baru

Jumat, 24 April 2015

wangja 12-14

12
                Salah satu hal yang paling menakutkan dari apa yang dialami Tae Ho, adalah dia belajar menikmati apa yang dia lakukan bersama pria bertato itu. Karena, hanya dengan cara itu Tae Ho bisa membuat dirinya tetap waras.
                Ada seorang nenek yang selalu membawakan makanan untuknya.  Saat itu, baik Kim Tae Ho dan juga aku, sama sekali tak tahu siapa nama nenek itu, begitu juga kakek yang menjadi suaminya. Satu hal yang aku tahu, adalah merekalah yang menjaga dan merawat rumah setelah semua pelayan pergi ke tempat Jae Seong dan Jin Hee.
                Makanan yang mereka bawakan tidaklah enak. Sepertinya, makanan untuk hewan atau mungkin juga pupuk untuk tanaman. Karena, makanan yang dibawakan oleh nenek itu berisi nasi basi, tulang-belulang, dedaunan dan sisanya hanya tanah. Aku yakin jika orang biasa pasti akan langsung muntah saat memakannya. Tapi, Tae Ho sama sekali tidak punya pilihan. Dia harus mengesampingkan semua perasaan mual, jijik dan eneg saat memakannya. Itu juga yang dikatakannya pada So Hyun, “Makanlah! Kita tak punya banyak pilihan, kecuali memakannya....”
                So Hyun mengangguk, dia memakan makanan itu sambil menangis tanpa suara.
                Nenek itu melemparkan antiseftik ke Tae Ho, dia memandang Tae Ho dengan iba dan berkata dengan lirih, “Maafkan aku. Karena, tidak bisa membantu kalian.”
                “Tak apa-apa.” kata Tae Ho. Nenek ini juga ketakutan seperti Tae Ho. Entah apa yang dilakukan Jin Hee pada mereka. Tapi, mereka mungkin akan dibunuh jika membantunya kabur. Mereka bahkan tidak boleh memberi Ta Ho dan So Hyun makanan layak. Mereka hanya boleh masuk ke sini sebentar dan memberi makan. Setelah itu, dia harus segera keluar.
                “Bagaimana kabar ayahku?” tanya Tae Ho pada nenek itu.
                Nenek itu melihat keluar sebentar, setelah yakin tidak ada siapa-siapa. Kemudian berkata dengan tangan gemetar, bahkan saat tak ada siapa-siapa dia tetap merasakan ketakutan. Sampai, sekarang aku masih tak tahu apa yang telah diperbuat Choi Jin Hee dan Park Jae Seong pada keduanya.
 “Keadaannya saat ini cukup stabil.” katanya. Setelah itu, dia segera keluar dan mengunci pintu. Kami kembali dalam gelap, tak jalan untuk kabur. Jendela sudah dipasang terali besi dan pintu kamar akan selalu dikunci. Pintu itu hanya akan  terbuka dua kali. Saat mereka akan diberi makanan hewan dan saat Tae Ho akan melakukan hubungan seksual.
Sementara, kamar mandi di kamar tempat mereka berada nyaris tidak berisi air kecuali sangat keruh dan kadang tidak keluar sama sekali. Semua benda yang membuat Tae Ho bisa melawan sudah dihilangkan oleh pria bertato itu. Bahkan, kaca di kamar mandi sudah dibawa pergi agar dia tidak bisa menggunakannya.
                Setelah selesai makan, Tae Ho beristirahat sebentar.
                Tae Ho memalingkan wajahnya ke arah So Hyun dan mengusap rambutnya sambil tersenyum, “Tidurlah! kita tak tahu apa yang akan terjadi nanti malam. Kita harus memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya.”
                So Hyun mengangguk dan membaringkan dirinya di lantai. Tae Ho menggunakan pakaian-pakaian So Hyun saat masih kecil untuk menjadi selimbut. Pakaiannya sekarang, sudah pasti tidak muat. Saat, dia sudah tertidur. Tae Ho berjalan ke bagian lain kamar dan memukul kaca jendela yang dipasangi terali besi dengan tangannya.  Retakan yang dulu hanya sebatas garis kecil. Sebentar lagi akan pecah. Tae Ho menahan diri agar tidak memukulnya sampai pecah. Meski, hanya sedikit, tetap saja akan gawat jika ketahuan oleh pria bertato itu.
                Aku tak punya waktu lagi.           
                Jika, tak ada jalan keluar yang tersedia, aku akan membuat jalan keluar itu sendiri.
13
Pria bertato itu datang lagi ke kamar sempit mereka. Kamar yang begitu kumuh karena bertahun-tahun tidak dibersihkan. Kamar yang kasurnya sudah begitu tipis, karena tidak pernah diganti. Kamar yang bau sperma begitu menyengat ke segala penjuru. Pintu kamar terbuka, pria bertato itu masuk ke dalam kamar. Dia mabuk berat, tapi tentu saja, meski semabuk apapun, mereka tak akan mudah untuk kabur dari sana.
Tae Ho menyuruh So Hyun untuk duduk dipojok, aku mendengarnya berkata, “Tetaplah di sini dan tundukkan kepalamu sampai aku menyuruhmu mengangkatnya,  mengerti?”
Adiknya mengangguk.
“Hei! Bocah! Kemarilah!” katanya berteriak sambil menutup pintu. Tae Ho mendekat ke arahnya, aku tahu jika Tae Ho tak  melakukannya. Dia yang akan mendekat ke arah Tae Ho dan pasti akan menghajar adik Tae Ho dulu
 Dia mengunci sudah pintu kamar dan menggantungkan kunci itu di lehernya. Kunci itu dipasangi tali, sehingga mirip kalung. Membuat Tae Ho, harus berhadapan dengannya jika dia ingin melarikan diri.  Dia sudah mengenakan cakarnya dan mendekatinya. Tae Ho mundur perlahan-lahan. Pria bertato itu mabuk berat. Badannya kelimpungan dan saat mendekati Tae Ho. Saat dia akan mulai membuka bajunya....
Tae Ho memukul selangkangan pria itu dengan sangat kencang.
Pria bertato itu terkejut dan berusaha melawan. Tapi, Tae Ho segera memukul lehernya dengan sangat kuat.  Pria bertato itu terkejut, tapi terlambat untuk menghindar. Dia terjatuh ke lantai dan memegang lehernya. Pria itu berteriak dengan sangat kencang, nafasnya pasti sangat sesak sekarang. Mulutnya mengeluarkan cacian dan makian pada Tae Ho.
Dia segera berdiri dan segera memukulnya, “Kau pikir bisa mengalahkanku?”
Tae Ho terbanting ke dinding.
Aku akan segera pergi, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Saat Tae Ho akan memukul wajah pria itu lagi, dia memegang lengannya. Tae Ho menendang lagi selangkangannya dan kencang. Dia terjatuh. Tae Ho segera mengambil pecahan kaca yang disembunyikannya di bawah kasur dan menusukan benda itu ke matanya.
“AHHH..” Pria itu berteriak dengan kencang.
Tae Ho segera menerjang pria itu dan menindihnya dengan badannya.  Dia memukul leher pria bertato itu terus menerus sampai dia tak bergerak. Matanya sudah hancur karena kaca yang ditusukkan Tae Ho. Tae Ho segera mengeluarkan  kunci itu dari lehernya dan melepaskan cakar emas yang dia pakai.
 Setelah itu, dia segera mendekati So Hyun.
Tangannya sedang menutup kedua telinganya, sementara wajahnya menunduk ke bawah dan air mata pasti sedang mengalir dari sana. Tae Ho menyentuh bahunya, dia mengangkat kepalanya dan Tae Ho menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Cepat! Kita tak punya waktu lagi!”
Tae Ho memegang tangan kecil So Hyun, keluar dari kamar, mengunci pintu kamar lagi dan keduanya berlari di  lorong.
Keduanya berlari ke kamar ayah mereka.
Dia masih ada di sana. Kurus dan kecil tanpa daya. Rambutnya berantakan karena tidak ada yang menyisirkan untuknya. Tae Ho membuka lemari pakaian ayah. Berharap ada sesuatu yang bisa membantunya. Ada kotak perhiasan. Tae Ho membukanya dan mengambil semua yang bisa diambil. Setelah itu, dia mengambil infus ayahnya dan mengikatnya di lengannya, lalu berusaha menggendongnya seorang sendiri. So Hyun dengan tangan gemetar, berusaha membantu kakaknya. Setelah itu, dengan bersusah payah Tae Ho berlari agar bisa keluar dari rumah.
Kemudian, saat mereka akan keluar. Pasangan kakek-nenek itu berdiri di sana. Dari mata mereka aku bisa melihat kekhawatiran dan ketakutan. “Kaka....Kami sudah menelepon taksi dan dia ada diluar.”
“..Maaf, ka...kami benar-benar ketakutan sampai tak bisa membantumu. Tapi, jika kami ketahuan, kami akan dibunuh. Kami ha....hanya bisa membantumu sebatas ini.”
Tae Ho tak banyak mengeluh dan hanya bisa berkata, “Tak apa-apa. Kalian sudah mau memberi tahu keadaan ayah secara berkala. Dengan begitu, aku bisa menentukan waktu yang tepat untuk kabur dari sini. Lagipula, kalianlah yang membuat dia mabuk berat. Itu sudah sangat membantuku.”
 Kakek-nenek itu mendekati mereka dan menyerahkan sebungkus uang receh dengan tangan gemetar. Tapi, Tae Ho berkata dengan tegas, “ Jangan! Ambil uang itu dan kaburlah! Jika, kalian tetap di sini....”
Tiba-tiba infus ayah terlepas dari lengan Tae Ho dan dia kesulitan untuk mengambilnya. Kakek itu mengambilnya dan ketika dia akan mengikatnya lagi di lengan Tae Ho, aku mendengar Tae Ho berkata, “Terima kasih atas bantuan kalian.” Kemudian, dia mengigit infus itu dengan mulutnya dan melangkahkan kaki-kaki kecil mereka keluar dari rumah.
Seorang supir taksi berwajah kebapakan terkejut saat melihat keduanya keluar dari rumah. Meski, awalnya tampak ragu, tapi akhirnya dia membuka pintu taksi dan setelah Tae Ho memasukkan Jo Myung ke dalamnya. Dia bertanya, “Apa yang terjadi padamu, Nak?”
Tae Ho hanya bisa berkata, “Tolong antarkan kami ke rumah sakit yang jaraknya sangat jauh dari sini.” Dia mengeluarkan  salah satu cincin emas mewah dan bertanya, “Apa aku bisa membayar dengan ini?”
Pria itu tak banyak bicara dan hanya mengangguk sambil masuk ke dalam taksi, kemudian menyalakan mesin mobil. Taksi itu bergerak dengan cepat, menjauh dari rumah tempat mereka disekap selama bertahun-tahun.[1]
14
Aku pernah membaca sebuah novel yang ditulis oleh seseorang yang kukenal. Judulnya, Dr. White. Novel itu menceritakan tentang seorang pria yang putus asa dalam menjalani hidupnya. Hidupnya, dipenuhi dengan kesengsaraan dan juga kemalangan.Tapi, akhirnya diceritakan jika si tokoh utama meninggal dengan cara yang baik.
Novel itu, lumayan bagus untukku. Meski, harus kuakui juga ada beberapa kelemahan dalam ceritanya. Tapi, tidak apa-apa, bukankah tidak ada yang sempurna di dunia ini? Kalau seandainya, novel Dr.White digambarkan dalam satu kata. Maka, aku akan memilih kata putus asa untuk menggambarkan novel itu.
Tapi, jika aku harus menggambarkan kisah ini dalam satu kata.
Maka, aku akan memilih kata pembalasan dendam.
Aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya membuatku terus menulis kisah ini. Terkadang, aku ingin sekali berhenti, tapi tanganku terus saja mengetik tanpa berhenti, kecuali saat aku sudah benar-benar kelelahan. Barulah aku akan berhenti, tapi, setelah rasa lelah itu hilang, aku akan mulai menulis kembali. Sempat terpikir oleh ingin membuat kisah ini menjadi kisah yang sempurna. Sebelum, akhirnya kusadari jika aku tidaklah sehebat itu.
Di lain waktu, aku pernah membaca karya seorang penulis yang sangat populer dimana-mana. Ada kalanya aku ingin membuat kisah ini menjadi seperti kisah yang ditulis penulis itu. Tapi, lagi-lagi kusadari jika menulis tidak bisa meniru. Selalu akan ada perbedaan antara satu karya dengan karya yang lain. Kusadari, jika satu penulis dengan penulis yang lainnya punya genre­-nya masing-masing.
Jalannya masing-masing.
Tak semua orang ingin menulis karya yang rumit dan dalam. Sebagian penulis, lebih senang menulis kisah-kisah yang lucu dan unik. Sebagian lagi, lebih suka menulis kisah thriller dan juga misteri. Ada juga yang lebih ingin menulis kisah yang berisi nasehat dan kisah yang bisa memberi teladan.
Ada seorang wanita yang pernah berkata padaku, jika setiap manusia harus mencari jalannya sendiri-sendiri. Mungkin, aku juga akan menulis dengan caraku sendiri.  Dengan jalanku sendiri.
Di jalanku sendiri.
Malam ini, tanganku tak bisa berhenti mengetik.
Entah sampai kapan.....
#####
                Untuk bisa menguasai Grup DK. Setidaknya, harus bisa meyakinkan para pemilik saham yang berjumlah tiga puluh orang. Tak perduli bagaimana caranya, harus mampu meyakinkan ke tiga puluh orang itu. Ada dua cara yang mungkin dilakukan, pertama meminta setiap pemegang saham untuk mendukung Kim San dan cara yang kedua, adalah  membeli saham-saham mereka.
Kim San memilih cara yang kedua.
Aku tak akan menceritakan pada kalian setiap langkah yang dilakukan San,  tapi yang jelas San bisa membeli semua saham-saham milik mereka. Sebagian besar saham Grup DK sudah menjadi milik San. Hanya, tinggal beberapa orang saja yang harus San temui.
Bahkan, hari ini, San baru saja keluar dari sebuah hotel.
Tak ada senyum yang terlihat dari wajahnya meski dia sudah berhasil membeli beberapa saham lagi. Jung Woo membukakan pintu mobil untuknya, San masuk ke dalam mobil. Mobil pun melaju dengan perlahan-lahan.....
Entah, kenapa tiba-tiba saja Kim San berkata dengan lembut, “Apa yang kau katakan?”
Jung Woo hanya diam, tidak bergeming ketika tahu Kim San sudah membaca pikirannya. Mungkin, karena hal semacam ini bukan baru pertama kali terjadi. Satu hal yang unik dari Kim San adalah kenyataan jika dia memperlakukan orang yang bekerja padanya dengan baik. Dia tidak pernah memukuli mereka atau pun merendahkan mereka. Kim San akan memuji seperlunya jika memang itu yang diperlukan, tapi dia juga akan mengkritik dan tak segan menghukum jika memang itu yang diperlukan.
Lebih dari itu, Kim San terbiasa menerima kritikan dari bawahannya. Sehingga, bahkan Jung Woo bisa menceritakan apa yang ada dalam pikirannya dengan terbuka. Dia juga tidak pernah membenarkan tindakannya. Meski, jika mau dia bisa memberi sejuta alasan atas demi membenarkan tindakannya.
Mungkin, itulah salah satu alasan orang bisa setia padanya.
Jung Woo melihat San dari kaca mobil.
“Apa kau tidak terlalu kejam?” tanyanya.
“Kejam?” tanya San. “Pada siapa?”
Jung Woo tidak langsung menjawab, ada jeda sesaat sebelum dia memutuskan untuk kembali berbicara, “Satu hal yang paling menakutkan dari dirimu adalah saat kau memutuskan untuk menghancurkan orang, kau tidak akan melakukannya dengan cepat. Kau tidak akan membunuh seseorang dengan pedang tajam dan langsung menebasnya. Tapi, dengan pedang yang bergerigi atau pedang yang sudah akan tumpul. Kau akan sengaja membiarkan lawanmu merasakan rasa sakit yang amat sangat sebelum mereka akhirnya hancur. Kau bisa menunggu berpuluh-puluh tahun sampai pedangmu memenggal leher lawanmu. Kau akan menikmati setiap tetes darah yang keluar dari leher mereka. Saat lawanmu sekarat dan hampir meregang nyawa. Kau akan menjilati darah mereka yang ada pada pedang di hadapan mereka dan menyiksa mereka bahkan saat mereka akan mati.”
Kim San tersenyum. Mungkin, itulah senyuman iblis saat berhasil membuat Adam dan Hawa memakan buah terlarang.
“Apa aku sejahat itu?” tanya San, sama sekali tidak terdengar kesal. Bahkan –sejujurnya- kelihatan senang.
Jung Woo sama sekali tidak menjawab.
“Apa salah Min Ho padamu?”
“Apa Maksudmu?”
Kim San mengatakannya sambil tersenyum. Hanya tersenyum. Mata keduanya bertatapan di kaca mobil. Jung Woo tak tahan dan menatap jalanan saat dia kembali bercerita, “Aku tahu betul perbuatan Jin Hee dan Jae Seong sama sekali tidak bisa dimaafkan. Aku juga mungkin akan melakukan hal yang sama jika aku jadi kau. Tapi, Min Ho hanya seorang pria yang kehilangan kasih sayang orang tuanya. Dia dicampakkan oleh kedua orang tuanya. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan pembalasan dendammu. Tapi, tega sekali kau, jahat sekali kau telah melakukan perbuatan itu padanya.”
                “Melakukan apa?” tanyanya, kembali membiarkan Jung Woo bicara.
                “Kau tahu jika Choi Jin Hee dan Park Jae Seong tidak punya anak perempuan yang bisa kau hamili. Jadi, kau melakukan sesuatu yang sangat jahat padanya.”
                “Apa?” ulang Kim San.
Kim San tidak marah dan membiarkan Jung Woo mengeluarkan isi hatinya. Jung Woo berkata dengan lirih, “Kenapa kau begitu tega membuatnya menjadi seorang gay?......”
                Kim San hanya tersenyum penuh seringai.
                Jung Woo berkata lagi dengan perlahan-lahan.
“........menjadikannya seorang homoseksual?”



[1] Dalam dunia nyata pun, kisah-kisah penyekapan selama bertahun-tahun (bahkan ada yang sampai berpuluh-puluh tahun) banyak terdengar. Ada yang hanya sekedar diculik, tapi lebih banyak disekap dan diperkosa bahkan sampai ada yang hamil dan memiliki anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar