6
Alfa
Century
Aku
bertanya-tanya, apa ini benar stasiun yang harusnya kudatangi? Tempat ini agak
sepi dan sama sekali tidak ada orang. Stasiun ini bentuknya sama saja dengan
stasiun bawah tanah lainnya. Mungkin, perbedaan besar yang terlihat hanya jika di tempat lain ada orang.
Sementara di sini, sama sekali tidak ada orang. Aku memalingkan wajahku dan
sadar jika kereta telah menjauh.
Aku
tidak ingin banyak bicara dan hanya
berjalan menaiki tangga menuju keluar dari tempat ini. Di belakangku, ada dua
orang yang sama sekali tak kukenal. Tapi, sepertinya mereka juga naik gerbong
kereta yang sama denganku. Aku tidak tahu kemana orang-orang dan tidak perduli
dimana ini. Memangnya, kami akan berada dimana? Aku juga tak tidak terlalu
memikirkan jika tadi sama sekali tidak ada seorangpun yang meminta karcis
padaku. Memangnya, apa perduliku?
Aku
berjalan perlahan-lahan dan melihat berbagai macam poster rusak menempel di
dinding. Siapa yang berada di sini? Nampaknya, stasiun ini sama sekali tidak
dibersihkan. Aku mengambil sebatang rokok dari sakuku dan pemantiknya. Aku
memasukkan rokokku perlahan-lahan ke dalam. Dari luar, aku melihat seberkas
cahaya yang agak terang. sebentar, lagi, aku akan segera keluar. Entah, aku
berada di mana. Tapi, aku pasti akan menemukan jalan pulang.
Matahari
sepertinya sudah kembali ke tempat asalnya. Tapi, saat aku melihat ke
sekelilingku. Aku bertanya-tanya, dimana aku?
#####
Rokokku yang baru kuhisap jatuh ke
lantai.
Aku berusaha melihat ke
sekelilingku. Tempat yang kutahu ini memiliki banyak toko yang berderet dengan
berbagai tulisan di depan pintu. Jalanan kota ini tampak cukup lebar, tapi ada
beberapa lubang di beberapa sudut. Sampah daun dan plastik berjatuhan di bahu
jalan. Satu-satunya hal yang tak ada ada adalah manusia.
Ya, manusia.
Tak ada satupun orang di sini.
Dua orang yang tadi ikut naik kereta
denganku. Akhirnya, sampai juga di atas dan –sepertiku- mereka juga tertegun.
Aku sama sekali tak suka dekat dengan mereka. Jadi, aku melangkah perlahan
menjauhi mereka. Lagipula, memangnya aku
akan berada dimana? Pasti tak akan
jauh-jauh dari New York. Aku mengambil
kembali sebatang rokok lagi dari sakuku.
Bangunan-bangunan di sini tampak aneh di
mataku. Beberapa bangunan tinggi dan
megah. Tapi, sama sekali tidak setinggi New York. Mungkin, lebih mirip
bangunan-bangunan yang ada di pinggiran kota. Tapi, seperti tempat yang tadi,
lagi-lagi tak ada orang di sini. Saat,
aku akan menyalakan pemantikku, tiba-tiba saja tubuhku terbanting ke belakang
dan rokokku lagi-lagi terjatuh.
“Berengsek!” kataku.
“Awas!” teriak seseorang dan tak
lama kemudian, suara pistol menggelegar begitu saja.
Dorr!!!
Langit berwarna biru dengan sedikit
awan yang berwarna putih.
Sejujurnya, aku membayangkan
secangkir kopi latte yang enak dengan sedikit hiasan indah di atasnya. Kopi apa
yang akan kubuat? Entah, aku bukan seorang barista yang hebat. Meski, aku cukup
memahami bagaimana cara membuat kopi yang enak. Mungkin, aku akan membuat kopi
dari Pulau Sumatera yang terkenal itu? Ah, tidak, mungkin lebih baik kopi dari
luwak saja. Kopi seperti itu memiliki banyak sekali variasinya.
Suara tembakan kembali terdengar.
Khalayanku tentang kopi menghilang dan
insting liarku bangkit. Aku menjauhkan badannya dariku dan sempat mengumpatnya
dengan keras. Kebencian dalam diriku kembali bangkit dan aku melihat asal
tembakan itu. Seorang pria berdiri di kejauhan.
Tangannya memegang senpaan laras panjang dan tanpa ragu mulai menembaki
kami tanpa ragu. Aku tak perduli dengan pria itu, aku berlari menghindari pria
dengan senapan itu dan laki-laki yang tadi menyelamatkankupun ikut berlari
menghindar.
Aku
bersembunyi di salah satu sudut dan menunggu jika ada tembakan lain akan
datang. Instingku membuatku bergerak dengan cepat tanpa perlu terlalu banyak
berpikir. Tapi, saat aku melihat kedepan untuk melihat wajah pria itu.
Dia
menghilang.
Aku bangkit perlahan.
“Kau
tidak apa-apa?” tanya pria kurus yang tadi menyelamatkanku. Aku melihat
wajahnya dengan tatapan kebencian. Aku
menarik tubuhnya yang kecil dan mengangkatnya dengan satu tangan. Lalu,
membenturkan tubuhnya yang kecil ke dinding di dekat sana. Mataku penuh dengan
kebencian menatapnya.
“Apa
yang kau lakukan?” teriakku.
“A...aku...
aku hanya berusaha menolong...” kata pria kurus itu dengan tatapan yang terlihat
ketakutan. Tangannya gemetar. Aku mengarahkan tinjunya ke arahnya, tapi sebelum
tanganku menyentuh badannya. Tiba-tiba sebuah tangan lain memegang tanganku dan
menahannya dengan kuat.
Aku
menatap tangan orang yang melihatku dan seorang pria dengan tinggi yang hampir
sama denganku. Badannya juga tak kalah besar dengan badanku. Wajahnya tampan
dengan mata berwarna biru. Dia menatapku dengan tangan menahan tanganku agar
tidak mengenai pria kurus ini.
“Bukankah,
dia telah menyelamatkanmu?” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar