baru

Senin, 25 Mei 2015

wangja 28

28
            Kim San sekali lagi memandangi kota Seoul yang kini terkubur salju. Kim San meneguk perlahan-lahan kopi hangat yang dari tadi masih belum habis. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya, berdiri memandangi pemandangan dari apartemennya. Hanya tinggal beberapa langkah lagi dan semua rencananya akan berhasil. Aku bertanya-tanya apa yang harus kutulis sekarang.......
            Selalu ada jeda saat kisah akan mencapai klimaks.
            Mungkin, inilah saat aku perlu memberikan jeda bagi kisahku.
            Bahkan, di sini, saat kutuliskan kisah ini. Langit kembali mendung. Dulu, aku sering bertanya-tanya dimana sebenarnya hal yang bisa membuat kita bahagia. Aku sama sekali tidak mengetahui hal itu. Ada kalanya, aku merasa semua yang aku lakukan sia-sia dan jalan yang ingin kutempuh semuanya tertutup. Saat itu, aku bertanya-tanya dimana jalan keluar sesungguhnya.
            Tapi, mungkin, memang perlu waktu dari segala sesuatu. Jalan satu manusia dengan manusia yang lain. Berbeda. Tidak sama dan tidak akan pernah sama. Kim San juga sama, dulu dia mencoba segala hal agar bisa keluar dari rumah dan semua hal itu sama sekali tidak ada yang berhasil. Semua jalan itu tertutup. Seolah-olah dia akan tertahan selamanya di sana.
            Kemudian, jalan itu akhirnya terbuka dan mungkin seolah-olah balasan karena semua jalan yang tertutup dulu, sekarang nyaris semua yang Kim San ingin lakukan, bisa dia kerjakan.
            Lamunan Kim San terganggu karena Jung Woo masuk ke dalam apartemen. Dia menundukkan badannya, “Aku sudah mengantarnya seperti permintaan Anda.”
            “Bagus. Kau boleh pulang.” kata San.
            Ayah Kim San, pasti akan marah besar jika dia tahu apa yang sudah Kim San lakukan untuk sampai ke tahap ini. Kim Jo Myung pasti akan menghalangi San untuk melakukan balas dendam ini. Jo Myung adalah pria yang baik. Dia mempercayai adanya balasan atas kebaikan dan keburukan yang manusia kerjakan. Bahkan, Kim San yakin meski dia mengatakan balas dendam ini untuk ayahnya. Kim San yakin ayahnya tetap akan melarangnya. Apalagi, jika dia tahu Kim San telah menjadi iblis demi balas dendam ini. Tak ada lagi rasa kasihan dan ampunan.
            Dia akan menghancurkan Park Jae Seong, Choi Jin Hee dan juga anak mereka.....
            Park Min Ho.
            “Apa yang akan kau lakukan pada So Hee?” tanya Jung Woo.
            “Memanfaatkannya.” kata Kim San pendek.
            “Ta...tapi.....” kata Jung Woo perlahan dengan tatapan menunduk ke lantai. “Saya kira Anda merasa simpati padanya.”
            “Simpati? Apa kau gila?” kata Kim San.
            “Lalu, kenapa Anda menunggunya selama tiga tahun? Mengikutinya, setiap kali dia pindah? Saya pikir, Anda merasa simpati padanya dan ingin membuatnya tatapan matanya yang penuh dengan keinginan untuk mati itu berubah?”
            Kali ini, Kim San membalikkan badannya dan meletakan cangkir kopi ke atas meja.
            “Kalau begitu kau salah paham.....” kata Kim San sambil menyilangkan kedua lengannya di dadanya. Kim San kemudian melanjutkan perkataannya yang belum selesai, “Aku menunggu So Hee selama tiga tahun untuk memastikan jika tatapan matanya tidak berubah. Jika, dia tetap ingin mati sampai kapanpun. Aku bisa memanfaatkannya untuk menjadi kambing hitam sesuka hatiku.  Dengan begitu, dia tak akan berhianat padaku. Menjadikan orang baik sebagai pionku sangatlah merepotkan. Karena, mereka pasti akan menggagalkan rencanaku.”
“Kalau saja, hatinya berubah karena cinta. Maka, aku tak akan menggunakannya karena hal itu akan merusak rencanaku. Karena, dia pasti tidak mau melakukan semua yang kuperintahkan padanya. Tapi, jika dia tetap ingin mati dan depresi seperti sekarang. Dia -dengan senang hati- akan menuruti keinginanku dan tidak akan pernah lagi memperdulikan apapun di dunia ini. Sebab, satu-satunya tujuan hidupnya adalah mati.”
            Jung Woo gemetar.....
            “Kenapa? Apa kau selalu takut padaku?”
            “Ya.” akunya. “Kau benar-benar menakutkan.”
            Kim San mengambil kembali kopi dan meneguknya perlahan-lahan. Kemudian, melihat  kembali pemandangan kota Seoul yang dingin berselimut salju. Jung Woo ternyata masih tetap berdiri di belakang Kim San tanpa sedikitpun bergerak. Kim San sendiri tidak terlalu perduli hal itu dan terus menikmati kehangatan yang muncul akibat dari kopi yang diminumnya.
            Jung Woo tiba-tiba berteriak, “Kenapa kau berbeda sekali dengan So Hyun? Kenapa kau begitu jahat”

            Kim San membalikkan badannya dan sekali lagi mereka saling berhadapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar