baru

Sabtu, 11 Juli 2015

My Secret Hotel

My Secret Hotel
            Salah satu hal yang paling gua suka adalah pembunuhan.
            Tentunya bukan pembunuhan beneran, ya. Gua suka novel, film, komik termasuk drama-drama dengan tema misteri pembunuhan. Menarik aja dan bikin otak gua yang suka males mikir ini untuk bergerak buat biar mau mikir. Siapa pembunuhnya? Gimana cara dia bunuh? Apa alasan dia bunuh?
            Makanya, setiap kali nonton drama, film, novel atau komik. Gua suka milih yang temanya pembunuhan atau misteri. Termasuk waktu gua mutusin buat nonton drama ini. Judulnya, My Secret Hotel. Karena, gua mulai jenuh dengan tema drama korea tentang cinta yang udah ga tonton berulang kali (alasan gua nonton drama cinta-cintaan itu karena gua bosen nonton drama pembunuhan/misteri hahahaha......)
            Beberapa drama misteri emang udah sering gua tonton. Kalo buat penggemar drama korea. Lo bisa tonton Sign, yang maen Park Shin Yang sama Kim Ah Jung. Ceritanya tentang dokter forensik. Gua tertarik karena dulu pernah pengen banget jadi dokter forensik. Menurut gua frofesi itu keren. Terus, ada drama Dr.Frost, ceritanya tentang pembunuhan tapi temanya lebih ngarah ke psikologi. Ini juga keren. Selain itu, ada You Are All Surounded (bener gak nulisnya?), I Hear Your Hoice sampe Vampire Procesutor.
            Waktu baca sinopsis My Secret Hotel juga, gua murni tertarik sama alurnya. Ceritanya tentang Nam Sang Hyo (diperanin Yo In Na) yang kerja jadi wedding organizer gitu di hotel Secret. Di sana dia punya bos namanya Seom Gyum (Nam Gong Min). Nah, di sini dia ketemu sama mantan suaminya. Namanya Go Hae Young ( Jin Yi Han) yang mau nikah sama cewek namanya Soo Ah (gua gak tau nama aslinya, sorry).  Pertamanya dia gak mau, tapi karena Hae Young-nya keukeuh. Terpaksalah dia nurut, apalagi ada rumor kalo nikah di hotel secret cuma bakal bertahan 3  bulan. Sang Hyo gak mau kalo rumornya tambah nyebar.
            Tap, pas Hae Young mau jalan ke altar. Ada mayat jatuh pas di depannya.
           
            Udah pasrah terpaksa kawin karena dijodohin
           
            tahunya ada mayat jatoh. Untung gak ketiban ya hahah.....
            Dimulailah penyelidikan siapa yang membunuh Hwang Dong Bae (yang mati ini, tapi emang dia juga jahat sih. Gua jadi ga simpati).
Yang bikin gua tertarik sama drama ini adalah karena pembunuhannya yang beda. Bukan diracun atau ditusuk. Tapi, jatuh dari atap dan tepat di depan si pengantin. Gua pernah nonton Ghost juga bgini dan menurut gua keren juga.
Scene yang bikin gua tertarik nonton drama ini.
Dan yang bikin seru adalah ternyata hampir semua orang di hotel ini juga punya rahasia masing-masing. Kita diajak buat nerka siapa si pembunuhnya bergilir. Pertama dari Hae Young, terus ke pegawai Hotel Secret juga.  Mulai dari Eun Joo, Sum Gyum terus sampe ke Dong Min Dll. Selain itu, juga ada misteri pembunuhan bapaknya Sum Gyeom yang belum terpecahkan selama puluhan tahun dan berhubungan sama pembunuhan Hwang Dong Bae.
Tapi, ada beberapa hal yang bikin gua kecewa nonton drama ini.
Pertama, waktu baca sinopsisnya, kirain gua bakal nemu drama pembunuhan yang lebih menegangkan dan bikin gua mikir. Tapi, ternyata lebih banyak scene cinta segitiganya Sang Hyo- Hae Young- Sum Gyeom yang bikin gua bosen sendiri. Semakin ke sini fokus drama makin ilang dari pembunuhan dan bikin pembunuhan itu cuma tempelan aja. Malah gua ngerasanya kayak ada dua drama dalam satu drama. Pembunuhan sama cintanya kepisah jadi dua. Pembunuhan yang diselidiki sama Kim Geum Bo. Sama cinta segitiganya Nam Sang Hyo.
Kedua, peran Sang Hyo di sini cuma buat liat pembunuhannya aja (di pembunuhan kedua pingsan malah). Sang Hyo gak ikut nyelidikin (atau gak sengaja nyelidikin) dan bikin dia tahu siapa pembunuhnya. Padahal, itu yang gua tunggu. Kirain Sang Hyo bakal jadi detektif dadakan dan bantu polisi buat nyari tahu pembunuhnya.
Ketiga, mendadak ada rahasia kelahiran Sang Hyo yang bikin gua bingung sendiri. Kok tiba-tiba muncul ini? Apa urusannya?
Begitu. Tapi, yang paling bikin gua kecewa ya tadi. Cinta segitiganya terlalu dieksplor. Gua gak keberatan kok kalo ada cinta-cintanya. Soalnya, beda sama J-Dorama atau Drama Amerika. Salah satu hal hampir selalu ada di setiap drama korea dengan tema apapun. APAPUN. Pasti ada cinta segitiga, segi empat bahkan segilima yang kadang ribet dan bikin pusing. Cuma kalo jadi tempelan aja, ngapain diadain?
Nilai gua, 7 dari 10.
Udah Review-nya, di bawah ini cuma tambahan doang...
            Seperti, yang gua bilang. Gua nonton drama ini emang murni karena ceritanya dan bukan karena aktrisnya. Soalnya, cast-nya juga gak ada yang gua suka. Yo In Na emang imut sih meski udah kepala tiga. Tapi, dia bukan aktris favorit gua dan gak bikin hati gua klepek-klepek juga hahaha..... Padahal, gua udah sering liat dia di drama. Dari jaman Secret Garden malah. Tapi, ya gitu, hatiku tak tersentuh kecantikanmu Yo In Na-ssi hahahah....
Nam Gong Min juga bukan (aktor korea favorit gua sih macam Ji Jin Hee, Kim Myung Min, Jung woo Sung yang kharismanya kuat dan menurut gue mereka keren). Gua udah sering nonton dia di drama dan dia juga gak bikin gua kagum. Paling yang bikin gua kaget adalah fakta kalo ternyata umurnya udah 37.  Padahal, kirain masih 27-an atau paling tua 33-lah. Soalnya, selalu jadi second lead dan gak pernah dapet peran utama. Kirain gua dia masih aktor ‘baru’ (Baru di Korea beda lo ya sama ‘baru’ di Indonesia. ‘Baru’ di sana bisa udah tiga malah kadang lima tahun debut. Kalo di Indo kan paling berapa bulan paling lama juga setaunan)  jadi kan wajar kalo belum dapet peran utama. Begitu pikir gua.
Sekarang sih gua gak tahu mau nonton apa lagi. Sempet tertarik sama dorama Death Note. Cuma gak yakin bakal liat atau enggak. Soalnya, gua udah baca manga sama nonton filmnya. Gua bukan takut jelek sih, cuma takut bosen. Malah gua agak tertarik nonton dorama Nobunaga No Chef. Semoga aja bisa nonton...
Atau ada yang mau ngasih saran?
Anyway, udah ya.

 Gua log out.

Minggu, 21 Juni 2015

Puisi #1

Cinta mencintaimu adalah mengalami
membiarkan hati terpana melihatmu
membiarkan mata menatap hati

Senin, 25 Mei 2015

Persahabatan Segitiga 7

 7
Alfa menarik tangannya dengan keras dan mendengus kesal. Lalu, melangkah pergi menjauh. Hakim terjatuh ke  tanah dan memegang lehernya yang sesak. Dia menarik nafas perlahan-lahan, berusaha agar aliran nafasnya kembali normal. Tiba-tiba seorang anak kecil dengan rambut dikuncir dua dan wajah penuh dengan bintik merah yang sejak tadi bersembunyi dibalik tubuh besar Chris keluar.
“Kau tidak apa-apa?” tanya anak itu.
Hakim mengangguk.
Hakim berdiri perahan-lahan dan dia bertanya pada anak kecil itu. “Apa kau tahu dimana kami sekarang?”
“Siapa namamu?” tanya Hakim tanpa menunggu jawaban dari anak kecil itu. 
“Lisa Hamsworth.” katanya dengan lugu. Chris-lah yang tadi berteriak. Untung saja, Christian tadi berteriak sehingga Hakim juga bisa terselamatkan. Matahari sudah mulai menggelincir perlahan-lahan. Tiba-tiba seorang ibu berbadan gemuk datang tergopoh-gopoh ke arah mereka. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran yang sangat.
“Lisa! Bukankah, sudah kukatakan agar tidak keluyuran!” teriaknya.
Anak kecil itu hanya menggelengkan kepalanya sambil cemberut dan menggelengkan kepalanya. “Tapi, Bu! Ini bahkan belum sore.” katanya dengan tegas dan keras. Ibunya menatap mereka berdua dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Apa kalian baru datang?” tanyanya. Hakim mengangguk dan Chris hanya diam. Masing-masing mereka sama-sama menyadari jika baru mereka berdualah manusia yang mereka temui di tempat ini. Dimana tempat ini? pikir mereka lagi. Tapi, ketika Hakim akan bertanya lagi kepada mereka. Tiba-tiba saja ibu itu sudah melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka.
Chris masih sempat mendengar anak kecil bernama Lisa itu berkata, “Tapi, ini baru akan sore. Apa kau pikir mereka akan datang?”
#####
            Malam sebentar lagi akan datang. Bagaimanapun, mereka belum mendapatkan transportasi untuk bisa pergi dari kota ini. Karena, tak ada satupun orang yang mereka temui kecuali dua orang ibu dan anaknya tadi. Chris berjalan seorang diri sementara Hakim juga sudah berpisah dengannya. Bagaimanapun, masing-masing mereka tidak saling mengenal dan tidak ada alasan bagi mereka untuk bepergian bersama.
            Alfa Century sudah akan mabuk karena terlalu banyak minum bir yang dia ambil secara paksa dari beberapa mesin minuman yang ada di seberang jalan. Mesin-mesin itu rusak karena dihajar olehnya.  Bagi Alfa, dia tidak terlalu memikirkan apakah di tempatnya sekarang ada manusia atau tidak. Bukannya dia tidak memperhatikan, tapi, dia benar-benar tidak perduli.
            Malam mulai menjelang dan bintang-bintang tampaknya enggan keluar memperlihatkan dirinya. Bahkan, bulan yang biasanya ada, pada akhirnya hanya bersembunyi di balik gelapnya malam. Menyelimuti dirinya sendiri dengan kegelapan sehingga tidak bisa dilihat oleh siapapun. Bangunan-bangunan tampak gelap dan kosong. Beberapa kaca sudah pecah dan sama sekali tidak terurus. Sampai detik ini,  Alfa tidak bertemu dengan siapapun.
            Christian Severe IV memejamkan mata di kursi yang berada di halte bus. Dia tidak sedang melakukan apa-apa. Hanya diam dan mendengarkan. Chris sedang tidak ingin untuk mabuk dan dia juga tidak ingin bermain dengan wanita manapun. Alasannya sederhana, karena semua barang-barangnya tertinggal di dalam mobil dan dia tidak membawa apapun kecuali pakaian yang dikenakannya sekarang.  Tak ada suara apapun atau siapapun. Hanya dirinya dan kegelapan. Karena, menurutnya hanya itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan sekarang. Hanya diam dan menunggu.
            Perlahan-lahan tapi pasti dirinya mulai mendengar sebuah suara......
            Di tempat lain, Muhammad Hakim Rasyid mengangkat kedua tangannya sambil mengucapkan takbir dan kemudian rukuk dengan punggung tegak dan rata seperti yang diajarkan hadis nabi. Matanya melihat ke arah tempat sujud dengan patuh dan tunduk pada Yang Maha Kuasa. Hakim melaksanakan sholat maghrib dengan beralaskan koran bekas di sudut kota itu. Hakim sudah berusaha mencari mushola hanya saja sampai sekarang dia belum menemukan tempat lain untuk sholat. Akhirnya, dia mengambil sebuah koran yang masih bersih tapi sepertinya dibuang pemliknya. Lalu, menghamparkan di atas jalalanan dan sholat di atasnya.
            Pikiran Hakim sedang tertuju pada-Nya.
Hanya pada-Nya.
Tak menyadari jika sejak malam itu, takdir mereka bertiga benar-benar telah terikat dalam sebuah ikatan yang mungkin tidak akan bisa diputuskan oleh siapapun kecuali  Pemiliknya.
Woo ternyata masih tetap berdiri di belakang Kim San tanpa sedikitpun bergerak. Kim San sendiri tidak terlalu perduli hal itu dan terus menikmati kehangatan yang muncul akibat dari kopi yang diminumnya.

            Jung Woo tiba-tiba berteriak, “Kenapa kau berbeda sekali dengan So Hyun? Kenapa kau begitu jahat”

            Kim San membalikkan badannya dan sekali lagi mereka saling berhadapan.

wangja 28

28
            Kim San sekali lagi memandangi kota Seoul yang kini terkubur salju. Kim San meneguk perlahan-lahan kopi hangat yang dari tadi masih belum habis. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya, berdiri memandangi pemandangan dari apartemennya. Hanya tinggal beberapa langkah lagi dan semua rencananya akan berhasil. Aku bertanya-tanya apa yang harus kutulis sekarang.......
            Selalu ada jeda saat kisah akan mencapai klimaks.
            Mungkin, inilah saat aku perlu memberikan jeda bagi kisahku.
            Bahkan, di sini, saat kutuliskan kisah ini. Langit kembali mendung. Dulu, aku sering bertanya-tanya dimana sebenarnya hal yang bisa membuat kita bahagia. Aku sama sekali tidak mengetahui hal itu. Ada kalanya, aku merasa semua yang aku lakukan sia-sia dan jalan yang ingin kutempuh semuanya tertutup. Saat itu, aku bertanya-tanya dimana jalan keluar sesungguhnya.
            Tapi, mungkin, memang perlu waktu dari segala sesuatu. Jalan satu manusia dengan manusia yang lain. Berbeda. Tidak sama dan tidak akan pernah sama. Kim San juga sama, dulu dia mencoba segala hal agar bisa keluar dari rumah dan semua hal itu sama sekali tidak ada yang berhasil. Semua jalan itu tertutup. Seolah-olah dia akan tertahan selamanya di sana.
            Kemudian, jalan itu akhirnya terbuka dan mungkin seolah-olah balasan karena semua jalan yang tertutup dulu, sekarang nyaris semua yang Kim San ingin lakukan, bisa dia kerjakan.
            Lamunan Kim San terganggu karena Jung Woo masuk ke dalam apartemen. Dia menundukkan badannya, “Aku sudah mengantarnya seperti permintaan Anda.”
            “Bagus. Kau boleh pulang.” kata San.
            Ayah Kim San, pasti akan marah besar jika dia tahu apa yang sudah Kim San lakukan untuk sampai ke tahap ini. Kim Jo Myung pasti akan menghalangi San untuk melakukan balas dendam ini. Jo Myung adalah pria yang baik. Dia mempercayai adanya balasan atas kebaikan dan keburukan yang manusia kerjakan. Bahkan, Kim San yakin meski dia mengatakan balas dendam ini untuk ayahnya. Kim San yakin ayahnya tetap akan melarangnya. Apalagi, jika dia tahu Kim San telah menjadi iblis demi balas dendam ini. Tak ada lagi rasa kasihan dan ampunan.
            Dia akan menghancurkan Park Jae Seong, Choi Jin Hee dan juga anak mereka.....
            Park Min Ho.
            “Apa yang akan kau lakukan pada So Hee?” tanya Jung Woo.
            “Memanfaatkannya.” kata Kim San pendek.
            “Ta...tapi.....” kata Jung Woo perlahan dengan tatapan menunduk ke lantai. “Saya kira Anda merasa simpati padanya.”
            “Simpati? Apa kau gila?” kata Kim San.
            “Lalu, kenapa Anda menunggunya selama tiga tahun? Mengikutinya, setiap kali dia pindah? Saya pikir, Anda merasa simpati padanya dan ingin membuatnya tatapan matanya yang penuh dengan keinginan untuk mati itu berubah?”
            Kali ini, Kim San membalikkan badannya dan meletakan cangkir kopi ke atas meja.
            “Kalau begitu kau salah paham.....” kata Kim San sambil menyilangkan kedua lengannya di dadanya. Kim San kemudian melanjutkan perkataannya yang belum selesai, “Aku menunggu So Hee selama tiga tahun untuk memastikan jika tatapan matanya tidak berubah. Jika, dia tetap ingin mati sampai kapanpun. Aku bisa memanfaatkannya untuk menjadi kambing hitam sesuka hatiku.  Dengan begitu, dia tak akan berhianat padaku. Menjadikan orang baik sebagai pionku sangatlah merepotkan. Karena, mereka pasti akan menggagalkan rencanaku.”
“Kalau saja, hatinya berubah karena cinta. Maka, aku tak akan menggunakannya karena hal itu akan merusak rencanaku. Karena, dia pasti tidak mau melakukan semua yang kuperintahkan padanya. Tapi, jika dia tetap ingin mati dan depresi seperti sekarang. Dia -dengan senang hati- akan menuruti keinginanku dan tidak akan pernah lagi memperdulikan apapun di dunia ini. Sebab, satu-satunya tujuan hidupnya adalah mati.”
            Jung Woo gemetar.....
            “Kenapa? Apa kau selalu takut padaku?”
            “Ya.” akunya. “Kau benar-benar menakutkan.”
            Kim San mengambil kembali kopi dan meneguknya perlahan-lahan. Kemudian, melihat  kembali pemandangan kota Seoul yang dingin berselimut salju. Jung Woo ternyata masih tetap berdiri di belakang Kim San tanpa sedikitpun bergerak. Kim San sendiri tidak terlalu perduli hal itu dan terus menikmati kehangatan yang muncul akibat dari kopi yang diminumnya.
            Jung Woo tiba-tiba berteriak, “Kenapa kau berbeda sekali dengan So Hyun? Kenapa kau begitu jahat”

            Kim San membalikkan badannya dan sekali lagi mereka saling berhadapan.

Minggu, 24 Mei 2015

Tentang Persahabatan Segitiga #1

Mungkin, bagi kalian yang baru atau udah lama datang mengunjungi blog ini. Pada bertanya-tanya, apa sih persahabatan segitiga itu? Apa itu novel orang lain yang publikasikan di blog? Apa itu catatan harian? Pengalaman?
Jawabannya, itu adalah novel pertama saya.
Persahabatan Segitiga adalah sebuah novel yang saya tulis sekitar tahun 2010. Bisa dibilang novel ini sudah balita. Umurnya sudah lima tahun dan sebentar lagi  akan berusia enam. Sebuah kisah yang punya nilai tersendiri bagi saya. Mengingat itulah novel pertama yang saya tulis, novel yang membuat saya benar-benar merasa sebagai seorang penulis.
 Kisahnya bercerita tentang persahabatan tiga orang pria. Seorang mahasiswa miskin, seorang pria kaya raya dan seorang mafia jalanan (istilah yang saya ambil dari komik favorit saya). Tiga orang pria yang kesepian, yang memiliki masa lalu gelap dan  berusaha saling mengisi satu sama lain. Tiga orang pria yang memiliki jurang perbedaan yang besar, tapi justru perbedaan itu yang membuat mereka saling terikat satu sama lain.
Persahabatan segitiga sendiri adalah sebuah awal dari pentalogi yang ingin sekali saya tulis. Sampai sekarang, (baca: tahun 2015) saya baru menulis buku keduanya. Meski, di kepala saya sudah memiliki alur yang (nyaris) sempurna tentang kelima buku itu. Tapi, akhirnya saya tak pernah bisa menuliskannya. Ada banyak keraguan yang membuat saya selalu merasa enggan untuk melanjutkannya.
Jika, Anda membaca kisah ini. Mungkin, Anda akan melihat beberapa kelemahan dan bertanya-tanya. Kenapa novel ini seperti ditulis penulis baru? Jika, ada pertanyaan sepetri itu. Jawabnnya  adalah karena saya memang berhneti untuk memperbaikinya. Novel ini sudah saya perbaiki dan edit berulang kali. Kalau bukan karena saya takut, kisah ini akan berubah. Mungkin saya akan terus memperbaikinya.
Namun, terkadang kesempurnaan ada ketika tidak sempurna, kan?
Ada banyak hal yang ingin saya tulis di sini. Begitu, juga tentang Wangja. cerita lain yang saya publikasikan lewat blog ini. Tapi, pada akhirnya, untuk saat ini. Hanya sebatas ini yang bisa saya tulis. Saya harap Anda menikmati apa yang saya tulis dan mau membacanya sampai akhir.
Sebab, terkadang suatu kisah menjadi bermakna, ketika ada yang membacanya.

                                                                        Salam hangat dari saya, C. A. K

Persahabatan segitiga 6

 6
Alfa Century
Aku bertanya-tanya, apa ini benar stasiun yang harusnya kudatangi? Tempat ini agak sepi dan sama sekali tidak ada orang. Stasiun ini bentuknya sama saja dengan stasiun bawah tanah lainnya. Mungkin, perbedaan besar yang terlihat  hanya jika di tempat lain ada orang. Sementara di sini, sama sekali tidak ada orang. Aku memalingkan wajahku dan sadar jika kereta telah menjauh.
Aku tidak ingin banyak bicara dan  hanya berjalan menaiki tangga menuju keluar dari tempat ini. Di belakangku, ada dua orang yang sama sekali tak kukenal. Tapi, sepertinya mereka juga naik gerbong kereta yang sama denganku. Aku tidak tahu kemana orang-orang dan tidak perduli dimana ini. Memangnya, kami akan berada dimana? Aku juga tak tidak terlalu memikirkan jika tadi sama sekali tidak ada seorangpun yang meminta karcis padaku. Memangnya, apa perduliku?
Aku berjalan perlahan-lahan dan melihat berbagai macam poster rusak menempel di dinding. Siapa yang berada di sini? Nampaknya, stasiun ini sama sekali tidak dibersihkan. Aku mengambil sebatang rokok dari sakuku dan pemantiknya. Aku memasukkan rokokku perlahan-lahan ke dalam. Dari luar, aku melihat seberkas cahaya yang agak terang. sebentar, lagi, aku akan segera keluar. Entah, aku berada di mana. Tapi, aku pasti akan menemukan jalan pulang.
Matahari sepertinya sudah kembali ke tempat asalnya. Tapi, saat aku melihat ke sekelilingku. Aku bertanya-tanya, dimana aku?
#####
            Rokokku yang baru kuhisap jatuh ke lantai.
            Aku berusaha melihat ke sekelilingku. Tempat yang kutahu ini memiliki banyak toko yang berderet dengan berbagai tulisan di depan pintu. Jalanan kota ini tampak cukup lebar, tapi ada beberapa lubang di beberapa sudut. Sampah daun dan plastik berjatuhan di bahu jalan. Satu-satunya hal yang tak ada ada adalah manusia.
            Ya, manusia.
            Tak ada satupun orang di sini.
            Dua orang yang tadi ikut naik kereta denganku. Akhirnya, sampai juga di atas dan –sepertiku- mereka juga tertegun. Aku sama sekali tak suka dekat dengan mereka. Jadi, aku melangkah perlahan menjauhi mereka. Lagipula,  memangnya aku akan berada dimana?  Pasti tak akan jauh-jauh dari New York.  Aku mengambil kembali sebatang rokok lagi dari sakuku.
             Bangunan-bangunan di sini tampak aneh di mataku.  Beberapa bangunan tinggi dan megah. Tapi, sama sekali tidak setinggi New York. Mungkin, lebih mirip bangunan-bangunan yang ada di pinggiran kota. Tapi, seperti tempat yang tadi, lagi-lagi tak ada orang di sini.  Saat, aku akan menyalakan pemantikku, tiba-tiba saja tubuhku terbanting ke belakang dan rokokku lagi-lagi terjatuh.
            “Berengsek!” kataku.
            “Awas!” teriak seseorang dan tak lama kemudian, suara pistol menggelegar begitu saja.
            Dorr!!!
            Langit berwarna biru dengan sedikit awan yang berwarna putih.
            Sejujurnya, aku membayangkan secangkir kopi latte yang enak dengan sedikit hiasan indah di atasnya. Kopi apa yang akan kubuat? Entah, aku bukan seorang barista yang hebat. Meski, aku cukup memahami bagaimana cara membuat kopi yang enak. Mungkin, aku akan membuat kopi dari Pulau Sumatera yang terkenal itu? Ah, tidak, mungkin lebih baik kopi dari luwak saja. Kopi seperti itu memiliki banyak sekali variasinya.
            Suara tembakan kembali terdengar. Khalayanku tentang kopi  menghilang dan insting liarku bangkit. Aku menjauhkan badannya dariku dan sempat mengumpatnya dengan keras. Kebencian dalam diriku kembali bangkit dan aku melihat asal tembakan itu. Seorang pria berdiri di kejauhan.  Tangannya memegang senpaan laras panjang dan tanpa ragu mulai menembaki kami tanpa ragu. Aku tak perduli dengan pria itu, aku berlari menghindari pria dengan senapan itu dan laki-laki yang tadi menyelamatkankupun ikut berlari menghindar.
Aku bersembunyi di salah satu sudut dan menunggu jika ada tembakan lain akan datang. Instingku membuatku bergerak dengan cepat tanpa perlu terlalu banyak berpikir. Tapi, saat aku melihat kedepan untuk melihat wajah pria itu.
Dia menghilang.
Aku  bangkit perlahan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya pria kurus yang tadi menyelamatkanku. Aku melihat wajahnya dengan tatapan kebencian.  Aku menarik tubuhnya yang kecil dan mengangkatnya dengan satu tangan. Lalu, membenturkan tubuhnya yang kecil ke dinding di dekat sana. Mataku penuh dengan kebencian menatapnya.
“Apa yang kau lakukan?” teriakku.
“A...aku... aku hanya berusaha menolong...” kata pria kurus itu dengan tatapan yang terlihat ketakutan. Tangannya gemetar. Aku mengarahkan tinjunya ke arahnya, tapi sebelum tanganku menyentuh badannya. Tiba-tiba sebuah tangan lain memegang tanganku dan menahannya dengan kuat.
Aku menatap tangan orang yang melihatku dan seorang pria dengan tinggi yang hampir sama denganku. Badannya juga tak kalah besar dengan badanku. Wajahnya tampan dengan mata berwarna biru. Dia menatapku dengan tangan menahan tanganku agar tidak mengenai pria kurus ini.

“Bukankah, dia telah menyelamatkanmu?” katanya. 

wangja 27

27
            Untuk pertama kalinya sejak tiga tahun. Tatapan mata So Hee menghujam langsung ke arah Kim San. Untuk kali pertama, mereka benar-benar bertatapan. So Hee berjalan ke arah Kim San. Aku tak tahu apakah itu perasaan benci atau memang begitulah cara So Hee menatap orang. Tapi, sama sekali tak ada keramahan ataupun senyuman pada wanita itu.
            “Apa kau yakin bisa melakukannya? Karena, aku sudah melakukan segala cara untuk membunuh diriku. Tapi, selalu saja ada yang menggagalkannya. Apa kau yakin bisa melakukannya?” tanya So Hee.
            Kim San hanya tersenyum menakutkan, “Kau mau kubunuh sekarang?”
            So Hee tahu jika apa yang dikatakan pria yang baru dikenalnya itu adalah serius.
#####
            So Hee duduk berhadapan dengan Kim San. Sementara, Jung Woo berdiri di samping San. Mendengarkan semua yang dikatakan Kim San dan menuruti semua perintahnya. Mereka sedang berada di apartemen San. So Hee sedikitpun tidak menyentuh kopi yang sudah dibuat Jung Woo.
            “Pekerjaan apa yang mau kau tawarkan padaku?”
            “Kau hanya perlu hidup sampai musim dingin berakhir.” kata Kim San.
            “Apa maksudmu?”
            Kim San tidak langsung menjawab. Dalam hatinya, ada sedikit perasaan aneh melihat So Hee bicara sebanyak itu. Selama ini, So Hee tak pernah sekalipun memperlihatkan emosinya. Tak pernah berbicara sebagai seorang manusia, So Hee yang dikenal Kim San adalah So Hee yang bukan manusia. Melainkan, hanya seorang kasir.
            “Begini, sebentar lagi aku akan menjadi penguasa penuh dari perusahaan dimana aku bekerja sekarang. Tapi, salah satu syarat utamanya adalah harus bersih dari korupsi uang perusahaan.” kata Kim San. Kemudian, dia kembali melanjutkan, “Sayangnya, aku sudah mengkorupsi uang perusahaanku sejak aku pertama kali bekerja di sana. Jika, sampai hal ini diketahui pihak perusahaan. Bukan, tak mungkin, aku akan langsung dipecat dan rencanaku untuk memiliki perusahaan akan hancur.”
            Kang So Hee hanya menatap San.
            “Jadi, kau yang harus menggantikanku. Kau harus menjadi karyawan di perusahaanku dan saat waktunya tiba. Aku akan membuat rangkaian cerita dan bukti palsu yang mengatakan jika kaulah yang melakukan semua pekerjaan kotor dan membuat perusahaan rugi.”
            “Tapi...” kata So Hee perlahan-lahan. “Aku tidak bisa bekerja kantoran.”
            Kim San menatapnya datar, “Kau tak perlu bekerja di sana. Kau hanya harus menjadi pegawai di sana. Aku akan membuat semua yang kau perlukan. Kau tidak perlu datang ke kantor. Tidak perlu bekerja. Kau hanya harus hidup sampai musim dingin ini berakhir. Setelah itu.......”
Kim San menatap Jung Woo dan langsung mengangguk mengerti.
Dia membawa sebuah koper dari kamarku dan membukanya. Ada sepucuk pistol di sana. Jung Woo menjelaskannya dengan singkat, “Ini revolver. Senjata api dimana peluru dimasukkan kedalam tabung berputar. Ini adalah revolver dengan kaliber 44 berisi 7 peluru. Kau tak perlu mempelajari untuk menggunakannya. Kau hanya perlu menembaknya maka semua peluru akan keluar dengan otomatis.”
            “Apa ini akan menjadi milikku?” tanya So Hee.
            “Ya..” kata Kim Sam sambil mengangguk. “Terserah kau mau siapa yang melakukanya. Kau, orang lain atau bahkan, aku sendiri akan melakukannya dengan senang hati. Atau kau mati dengan cara lain? Aku bisa menyiapkannya untukmu. Aku bisa melakukan apapun yang kau mau.”
            “Tidak.” kata So Hee dengan cepat. So Hee tahu apa yang sedang dilakukannya. Dia memang ingin mati. “Aku akan menuruti semua perintahmu. Tapi, kau harus berjanji akan menyerahkan senjata ini padaku. Tak perduli siapa yang akan membunuhku nanti. Pistol ini harus tetap menjadi milikku.”
            “Terserah kau.”
            So Hee menggerakkan tangannya menyentuh pistol itu dan tatapan matanya sedikit berubah. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku tulis saat melihat ekspresinya. Matanya tidak bisa dikatakan senang, tapi juga tidak bisa dikatakan ketakutan. Hanya, seperti seseorang yang akhirnya mendapatkan apa yang selama ini dia inginkan.
            Jung Woo menatap So Hee heran.
Tapi, -seperti biasa- Kim San sama sekali tidak memperdulikannya. “Selain itu, kau harus berhenti bekerja di supermarket dan datang ke sini setiap hari. Bersihkan tempat ini dan kau harus tetap di sini sampai malam tiba. Aku akan membayar biaya hidupmu selama kau bekerja denganku sampai nanti kau mati. Aku akan memberikan pistol itu jika nanti saat kau sudah dijadikan kambing hitam. Sehingga, satu-satunya yang kau perlu lakukan hanya meninggalkan dunia ini.”
            “Kau tidak boleh marah atau memprotes apapun yang kulakukan padamu. Kau tidak boleh tidak setuju. Kau harus patuh dan tunduk padaku.” kata Kim San.
So Hee mengangguk dan dia setuju.  “Antarkan dia pulang!” perintah Kim San pada Jung Woo. Dia mengangguk dan mengajak So Hee pulang. Saat, So Hee berdiri dan berjalan mendekati pintu. Kim San berkata, “Ah, aku lupa!”
Kim San meletakkan gelas yang berisi kopi dan  berdiri. Lalu, berjalan ke arah So Hee dan memegang tangannya.
            Lalu, menariknya ke dalam pelukan San.
            Kim Sa mengecup bibir So Hee dan berbisik dengan nada halus di telinganya.
“Satu hal lagi, mulai sekarang kau adalah kekasihku.”