari dan beberapa yang lain tampaknya sedang asyik mencari makanan. Tak ada siapapun di sini karena ini adalah makam pribadi keluargaku. Aku berjalan dengan tenang kemudian duduk menghampiri makam yang selalu terawat rapi dan bersih itu. Ada dua makam di sana. Yang satu, besar dan kokoh milik ayahku. Satu lagi yang lebih kecil milik ibuku.
Seperti juga hari-hari sebelumnya ketika aku datang ke sini. Aku hanya akan diam dan tak berbicara apapun. Hanya diam dan meletakan dua buah bunga ke makam mereka. Setelah itu aku akan pergi dengan  tenang dan kembali melakukan kegiatanku yang biasanya. Tapi, entah kenapa seperti ada menahanku ketika aku akan pergi. Seperti ada sebuah kenangan yang menahanku untuk menaiki mobil.
“Chris….”
Suara itu….
Ibu.
            Suara itu benar-benar menghipnotisku. Setelah itu, aku berjalan dengan kenangan itu membanyangi-bayangi kepalaku. Keluar dari pemakaman ayah dan ibuku. Berjalan tak tentu arah melewati berbagai macam orang dan bangunan kota yang mewah, tapi sama sekali tidak memperlihatkan keindahan yang menenangan hati.
Aku terdiam. Suara itu seperti memanggilku sekarang.
“Kita naik kereta yuk! Kamu belum pernah naik kereta kan?”
Aku terus berjalan dengan langkah lambat sampai aku menemukan apa yang kucari.
            “Stasiun kereta bawah tanah….”
            Aku berjalan dan turun kebawah. Tempat itu terasa gelap walaupun hari masih siang. Cahaya lampu menerangi tempat itu. Aku membeli sebuah karcis dengan asal. Kemudian masuk ke kereta dengan asal pula. Aku duduk dengan canggung karena inilah hari pertamaku naik kereta. Tak ada penumpang lain, kecuali dua orang pria. Kemudian seperti tersihir. Tiba-tiba mataku mengantuk dengan cepat. Tak lama setelah itu aku  tertidur dengan pulas.
            “Kamu ngantuk ya? Sini tidur di pelukan mama!”

Itulah hal terakhir yang kudengar sebelum akhirnya mataku tertutup. Aku sama sekali tidak menyadari jika saat aku telah masuk ke dalam kereta itu. Aku telah melengkapi sebuah takdir yang akan mulai bergerak dan mengikatku sampai kapanpun. Saat itu, Tuhan mulai menggerakkanku ke dalam takdir yang tak disangka-sangka. 

wangja 25

25
            Kim San melangkahkan kakinya ke dalam mobil. Setelah mengantarkan Min Ho pulang ke apartemen mereka. Kim San memutuskan untuk tidak tidur di sana malam ini. Kim San sedang tidak ingin melakukannya. Kim San sendiri tak tahu kenapa. Dia hanya sedang tidak ingin melakukannya.
Kim San masuk ke dalam mobil. Salju sudah mulai tinggi. Orang-orang yang lalu lalang   menjadi lebih sedikit jika dibandingkan hari-hari yang biasa. Suhu juga mulai bertambah dingin.
“Kemana?” tanya Jung Woo
“Ke tempat So Hee.” kataku. Jung Woo mengerti dan tidak banyak bicara lagi. Dengan cepat dia melajukan mobilnya. Kim San memandangi salju yang semakin lama  semakin banyak. Menutupi pohon-pohon, atap mobil, atap rumah, beberapa danau kecil menjadi beku dan terkadang menjadi tempat ice skating di waktu siang. Setelah, beberapa lama, keduanya sampai ke tempat yang dituju.
Kim San turun dari mobil dan berjalan perlahan masuk ke dalam mini market dimana So Hee bekerja. Kim San melihat So Hee bekerja semestinya. Seperti biasa, dia tidak mengatakan apapun dan hanya diam.
Kim San memperhatikan So Hee diam-diam sambil memilih barang-barang yang akan dia beli. Untung dia mengenakan sarung tangan hitam, sehingga tangannya tidak terlalu terasa dingin. Akhirnya, Kim San memutuskan membeli beberapa coke dan jus kalengan yang hangat.
Saat, dia akan membayar, tiba-tiba dua orang pria masuk ke dalam mini market. Wajah mereka ditutupi oleh topeng berwarna hitam dan Kim San sadar jika mini market akan dirampok.  Perampok pertama berbadan besar dan perampok yang masuk kedua berbadan lebih kecil. Tak ada siapa-siapa di mini market ini kecuali mereka berdua. Mana mungkin ada orang yang mau datang ke mini market saat malam sudah larut dan badai salju juga akan segera datang.
 Salah satu perampok langsung berteriak, “Angkat tanganmu!”
            Kim San mengangkat tangannya. Salah satu dari mereka mendekati San dan menyuruhnya membalikkan badannya, lalu memeriksa tubuhnya. Kim San menolehkan wajahnya dan saat itulah dia melihat So Hee.
 Setelah tiga tahun memperhatikannya, baru sekarang tatapan matanya sedikit berubah menjadi lebih bergairah...
So Hee tidak mengangkat tangan. Dia hanya diam. Matanya sama sekali tidak terlihat takut. Dia hanya diam di sana. Mungkin, kurang tepat jika kukatakan dia sedang melindungi uang majikannya. Lebih, tepat jika kukatakan, sedang membiarkan dirinya agar bisa dibunuh oleh perampok itu.
“Tembak aku.” katanya dengan manatap salah satu perampok itu. 
            “Kau mau uang?” katanya. “Kau hanya bisa mengambilnya setelah membunuhku. Aku tak akan membiarkanmu mengambilnya.”
            Perampok pertama kelihatan ragu. Saat perhatian perampok kedua teralihkan Kim San mendorong tubuhnya dengan punggungnya sampai dia terbentur tembok. Kemudian, Kim San berbalik dan saat perampok itu akan mengacungkan pistolnya. Kim San memukul lehernya dan membanting tubuhnya ke tanah. Kemudian, dia mengambil pistol itu dengan segera dan mengarahkan pada perampok yang pertama dan...
            DORR!!!
            Perampok pertama terbunuh. Kim San menembak tubuhnya, timah panas itu sekarang pasti sudah bersarang di jantungnya. Saat perampok yang kedua bangkit. Kim San langsung menembakkan timah panas di kedua kakinya. Dia tersungkur dan berteriak kesakitan. Kim San memukul wajahnya dengan sangat keras dan aku yakin cukup untuk membuat perampok itu pingsan. Kim San segera berlari ke tempat kasir dan menekan alarm tanda bahaya.
            Suaranya terdengar kemana-mana.
            Saat, aku pikir ini sudah berakhir, So Hee malah mendekati Kim San dan memohon dengan sangat, “Tembak aku! Aku ingin mati! Aku mohon....”
            Tanpa banyak berpikir, Kim San langsung memukul perutnya.
Brukk!!
            So Hee terjengkang kebelakang, Kim San tahu dia belum pingsan. Kim San segera menarik badannya dan membalikkan tubuhnya dan memukul tengkuknya dengan bagian bawah pistol. Tanpa waktu lama, dia terjatuh dan pingsan.
            “Mungkin, kau ingin mati. Tapi, aku ingin hidup.....” kata Kim San.
Jung Woo masuk ke dalam mini market dengan wajah terkejut.  “Bawa dia ke dalam mobil!” kata San.
Kim San lalu menembak kamera CCTV yang tersedia di mini market itu sampai hancur. Lalu, berlari sebuah pintu di ujung mini market dan masuk ke dalamnya. Seperti yang  Kim San duga, ada komputer di sana. Kim San segera membantingnya dan menembaknya sampai hancur. 
Tak ada yang boleh tahu apa yang telah aku lakukan. Itulah yang sedang dia coba lakukan.  Karena, jika, mereka melihat CCTV ini, mereka akan tahu jika Kim San-lah yang membunuh salah satu perampok itu. Kim San juga tak ingin membiarkan So Hee dibawa ke penjara. Tidak boleh, meski hanya untuk satu menit sekalipun. Tidak boleh meski hanya untuk menginterogasi sekalipun.
            Dia milikku.
            Kim San segera kembali ke mini market. Kim San tahu, untung dia memakai sarung tangan sehingga sidik jarinya tidak akan kelihatan. Dia mengarahkan pistol itu ke bahu kirinya. Lalu, timah itu menyerempet kulitnya.
DORR!!!
Darah mulai mengucur dari sana.
Setelah itu, Kim San melemparkan pistol itu ke  dekat salah satu perampok. Lalu,  dia memukul dirinya sendiri dan merobek pakaiannya. Lalu, melepas sarung tangannya dan menyembunyikannya di dalam jaketnya. Sekitar, lima belas menit kemudian, dua unit mobil polisi datang ke mini market itu.
“Apa yang telah terjadi?” tanya salah satu dari mereka dengan tekejut. Polisi yang bertanya itu adalah seorang pria dengan badan kecil dan rambut yang sudah botak. Sementara, polisi lain berwajah lebih muda. Tapi, mereka semua sama terkejutnya.
Karena, di hadapan mereka ada dua orang pria dengan penutup wajah yang terkapar di lantai. Sementara, seorang pria dengan pakaian sobek dan badan yang terluka berdiri di tengah mini market. Tangan dan wajahnya terluka. Bahu kirinya mengeluarkan darah.
“Tuan.. apa yang telah terjadi?” tanya polisi botak itu. Dia mendekat ke arah Kim San yang gemetar dan ketakutan.
“Aku...sedang berbelanja....” kata Kim San dengan nada takut dan terkejut yang nyaris sempurna. “Tapi.... kemudian... tiba-tiba ada perampok datang.... aku tak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba mereka saling tembak.....”
“Aku ketakutan......”

Di dalam pria yang ketakutan itu, sebenarnya tengah berdiri iblis yang tengah tersenyum. Tidak, mungkin lebih tepatnya iblis yang tengah kegirangan karena menemukan tokoh lain yang pas untuk melengkapi rencananya.