baru

Minggu, 24 Mei 2015

Persahabatan segitiga 6

 6
Alfa Century
Aku bertanya-tanya, apa ini benar stasiun yang harusnya kudatangi? Tempat ini agak sepi dan sama sekali tidak ada orang. Stasiun ini bentuknya sama saja dengan stasiun bawah tanah lainnya. Mungkin, perbedaan besar yang terlihat  hanya jika di tempat lain ada orang. Sementara di sini, sama sekali tidak ada orang. Aku memalingkan wajahku dan sadar jika kereta telah menjauh.
Aku tidak ingin banyak bicara dan  hanya berjalan menaiki tangga menuju keluar dari tempat ini. Di belakangku, ada dua orang yang sama sekali tak kukenal. Tapi, sepertinya mereka juga naik gerbong kereta yang sama denganku. Aku tidak tahu kemana orang-orang dan tidak perduli dimana ini. Memangnya, kami akan berada dimana? Aku juga tak tidak terlalu memikirkan jika tadi sama sekali tidak ada seorangpun yang meminta karcis padaku. Memangnya, apa perduliku?
Aku berjalan perlahan-lahan dan melihat berbagai macam poster rusak menempel di dinding. Siapa yang berada di sini? Nampaknya, stasiun ini sama sekali tidak dibersihkan. Aku mengambil sebatang rokok dari sakuku dan pemantiknya. Aku memasukkan rokokku perlahan-lahan ke dalam. Dari luar, aku melihat seberkas cahaya yang agak terang. sebentar, lagi, aku akan segera keluar. Entah, aku berada di mana. Tapi, aku pasti akan menemukan jalan pulang.
Matahari sepertinya sudah kembali ke tempat asalnya. Tapi, saat aku melihat ke sekelilingku. Aku bertanya-tanya, dimana aku?
#####
            Rokokku yang baru kuhisap jatuh ke lantai.
            Aku berusaha melihat ke sekelilingku. Tempat yang kutahu ini memiliki banyak toko yang berderet dengan berbagai tulisan di depan pintu. Jalanan kota ini tampak cukup lebar, tapi ada beberapa lubang di beberapa sudut. Sampah daun dan plastik berjatuhan di bahu jalan. Satu-satunya hal yang tak ada ada adalah manusia.
            Ya, manusia.
            Tak ada satupun orang di sini.
            Dua orang yang tadi ikut naik kereta denganku. Akhirnya, sampai juga di atas dan –sepertiku- mereka juga tertegun. Aku sama sekali tak suka dekat dengan mereka. Jadi, aku melangkah perlahan menjauhi mereka. Lagipula,  memangnya aku akan berada dimana?  Pasti tak akan jauh-jauh dari New York.  Aku mengambil kembali sebatang rokok lagi dari sakuku.
             Bangunan-bangunan di sini tampak aneh di mataku.  Beberapa bangunan tinggi dan megah. Tapi, sama sekali tidak setinggi New York. Mungkin, lebih mirip bangunan-bangunan yang ada di pinggiran kota. Tapi, seperti tempat yang tadi, lagi-lagi tak ada orang di sini.  Saat, aku akan menyalakan pemantikku, tiba-tiba saja tubuhku terbanting ke belakang dan rokokku lagi-lagi terjatuh.
            “Berengsek!” kataku.
            “Awas!” teriak seseorang dan tak lama kemudian, suara pistol menggelegar begitu saja.
            Dorr!!!
            Langit berwarna biru dengan sedikit awan yang berwarna putih.
            Sejujurnya, aku membayangkan secangkir kopi latte yang enak dengan sedikit hiasan indah di atasnya. Kopi apa yang akan kubuat? Entah, aku bukan seorang barista yang hebat. Meski, aku cukup memahami bagaimana cara membuat kopi yang enak. Mungkin, aku akan membuat kopi dari Pulau Sumatera yang terkenal itu? Ah, tidak, mungkin lebih baik kopi dari luwak saja. Kopi seperti itu memiliki banyak sekali variasinya.
            Suara tembakan kembali terdengar. Khalayanku tentang kopi  menghilang dan insting liarku bangkit. Aku menjauhkan badannya dariku dan sempat mengumpatnya dengan keras. Kebencian dalam diriku kembali bangkit dan aku melihat asal tembakan itu. Seorang pria berdiri di kejauhan.  Tangannya memegang senpaan laras panjang dan tanpa ragu mulai menembaki kami tanpa ragu. Aku tak perduli dengan pria itu, aku berlari menghindari pria dengan senapan itu dan laki-laki yang tadi menyelamatkankupun ikut berlari menghindar.
Aku bersembunyi di salah satu sudut dan menunggu jika ada tembakan lain akan datang. Instingku membuatku bergerak dengan cepat tanpa perlu terlalu banyak berpikir. Tapi, saat aku melihat kedepan untuk melihat wajah pria itu.
Dia menghilang.
Aku  bangkit perlahan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya pria kurus yang tadi menyelamatkanku. Aku melihat wajahnya dengan tatapan kebencian.  Aku menarik tubuhnya yang kecil dan mengangkatnya dengan satu tangan. Lalu, membenturkan tubuhnya yang kecil ke dinding di dekat sana. Mataku penuh dengan kebencian menatapnya.
“Apa yang kau lakukan?” teriakku.
“A...aku... aku hanya berusaha menolong...” kata pria kurus itu dengan tatapan yang terlihat ketakutan. Tangannya gemetar. Aku mengarahkan tinjunya ke arahnya, tapi sebelum tanganku menyentuh badannya. Tiba-tiba sebuah tangan lain memegang tanganku dan menahannya dengan kuat.
Aku menatap tangan orang yang melihatku dan seorang pria dengan tinggi yang hampir sama denganku. Badannya juga tak kalah besar dengan badanku. Wajahnya tampan dengan mata berwarna biru. Dia menatapku dengan tangan menahan tanganku agar tidak mengenai pria kurus ini.

“Bukankah, dia telah menyelamatkanmu?” katanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar