12
Salah
satu hal yang paling menakutkan dari apa yang dialami Tae Ho, adalah dia
belajar menikmati apa yang dia lakukan bersama pria bertato itu. Karena, hanya
dengan cara itu Tae Ho bisa membuat dirinya tetap waras.
Ada
seorang nenek yang selalu membawakan makanan untuknya. Saat itu, baik Kim Tae Ho dan juga aku, sama
sekali tak tahu siapa nama nenek itu, begitu juga kakek yang menjadi suaminya.
Satu hal yang aku tahu, adalah merekalah yang menjaga dan merawat rumah setelah
semua pelayan pergi ke tempat Jae Seong dan Jin Hee.
Makanan
yang mereka bawakan tidaklah enak. Sepertinya, makanan untuk hewan atau mungkin
juga pupuk untuk tanaman. Karena, makanan yang dibawakan oleh nenek itu berisi
nasi basi, tulang-belulang, dedaunan dan sisanya hanya tanah. Aku yakin jika
orang biasa pasti akan langsung muntah saat memakannya. Tapi, Tae Ho sama
sekali tidak punya pilihan. Dia harus mengesampingkan semua perasaan mual, jijik
dan eneg saat memakannya. Itu juga yang dikatakannya pada So Hyun, “Makanlah!
Kita tak punya banyak pilihan, kecuali memakannya....”
So
Hyun mengangguk, dia memakan makanan itu sambil menangis tanpa suara.
Nenek
itu melemparkan antiseftik ke Tae Ho, dia memandang Tae Ho dengan iba dan
berkata dengan lirih, “Maafkan aku. Karena, tidak bisa membantu kalian.”
“Tak
apa-apa.” kata Tae Ho. Nenek ini juga ketakutan seperti Tae Ho. Entah apa yang
dilakukan Jin Hee pada mereka. Tapi, mereka mungkin akan dibunuh jika
membantunya kabur. Mereka bahkan tidak boleh memberi Ta Ho dan So Hyun makanan
layak. Mereka hanya boleh masuk ke sini sebentar dan memberi makan. Setelah
itu, dia harus segera keluar.
“Bagaimana
kabar ayahku?” tanya Tae Ho pada nenek itu.
Nenek
itu melihat keluar sebentar, setelah yakin tidak ada siapa-siapa. Kemudian
berkata dengan tangan gemetar, bahkan saat tak ada siapa-siapa dia tetap
merasakan ketakutan. Sampai, sekarang aku masih tak tahu apa yang telah
diperbuat Choi Jin Hee dan Park Jae Seong pada keduanya.
“Keadaannya saat ini cukup stabil.” katanya.
Setelah itu, dia segera keluar dan mengunci pintu. Kami kembali dalam gelap,
tak jalan untuk kabur. Jendela sudah dipasang terali besi dan pintu kamar akan
selalu dikunci. Pintu itu hanya akan
terbuka dua kali. Saat mereka akan diberi makanan hewan dan saat Tae Ho
akan melakukan hubungan seksual.
Sementara, kamar mandi di kamar
tempat mereka berada nyaris tidak berisi air kecuali sangat keruh dan kadang
tidak keluar sama sekali. Semua benda yang membuat Tae Ho bisa melawan sudah
dihilangkan oleh pria bertato itu. Bahkan, kaca di kamar mandi sudah dibawa
pergi agar dia tidak bisa menggunakannya.
Setelah
selesai makan, Tae Ho beristirahat sebentar.
Tae
Ho memalingkan wajahnya ke arah So Hyun dan mengusap rambutnya sambil
tersenyum, “Tidurlah! kita tak tahu apa yang akan terjadi nanti malam. Kita
harus memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya.”
So
Hyun mengangguk dan membaringkan dirinya di lantai. Tae Ho menggunakan
pakaian-pakaian So Hyun saat masih kecil untuk menjadi selimbut. Pakaiannya
sekarang, sudah pasti tidak muat. Saat, dia sudah tertidur. Tae Ho berjalan ke
bagian lain kamar dan memukul kaca jendela yang dipasangi terali besi dengan
tangannya. Retakan yang dulu hanya sebatas
garis kecil. Sebentar lagi akan pecah. Tae Ho menahan diri agar tidak
memukulnya sampai pecah. Meski, hanya sedikit, tetap saja akan gawat jika
ketahuan oleh pria bertato itu.
Aku
tak punya waktu lagi.
Jika,
tak ada jalan keluar yang tersedia, aku akan membuat jalan keluar itu sendiri.
13
Pria
bertato itu datang lagi ke kamar sempit mereka. Kamar yang begitu kumuh karena
bertahun-tahun tidak dibersihkan. Kamar yang kasurnya sudah begitu tipis,
karena tidak pernah diganti. Kamar yang bau sperma begitu menyengat ke segala
penjuru. Pintu kamar terbuka, pria bertato itu masuk ke dalam kamar. Dia mabuk
berat, tapi tentu saja, meski semabuk apapun, mereka tak akan mudah untuk kabur
dari sana.
Tae Ho menyuruh So Hyun untuk
duduk dipojok, aku mendengarnya berkata, “Tetaplah di sini dan tundukkan
kepalamu sampai aku menyuruhmu mengangkatnya,
mengerti?”
Adiknya mengangguk.
“Hei! Bocah! Kemarilah!” katanya
berteriak sambil menutup pintu. Tae Ho mendekat ke arahnya, aku tahu jika Tae
Ho tak melakukannya. Dia yang akan
mendekat ke arah Tae Ho dan pasti akan menghajar adik Tae Ho dulu
Dia mengunci sudah pintu kamar dan
menggantungkan kunci itu di lehernya. Kunci itu dipasangi tali, sehingga mirip
kalung. Membuat Tae Ho, harus berhadapan dengannya jika dia ingin melarikan
diri. Dia sudah mengenakan cakarnya dan
mendekatinya. Tae Ho mundur perlahan-lahan. Pria bertato itu mabuk berat.
Badannya kelimpungan dan saat mendekati Tae Ho. Saat dia akan mulai membuka
bajunya....
Tae Ho memukul selangkangan pria
itu dengan sangat kencang.
Pria bertato itu terkejut dan
berusaha melawan. Tapi, Tae Ho segera memukul lehernya dengan sangat kuat. Pria bertato itu terkejut, tapi terlambat
untuk menghindar. Dia terjatuh ke lantai dan memegang lehernya. Pria itu
berteriak dengan sangat kencang, nafasnya pasti sangat sesak sekarang. Mulutnya
mengeluarkan cacian dan makian pada Tae Ho.
Dia segera berdiri dan segera
memukulnya, “Kau pikir bisa mengalahkanku?”
Tae Ho terbanting ke dinding.
Aku akan segera pergi, aku tak
akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Saat Tae Ho akan memukul wajah
pria itu lagi, dia memegang lengannya. Tae Ho menendang lagi selangkangannya
dan kencang. Dia terjatuh. Tae Ho segera mengambil pecahan kaca yang
disembunyikannya di bawah kasur dan menusukan benda itu ke matanya.
“AHHH..” Pria itu berteriak
dengan kencang.
Tae Ho segera menerjang pria itu
dan menindihnya dengan badannya. Dia
memukul leher pria bertato itu terus menerus sampai dia tak bergerak. Matanya
sudah hancur karena kaca yang ditusukkan Tae Ho. Tae Ho segera
mengeluarkan kunci itu dari lehernya dan
melepaskan cakar emas yang dia pakai.
Setelah itu, dia segera mendekati So Hyun.
Tangannya sedang menutup kedua
telinganya, sementara wajahnya menunduk ke bawah dan air mata pasti sedang
mengalir dari sana. Tae Ho menyentuh bahunya, dia mengangkat kepalanya dan Tae
Ho menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Cepat! Kita tak punya waktu lagi!”
Tae Ho memegang tangan kecil So
Hyun, keluar dari kamar, mengunci pintu kamar lagi dan keduanya berlari di lorong.
Keduanya berlari ke kamar ayah
mereka.
Dia masih ada di sana. Kurus dan
kecil tanpa daya. Rambutnya berantakan karena tidak ada yang menyisirkan
untuknya. Tae Ho membuka lemari pakaian ayah. Berharap ada sesuatu yang bisa
membantunya. Ada kotak perhiasan. Tae Ho membukanya dan mengambil semua yang
bisa diambil. Setelah itu, dia mengambil infus ayahnya dan mengikatnya di
lengannya, lalu berusaha menggendongnya seorang sendiri. So Hyun dengan tangan
gemetar, berusaha membantu kakaknya. Setelah itu, dengan bersusah payah Tae Ho
berlari agar bisa keluar dari rumah.
Kemudian, saat mereka akan
keluar. Pasangan kakek-nenek itu berdiri di sana. Dari mata mereka aku bisa
melihat kekhawatiran dan ketakutan. “Kaka....Kami sudah menelepon taksi dan dia
ada diluar.”
“..Maaf, ka...kami benar-benar
ketakutan sampai tak bisa membantumu. Tapi, jika kami ketahuan, kami akan
dibunuh. Kami ha....hanya bisa membantumu sebatas ini.”
Tae Ho tak banyak mengeluh dan
hanya bisa berkata, “Tak apa-apa. Kalian sudah mau memberi tahu keadaan ayah
secara berkala. Dengan begitu, aku bisa menentukan waktu yang tepat untuk kabur
dari sini. Lagipula, kalianlah yang membuat dia mabuk berat. Itu sudah sangat
membantuku.”
Kakek-nenek itu mendekati mereka dan
menyerahkan sebungkus uang receh dengan tangan gemetar. Tapi, Tae Ho berkata
dengan tegas, “ Jangan! Ambil uang itu dan kaburlah! Jika, kalian tetap di
sini....”
Tiba-tiba infus ayah terlepas
dari lengan Tae Ho dan dia kesulitan untuk mengambilnya. Kakek itu mengambilnya
dan ketika dia akan mengikatnya lagi di lengan Tae Ho, aku mendengar Tae Ho
berkata, “Terima kasih atas bantuan kalian.” Kemudian, dia mengigit infus itu
dengan mulutnya dan melangkahkan kaki-kaki kecil mereka keluar dari rumah.
Seorang supir taksi berwajah
kebapakan terkejut saat melihat keduanya keluar dari rumah. Meski, awalnya
tampak ragu, tapi akhirnya dia membuka pintu taksi dan setelah Tae Ho
memasukkan Jo Myung ke dalamnya. Dia bertanya, “Apa yang terjadi padamu, Nak?”
Tae Ho hanya bisa berkata,
“Tolong antarkan kami ke rumah sakit yang jaraknya sangat jauh dari sini.” Dia
mengeluarkan salah satu cincin emas
mewah dan bertanya, “Apa aku bisa membayar dengan ini?”
Pria itu tak banyak bicara dan
hanya mengangguk sambil masuk ke dalam taksi, kemudian menyalakan mesin mobil.
Taksi itu bergerak dengan cepat, menjauh dari rumah tempat mereka disekap
selama bertahun-tahun.[1]
14
Aku pernah membaca sebuah novel
yang ditulis oleh seseorang yang kukenal. Judulnya, Dr. White. Novel itu
menceritakan tentang seorang pria yang putus asa dalam menjalani hidupnya.
Hidupnya, dipenuhi dengan kesengsaraan dan juga kemalangan.Tapi, akhirnya
diceritakan jika si tokoh utama meninggal dengan cara yang baik.
Novel itu, lumayan bagus
untukku. Meski, harus kuakui juga ada beberapa kelemahan dalam ceritanya. Tapi,
tidak apa-apa, bukankah tidak ada yang sempurna di dunia ini? Kalau seandainya,
novel Dr.White digambarkan dalam satu kata. Maka, aku akan memilih kata putus
asa untuk menggambarkan novel itu.
Tapi, jika aku harus
menggambarkan kisah ini dalam satu kata.
Maka, aku akan memilih kata pembalasan
dendam.
Aku tak pernah tahu apa yang
sebenarnya membuatku terus menulis kisah ini. Terkadang, aku ingin sekali
berhenti, tapi tanganku terus saja mengetik tanpa berhenti, kecuali saat aku
sudah benar-benar kelelahan. Barulah aku akan berhenti, tapi, setelah rasa
lelah itu hilang, aku akan mulai menulis kembali. Sempat terpikir oleh ingin
membuat kisah ini menjadi kisah yang sempurna. Sebelum, akhirnya kusadari jika
aku tidaklah sehebat itu.
Di lain waktu, aku pernah
membaca karya seorang penulis yang sangat populer dimana-mana. Ada kalanya aku
ingin membuat kisah ini menjadi seperti kisah yang ditulis penulis itu. Tapi,
lagi-lagi kusadari jika menulis tidak bisa meniru. Selalu akan ada
perbedaan antara satu karya dengan karya yang lain. Kusadari, jika satu penulis
dengan penulis yang lainnya punya genre-nya masing-masing.
Jalannya masing-masing.
Tak semua orang ingin menulis
karya yang rumit dan dalam. Sebagian penulis, lebih senang
menulis kisah-kisah yang lucu dan unik. Sebagian lagi, lebih suka menulis kisah
thriller dan juga misteri. Ada juga yang lebih ingin menulis kisah yang berisi
nasehat dan kisah yang bisa memberi teladan.
Ada seorang wanita yang pernah
berkata padaku, jika setiap manusia harus mencari jalannya sendiri-sendiri. Mungkin,
aku juga akan menulis dengan caraku sendiri.
Dengan jalanku sendiri.
Di jalanku sendiri.
Malam ini, tanganku tak bisa
berhenti mengetik.
Entah sampai kapan.....
#####
Untuk
bisa menguasai Grup DK. Setidaknya, harus bisa meyakinkan para pemilik saham
yang berjumlah tiga puluh orang. Tak perduli bagaimana caranya, harus mampu
meyakinkan ke tiga puluh orang itu. Ada dua cara yang mungkin dilakukan,
pertama meminta setiap pemegang saham untuk mendukung Kim San dan cara yang
kedua, adalah membeli saham-saham
mereka.
Kim San memilih cara yang kedua.
Aku tak akan menceritakan pada
kalian setiap langkah yang dilakukan San,
tapi yang jelas San bisa membeli semua saham-saham milik mereka.
Sebagian besar saham Grup DK sudah menjadi milik San. Hanya, tinggal beberapa
orang saja yang harus San temui.
Bahkan, hari ini, San baru saja
keluar dari sebuah hotel.
Tak ada senyum yang terlihat
dari wajahnya meski dia sudah berhasil membeli beberapa saham lagi. Jung Woo membukakan
pintu mobil untuknya, San masuk ke dalam mobil. Mobil pun melaju dengan
perlahan-lahan.....
Entah, kenapa tiba-tiba saja Kim
San berkata dengan lembut, “Apa yang kau katakan?”
Jung Woo hanya diam, tidak
bergeming ketika tahu Kim San sudah membaca pikirannya. Mungkin, karena hal
semacam ini bukan baru pertama kali terjadi. Satu hal yang unik dari Kim San
adalah kenyataan jika dia memperlakukan orang yang bekerja padanya dengan baik.
Dia tidak pernah memukuli mereka atau pun merendahkan mereka. Kim San akan
memuji seperlunya jika memang itu yang diperlukan, tapi dia juga akan
mengkritik dan tak segan menghukum jika memang itu yang diperlukan.
Lebih dari itu, Kim San terbiasa
menerima kritikan dari bawahannya. Sehingga, bahkan Jung Woo bisa menceritakan
apa yang ada dalam pikirannya dengan terbuka. Dia juga tidak pernah membenarkan
tindakannya. Meski, jika mau dia bisa memberi sejuta alasan atas demi
membenarkan tindakannya.
Mungkin, itulah salah satu
alasan orang bisa setia padanya.
Jung Woo melihat San dari kaca
mobil.
“Apa kau tidak terlalu kejam?”
tanyanya.
“Kejam?” tanya San. “Pada
siapa?”
Jung Woo tidak langsung
menjawab, ada jeda sesaat sebelum dia memutuskan untuk kembali berbicara, “Satu
hal yang paling menakutkan dari dirimu adalah saat kau memutuskan untuk
menghancurkan orang, kau tidak akan melakukannya dengan cepat. Kau tidak akan
membunuh seseorang dengan pedang tajam dan langsung menebasnya. Tapi, dengan
pedang yang bergerigi atau pedang yang sudah akan tumpul. Kau akan sengaja
membiarkan lawanmu merasakan rasa sakit yang amat sangat sebelum mereka
akhirnya hancur. Kau bisa menunggu berpuluh-puluh tahun sampai pedangmu
memenggal leher lawanmu. Kau akan menikmati setiap tetes darah yang keluar dari
leher mereka. Saat lawanmu sekarat dan hampir meregang nyawa. Kau akan
menjilati darah mereka yang ada pada pedang di hadapan mereka dan menyiksa
mereka bahkan saat mereka akan mati.”
Kim San tersenyum. Mungkin,
itulah senyuman iblis saat berhasil membuat Adam dan Hawa memakan buah
terlarang.
“Apa aku sejahat itu?” tanya
San, sama sekali tidak terdengar kesal. Bahkan –sejujurnya- kelihatan senang.
Jung Woo sama sekali tidak
menjawab.
“Apa salah Min Ho padamu?”
“Apa Maksudmu?”
Kim San mengatakannya sambil
tersenyum. Hanya tersenyum. Mata keduanya bertatapan di kaca mobil. Jung Woo
tak tahan dan menatap jalanan saat dia kembali bercerita, “Aku tahu betul
perbuatan Jin Hee dan Jae Seong sama sekali tidak bisa dimaafkan. Aku juga
mungkin akan melakukan hal yang sama jika aku jadi kau. Tapi, Min Ho hanya seorang
pria yang kehilangan kasih sayang orang tuanya. Dia dicampakkan oleh
kedua orang tuanya. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan pembalasan dendammu.
Tapi, tega sekali kau, jahat sekali kau telah melakukan perbuatan itu padanya.”
“Melakukan
apa?” tanyanya, kembali membiarkan Jung Woo bicara.
“Kau
tahu jika Choi Jin Hee dan Park Jae Seong tidak punya anak perempuan yang bisa
kau hamili. Jadi, kau melakukan sesuatu yang sangat jahat padanya.”
“Apa?”
ulang Kim San.
Kim San tidak marah dan
membiarkan Jung Woo mengeluarkan isi hatinya. Jung Woo berkata dengan lirih,
“Kenapa kau begitu tega membuatnya menjadi seorang gay?......”
Kim
San hanya tersenyum penuh seringai.
Jung
Woo berkata lagi dengan perlahan-lahan.
“........menjadikannya seorang homoseksual?”
[1]
Dalam dunia nyata pun, kisah-kisah penyekapan selama bertahun-tahun (bahkan ada
yang sampai berpuluh-puluh tahun) banyak terdengar. Ada yang hanya sekedar
diculik, tapi lebih banyak disekap dan diperkosa bahkan sampai ada yang hamil
dan memiliki anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar